“Nii-chan kenapa ada di rumah Yuri?” tanya Yuri dengan dahi mengerut heran.
“Baiklah,” balas Sean yang langsung bangkit dari duduknya.
“Eh? Nii-chan mau kemana?” tanya Yuri lagi bingung akan Sean yang tiba-tiba berdiri setelah ia berucap tadi.
“Pulang,” Jawab Sean singkat. Ya, selalu singkat.
“A-ah, baiklah, kalau begitu hati-hati ya Nii-chan,” Ujar Yuri sedikit kikuk.
“Hm,” Balas Sean lalu melangkahkan kakinya menuju luar rumah Yuri. Sedangkan Yuri, kini tengah menatap kepergian Sean dengan raut wajah heran bercampur dengan bingung.
“Sebenarnya, ada apa dengan Nii-chan? Mengapa dia masih ada di sini saat aku pulang? Namun, saat aku bertanya, dia malah menjawab baiklah dan langsung pergi. Terkadang, aku tidak memahami apa yang dimaksud Nii-chan,” tanya Yuri kebingungan. Sungguh, otak kecil Yuri terkadang sulit untuk memahami perkataan singkat Sean.
“Ah, sampai lupa, aku harus segera bersiap dan berangkat,” gumam Yuri tersadar yang langsung beralih mengambil pakaian gantinya dan bersiap menuju tempat kerja ketiga.
***
“Hey Yuri! Kamu ini kenapa lama sekali?! Kinerjamu sungguh buruk. Kamu tahu sendiri rumah makan kita ini sedang ramai pelanggan, akan tetapi kerjamu lambat seperti ini. Bagaimana jika nanti piring-piring habis hah?! Apa kamu mau aku adukan pada bos?” protes salah satu karyawan rumah makan tersebut pada Yuri.
“M-maaf kak Riki, aku akan berusaha lebih cepat dari ini. Akan tetapi tolong jangan beritahu bos mengenai ini ya kak. Yuri janji akan menyelesaikan dan membersihkan semua piring, mangkuk, gelas dan lainnya dengan cepat. Sekali lagi, maafkan Yuri ya kak,” ujar Yuri meminta maaf pada pria tersebut yang tak lain tak bukan bernama Riki.
“Awas saja jika aku kembali nanti, semua ini masih kotor. Aku tidak akan segan untuk memberitahukannya pada bos,” balas Riki kemudian berlalu pergi meninggalkan Yuri yang kembali melanjutkan aktivitasnya.
Saat beberapa menit kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Yuri yang masih bergelut dengan tugasnya saat ini.
“Hey Yuri!” panggil wanita itu yang sontak membuat Yuri terperanjat kaget. Piring yang tengah berada di genggamannya, Tiba-tiba saja terjatuh hingga pecah di wastafel yang tentu membuat wanita itu marah bukan main.
“Apa yang telah kamu perbuat Yuri?!” tanya wanita tersebut membentak.
“Maafkan Yuri bibi Sora, Yuri benar-benar tidak sengaja,” balas Yuri berjengit takut.
“Dasar bodoh! Kamu baru saja memecahkan piring mahal ini! Bukankah kamu sudah tahu berapa harganya hah?! Ini sangat mahal untuk orang miskin sepertimu Yuri! Gajimu saja hanya sebungkus nasi dan lauk pauk, bagaimana bisa kamu menggantinya?!” tanya Sora dengan wajah memerah padam.
“M-maaf bibi Sora, Yuri benar-benar minta ma—“
“Apa kamu pikir dengan maaf bisa mengembalikan piring pecah itu hah?!” bentak Sora yang membuat Yuri menelan saliva susah payah.
“Yuri berjanji akan menggantinya bibi,” balas Yuri dengan kepala tertunduk.
“Dengan apa? Dengan semua ucapan tidak bergunamu itu? Mana bisa kamu menggantinya? Ingat Yuri, kamu ini hanya orang miskin yang cuma mampu membeli makan untuk bertahan hidup setiap harinya. Jangan sombong atau semacamnya, ingat saja batas kemampuanmu!” ujar Sora sembari mendecih tepat di hadapan Yuri.
“Maaf bibi, lantas apa yang bisa Yuri lakukan? Jika Yuri harus mendapatkan hukuman, Yuri benar-benar akan melakukannya,” balas Yuri yakin. Manik matanya memancarkan keseriusan yang jarang ia tunjukkan di hadapan orang lain.
“Hukuman? Tentu saja kamu akan mendapatkannya. Hukumannya adalah kamu tidak akan mendapatkan gaji alias makanan hingga satu bulan lamanya,” ujar Sora dengan seringai yang terbit di sudut bibirnya.
“B-baiklah bibi Sora, Yuri tidak masalah,” balas Yuri menerima.
“Bagus, sekarang kembali bekerja! Jangan sampai ada yang pecah lagi,” ujar Sora lalu bergegas pergi meninggalkan Yuri menuju sebuah ruangan.
***
Yuri, pulang ke rumah setelah menyelesaikan pekerjaannya. Tentu saja, jangan lupakan bahwa ia masih harus bekerja di tempat terakhir, yaitu pada pukul 7 malam.
“Yuri pulang!”
“Ah, waktu masih panjang, Yuri masih bisa untuk pergi ke taman sekarang,” gumamnya lalu bergegas mengambil sketchbook miliknya dan juga pensil.
Setelahnya, barulah Yuri melangkahkan kaki mungilnya menuju taman tempat setiap hari ia menghabiskan waktu sorenya sebelum berangkat ke restoran.
“Hey kakak!” seru salah satu anak kecil yang tengah bermain di sekitar tempat Yuri duduk.
“Iya?” balas Yuri dengan senyum lebarnya.
“Kakak kenapa ada di sini sih? Kami kan ingin bermain di sini,” protes anak kecil itu pada Yuri.
“Aku berjanji tidak akan berbuat apa-apa kok. Yuri hanya akan duduk diam di sini. Kamu dan temanmu tetap bisa bermain,” ujar Yuri berusaha memberi pengertian sehalus mungkin.
“Kami tidak bisa bermain di dekat orang yang kotor dan bau seperti kakak. Kata mamaku, nanti kakak akan menyebar virus yang tidak terdeteksi karena bakteri yang bersarang di tubuh kotor kakak,” balas anak kecil tersebut dengan polosnya.
Mendengar penuturan anak tersebut, Yuri dibuat tersenyum. Sudah biasa ia menerima perlakuan seperti ini. Tentu saja, perkataan anak kecil barusan itu tidak berpengaruh pada Yuri.
“Baiklah kalau begitu, aku akan pindah. Kalian lanjutkan saja mainnya ya,” ujar Yuri masih dengan senyum sumringahnya lalu bangkit dari duduknya dan berpindah ke empat yang lebih sepi.
“Terima kasih kakak!” balas anak itu sedikit berteriak agar terdengar oleh Yuri.
“Sama-sama,” jawab Yuri pelan sembari bersenandung ria dan duduk di bawah pepohonan rindang.
“Ah? Yuri sampai lupa, sketchbooknya sudah mengering dan berkerut seperti ini, apa tetap bisa Yuri lukis di sini?” tanya Yuri pada dirinya sendiri sembari menatap sketchbook miliknya yang sudah mengerut.
“Semua lukisan Yuri pudar, padahal, semuanya merupakan kenangan yang tidak bisa Yuri lupakan. Ingin sekali rasanya Yuri melukis semuanya kembali, namun Yuri tidak bisa. Yuri tidak mengingat jelas semuanya,” gumam Yuri menatap sendu lukisan-lukisan yang telah dipolesnya dengan tangan mungil itu.
Perlu kalian ketahui, semua lukisan Yuri bukanlah khayalan semata. Lukisannya, murni dari kejadian yang pernah ia alami.
Seperti halnya di lembar pertama, ia melukiskan sosok ayah dan ibunya yang tengah memeluknya erat. Pada saat itu, ketiganya tengah bersembunyi dari kejaran pembunuh bayaran yang pada akhirnya tetap merenggut nyawa kedua orang tua Yuri. Di lembar kedua, terlukis sosoknya yang mungil tengah bersembunyi di dalam sebuah tempat sampah besar. Dan itu benar terjadi. Kala itu, Yuri yang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri, berlari dan bersembunyi di dalam sebuah tempat sampah agar para pembunuh tersebut tidak dapat menemukannya.
Jadi, Yuri bersedih saat melihat sketchbook miliknya seperti itu, karena ia tidak ingin melupakan semua kenangan-kenangan bersama ayah dan ibunya dulu. Ia, tetap ingin mengingat wajah cantik ibunya dan juga wajah tampan sang ayah. Yuri, tidak ingin melupakan keduanya sampai kapanpun.
~~ Bersambung ~~