BAB 4 Footprint

2290 Kata
"Bagaimana Pak? Bu?", tanyaku ketika guru-guruku selesai memeriksa hasil ujian tambahan yang aku usulkan tadi. Jujur aku sangat takut, bagaimana jika hasilnya jelek? Bagaimana kalau nilaiku kemarin hanya keberuntungan semata? Tidak! Itu bukan keberuntungan, itu memang hasil jerih payahku mengejar pelajaran yang dibantu oleh Ms. Nessa, itu adalah hasil usahaku! Semuanya menatapku dengan tatapan yang aneh, kalau hasilnya jelek pasti... aku dituduh menyontek dan kedua orang tuaku dipanggil lagi. Lalu... ah sudahlah aku tak ingin berpikir hal buruk untuk saat ini. Kulihat Bu Imelda sedang menarik nafas untuk memulai berbicara. "Kami telah memeriksa hasil ujian ulangmu, dan hasilnya nilaimu sangat memuaskan", ungkap Bu Imelda. Benarkah? Benarkah? "Benarkah Bu?”, tanyaku antusias. "Ya, kini kami percaya bahwa hasil ujianmu tidak berasal dari menyontek”, jawab Bu Imelda. "Bagaimana caranya kamu bisa menguasainya?", tanya Bu Imelda dengan skeptis. Azzura tersenyum. "Saya hanya berusaha agar tidak dicap sebagai orang bodoh lagi oleh semua orang yang telah memandang saya sebelah mata", jawab Azzura dengan tenang. "Apa ada hal lain yang bisa saya bantu, Pak, Bu? JIka tidak, saya permisi keluar dari ruangan ini", ucap Azzura. "Kamu bisa keluar", jawab Bu Imelda. Lega. Satu kata itu yang muncul di dalam benakku. Percayalah aku memang bodoh, tetapi aku tidak suka curang dalam hal apa pun. Aku keluar dari ruang rapat guru dengan langkah yang ringan. Aku harus berterima kasih pada Bibi Asti dan Miss Nessa, berkat mereka aku bisa mendapat nilai bagus. "Eh katanya Azzura menyontek ya saat ujian kemarin?" Apa itu? Kenapa namaku disebut? "Iya, katanya nilainya bagus-bagus dan untuk pertama kalinya bebas dari remedial ujian", ucap seorang lainnya. "Aku tidak percaya dia mengerjakan itu sendirian, diakan sangat bodoh", saut gadis yang lainnya lagi. Astaga, sakit sekali rasanya mendengar ucapan tentangku seperti itu. "Sangat bodoh, kalian tau tidak? Dia itu anak dari pebisnis sukses dan ibunya psikolog ternama. Aku ragu benarkah dia anak pasangan hebat itu" "Jangan-jangan dia diadopsi, wajahnya saja sangat tidak cantik" "Oh dan jangan lupa kakaknya yang bernama Adera Wibisono yang sangat tampan, aku pernah melihat fotonya di suatu majalah dengan ibunya ketika menjadi tamu penting suatu acara" "Benar, tampan sekali kakaknya. Aku juga jadi ragu apakah benar ia anak pasangan luar biasa itu?" "Ya, wajahnya buruk rupa, otaknya bodoh sampai-sampai dimasukkan ke sekolah swasta seperti ini, duh kasihan sekali sih dia" Entah sejak kapan air mata sudah mengalir di wajahku. Seburuk itukah aku? "Ck!" Aku tersentak mendengar seseorang mendecap dari arah belakangku. Wajahnya terlihat marah, siapa dia? Rasanya aku tidak pernah melihatnya, tapi ia mengenakan seragam yang sama denganku. Ia berjalan melewatiku dengan cepat dan menghampiri 3 orang perempuan yang sejak tadi membicarakanku. Apakah ia mendengar perbincangan mereka juga? Ya Tuhan aku malu! "Apakah hidup kalian sudah sempurna sampai-sampai menghujat seseorang dengan begitu kejamnya?", sentak lelaki itu kepada tiga orang siswi itu. "Urusan kita ingin membicarakan siapa pun, bukan urusanmu! Urus saja dirimu sendiri!”, salah seorang dari mereka melawan. Bagaimana kalau mereka sampai bertengkar hebat? Aku tidak mau itu terjadi. Aku melihat lelaki itu berbicara setengah berbisik yang tak bisa kudengarkan pembicaraan itu, dan... apa? Semudah itu? Tiga siswi yang membicarakanku tadi tampak takut dan pergi begitu saja. Eh? Loh? Laki-laki itu juga ikut pergi, aku belum bilang terima kasih padanya. Tapi jalannya cepat sekali dan kakiku masih terlalu lemas untuk mengejarnya. Semoga aku bisa bertemu lagi untuk mengucapkan terima kasih. *** "Aku minta nomor ponselmu" Aku memekik ketika seseorang muncul tiba-tiba dari lorong sekolah. Dia adalah laki-laki yang menolongku tadi pagi. Kudengar ia berdecap. "Cepat!”, sentaknya. "Bu.. buat apa?”, tanyaku. "Tidak perlu banyak bertanya, cepat ketik nomor ponselmu di ponselku", tatapannya mengintimidasi sekali. Kuraih ponselnya dan mengetik nomor ponselku. "Nama" "Hah?", sautku "Namamu siapa?”, tanyanya tak sabaran "Oh, namaku Azzura" "Ok" Dan detik itu pula lelaki itu pergi meninggalkanku yang masih tercengang. Eh aku belum berterima kasih. "Eh tunggu! Aku belum berterima kasih soal tadi pagi", seruku. Kupikir ia akan berhenti, tapi ternyata ia tetap berjalan tanpa menoleh ke arahku. Huh dasar laki-laki aneh. Setidaknya aku sudah meninggalkan jejak di ponselnya dengan nomorku, semoga ia menghubungiku sehingga aku bisa berterima kasih. *** Hari ini aku akan memberitahu Ayah dan Ibu bahwa aku tidak mendapat nilai jelek satu pun di Ujian kali ini. Mereka pasti bangga akhirnya aku bisa keluar dari kebodohanku. Yeay! Kulihat penampilanku sudah cukup rapi, hanya tinggal menyisir rambut saja lalu aku akan turun untuk sarapan. Yak, sudah selesai. Aku melangkahkan kakiku dengan sangat riang membayangkan bagaimana reaksi senang Ayah dan Ibu. "Selamat Pagi Ayah! Selamat pagi Ibu". Kulihat Ibu melirikku sekilas. "Pagi, Zura. Cepat sarapan lalu berangkat sekolah". "Baik, Bu", jawabku semangat. aku menatap Ayahku yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Selamat Pagi, Ayah”, sapaku lagi. "Hmm..",gumam Ayah tanpa melihatku. Ya sudahlah tidak apa-apa, yang penting Ayah menanggapi sapaanku. Aku mengambil sarapan buatan Bi Asti secukupnya. "Ayah, Ibu.. Aku memiliki pengumuman, mau dengar tidak?”, pancingku. "Hmm?", gumam Ibu. "Aku mendapat nilai memuaskan dan bebas remedial dari Ujian tengah semester kemarin!!",seruku semangat. Hening. Tidak, masih ada suara dentingan sendok dan piring. Tapi Ayah dan Ibu belum bersuara apa pun. Apakah aku berbicara kurang jelas? "Ayah.. Ibu.. Bagaimana? Aku hebatkan bisa mendapat nilai bagus dalam ujian?”, desakku. "Jangan berpuas diri hanya karena baru satu kali dapat nilai bagus, Azzura. Jangan menjadi pribadi yang cepat puas hanya baru satu kali mendapatkannya", Gumam Ayah tanpa menatapku. Sontak kobaran api semangatku surut seketika. Memangnya aku tidak boleh membanggakan pencapaianku yang susah payah aku dapatkan? "Ya, benar kata Ayahmu", saut Ibu membenarkan. Baiklah, sepertinya aku harus menghentikan obrolan yang pasti akan berakhir menyakitkan untukku. Aku berpaling menatap Ayah. "Ayah, antarkan aku sekolah ya, please.. Ayah 'kan sudah janji kemarin-kemarin", pintaku. "Jangan sekarang, Zura. Ayah.." "Sibuk, akan ada meeting penting pagi ini. Baik Ayah, aku mengerti", selaku. "Jangan memotong Ayah sedang berbicara, Ayah tidak suka dengan anak yang tidak punya sopan santun. Ingat itu Azzura", Sentakan Ayah yang tak terduga membuatku tidak kuasa ingin mengeluarkan tangis. Tahan Azzura. Seperti biasa, kau pasti bisa menahan tangismu. "Baik Ayah, maafkan aku", lirihku. "Ayah berangkat dulu”, pamit Ayah. "Ibu juga akan berangkat”, ucap Ibu. Dan dengan seketika ruang makan menjadi hening kembali. Bi Asti tidak terlihat, sepertinya sedang pergi ke pasar untuk belanja. Aku mengambil ponsel bututku. Aku mencari kontak kak Adera, siapa tahu kakak mau memberiku selamat atas nilaiku kemarin. Me: Kak Adera.. Tebak! Aku dapat nilai memuaskan dalam ujian kemarin kak! Aku senang sekaliiii Tring! Asyik, kak Adera langsung membalas pesanku. Kak Adera: Jangan puas dulu, nilaimu masih jauh di bawah rata-rata jika dibandingkan sekolah internasional. Ingatlah bahwa sekolahmu adalah sekolah swasta yang standarnya di bawah sekolah kakak dulu. Rasanya bungaku layu tak bersisa. Seburuk itukah aku? Sudahlah, aku tidak mau memikirkan hal ini lagi. Dan aku tak ingin masuk sekolah hari ini. Walaupun aku sudah sangat sering di beginikan tapi tetap saja, aku butuh waktu. *** Aku membeli es krim kesukaanku dan duduk di sebuah bangku taman yang sepi. Rasanya tenang berada di tempat ini. Pikiranku kembali melayang ke belakang mengingat semua perlakuan yang aku dapatkan dari semua orang. Aku sejelek itukah sampai-sampai kebaikan tak tampak didiriku? Aku sudah bersusah payah apa salahnya memberi ucapan selamat dan pertahankan apa yang baru kuraih? sudahlah Azzura, tidak baik membicarakan keluargamu seperti itu. Tring! Lamunanku terhenti saat dering pesan masuk di ponselku. Hmm... siapa yang kirim aku pesan? biasanya tidak ada pesan masuk kecuali dari operator atau promo-promo. Loh? siapa ini? Nomor tak dikenal. xxx : Astep Cafe & Bar malam ini pukul 8 malam. Jika kamu mau berterima kasih datang ke alamat itu nanti malam. Laki-Laki yang selamatkan kamu kemarin. Oh, ternyata dari laki-laki yang membantuku kemarin. Baiklah, aku turuti saja dia. Me : Baik *** Pukul 8 malam, Astep Cafe & Bar. Aku sudah berdiri di depan pintu masuk Cafe yang ditulis oleh laki-laki misterius kemarin. Me : Aku sudah di depan Astep Cafe & Bar. Kamu di mana? Tring! xxx : Masuk saja, naik ke lantai 2 aku duduk di ujung ruangan dekat balkon keluar Huft! Baiklah.. Me: Baik Aku berjalan menyusuri tempat tersebut, aku terkejut melihat orang-orang yang mulai menari di lantai dansa dan dentuman musik yang memekakkan telinga. Tapi aku sudah terlanjur janji, mungkin di lantai 2 tidak separah ini. Aku melihat laki-laki itu sedang merokok dan penampilannya yang berbeda. Sungguh! Ia tidak tampak seperti anak SMA jika berpenampilan seperti ini. "Hai, boleh aku duduk?", sapaku. ia mendongak dan menatap penampilanku dari atas ke bawah. Baiklah, aku memang tidak memakai pakaian seperti pengunjung tempat ini yang cenderung minim. Aku memakai celana panjang dan T-Shirt yang kututupi dengan Oversized Sweater. Karena bajuku modelnya seperti ini semua. Ibu tidak membolehkanku keluar rumah dengan bagian tubuhku terbuka. Alasannya tunggu sampai berat badanku normal. Dan aku tak tau itu kapan. Akhirnya ia mengangguk. "Duduklah”, ucapnya seraya menepuk tempat di sampingnya. "Mau minum apa?", tanyanya. "Jus Jeruk saja”, jawabku "Apa?", tanyanya lagi. "Jus Jeruk", ulangku. "Ini bar, masa kamu pesan minuman kayak di kantin sekolah", ledeknya. "Biar saja, aku suka jus jeruk apa masalah?", tanyaku. ia mengangkat bahunya dan memanggil pelayan untuk memesankan pesananku. Jus Jeruk. Setelah pelayan itu pergi, ia menoleh ke arahku. "Kenapa kau mau datang?”, tanyanya. Lah? diundang masa tidak datang? "Karena kamu mengudangku dan sekaligus aku mau berterima kasih padamu. Biar aku yang traktir ya", jawabku. ia terkekeh mendengar jawabanku. Memangnya salah? "Kamu mau berterima kasih denganku?", tanyanya seraya menegak minuman yang berwarna merah keunguan. Aku mengangguk sebagai jawaban pertanyaannya. Ia tersenyum miring menghisap rokoknya lalu menghembuskan asapnya ke arah yang tidak mengenai wajahku. Tapi tiba-tiba ia mendekat dan merangkulku dengan tatapan yang aneh. "Kalau begitu, berikan aku kenikmatan malam ini dan puaskan aku", bisiknya "APA?! KAU GILA?!",Teriakku seraya menjauh takut darinya, tapi ia menarik lenganku kuat sehingga terduduk kembali di sebelahnya. Tanpa kusadari bibirnya sudah menempel dengan bibirku dan melumat bibirku dengan kasar. Sekuat tenaga aku mendorongnya sampai akhirnya aku menohok perutnya dengan kakiku dan pagutannya terlepas dan aku berlari sekuat tenaga. Ya Tuhan, aku mau dilecehkan, Tolong aku! Kulihat ia mengejarku dan aku semakin mempercepat langkahku, aku tak peduli. aku berlari menabrak semua orang yang berada di hadapanku. Akhirnya setelah keluar dari bar terkutuk itu aku melihat taksi yang baru saja menurunkan penumpangnya. Tanpa berpikir panjang aku memasuki taksi itu dan meminta sang sopir untuk segera berjalan saat melihat laki-laki itu keluar dari pintu Cafe tersebut. Ia tampak marah, tapi aku tak peduli. Jantung dan nafasku masih melaju tak karuan saat taksi yang kunaiki sudah menjauhi tempat terkutuk itu. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu saja tanpa bisa kukendalikan. Hari ini, semuanya membuktikan bahwa tidak ada satu pun yang tulus denganku. Dan martabatku hampir saja direnggut oleh b******n itu. Tidak bisakah aku terlahir cantik dan pintar agar semuanya bisa menyayangiku?! *** "Dari mana saja kau Azzura!?" Aku tersentak saat mendengar bentakan Ayah ketika masuk rumah. Ayah? dan ada Ibu di belakangnya? tapi ini baru jam 10 malam, biasanya Ayah dan Ibu tiba di rumah lewat tengah malam kan? Tapi ini.. "Maaf Ayah, aku tadi keluar sebentar”, ucapku. "Siapa yang memberimu izin keluar seperti ini?!" "Tidak ada, Ayah. aku sendiri yang.." "Mau jadi apa kamu Azzura?! Lihatlah dirimu, apakah kau sudah cukup baik dan membanggakan sehingga bisa keluar rumah dengan seenaknya?!" Ayah? tega sekali Ayah berbicara kepadaku. Anaknya. seperti itu. "Jawab Azzura! Ibu tidak suka kamu menjadi perempuan liar seperti ini. Mau jadi apa kamu?!" Aku memejamkan mataku menahan semua penderitaan yang kualami hari ini. Aku sudah tidak kuat lagi rasanya. "Apakah aku memang anak kalian Yah? Bu?”, Tanyaku. Ayah tampak semakin marah dengan pertanyaanku barusan. "Kau kira kami mau menerima darah asing di keluarga ini?!",sentak Ayah "Lalu kenapa Ayah dan Ibu memperlakukanku seperti sampah di rumah ini?!" "Tidakkah kalian sadari selama ini aku tidak pernah dianggap di keluarga ini? Yang kalian banggakan hanya kak Adera yang luar biasa. Aku juga anak Ayah dan Ibu! Apa karena rupa dan tubuhku yang jelek? Tidak seperti kalian yang memukau?! Aku juga tidak ingin dilahirkan dengan tubuh seperti ini Yah, Bu!", Aku sudah tak tahan lagi. Semuanya. Setelah apa yang kulalui selama ini, rasanya hari ini adalah hari di mana aku mencapai titik jenuh akan semuanya. "Kau berani melawan kami sekarang?!", bentak Ibu. "Apakah aku pernah melawan Ayah dan Ibu? Apakah Kak Adera tidak pernah berbicara keras kepada Ibu dan Ayah dan berakhir Ayah dan Ibu menuruti kemauan kak Adera?! Bahkan Ayah dan Ibu tidak pernah menanyakan kabarku setiap pulang sekolah. Aku hanya minta dianggap dan diperlakukan sebagai mestinya! Dan apakah Ayah dan Ibu tahu bahwa aku hampir dilecehkan tadi?! Tidak kan? Itu semua karena Ayah dan Ibu sama sekali tidak mau tahu tentang hidupku!! Bahkan jika memang tadi aku tidak berhasil kabur dan berakhir dilecehkan, pasti Ayah dan Ibu akan langsung mengusirku dari rumah ini. Iya kan?!" Ayah dan Ibu tampak kaget mendengar aku hampir dilecehkan oleh laki-laki sialan itu. Entahlah, kaget karena mengira pergaulanku buruk atau sedikit khawatir kepadaku. Tapi tidak mungkin kan? Air mataku sudah tak bisa terkontrol, nafasku sudah sesak mengeluarkan semua emosi dihati ini. Aku memang salah telah melawan orang tuaku. Tapi aku sudah tak bisa menanggung derita ini lebih lama lagi. Aku menyeka air mataku dengan kasar. "Jika memang aku tidak dianggap di rumah ini, lebih baik sekalian tidak perlu bicara sekalipun. Ayah dan Ibu tenang saja, 6 Bulan lagi aku akan lulus SMA dan aku akan keluar dari rumah ini mencari masa depanku sendiri sehingga kalian tidak perlu diribetkan dengan anak tidak berguna sepertiku". Detik itu pula aku berjalan menuju kamarku dan tidak menghiraukan panggilan Ayah dan Ibuku. Mulai detik ini, semuanya akan berubah. Aku tidak ingin lagi direndahkan dan dilecehkan oleh orang lain termasuk keluargaku. Dan aku tidak akan pernah percaya dengan yang namanya cinta & kasih sayang. Karena itu semua palsu!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN