BAB 5 Changing

1336 Kata
Aku membuka mataku dengan sangat berat, kepalaku terasa berdentum dan mataku terasa sangat panas tapi tubuhku mengigil kedinginan. Sepertinya aku demam, kejadian kemarin membuat tubuhku bereaksi seperti ini. Aku melihat jam menunjukkan pukul 6 pagi. Tidak. Aku tidak ingin masuk sekolah hari ini, aku takut b******n itu membalas dendam karena aku kabur darinya kemarin. Atau bisa saja ia malah ingin membunuhku karena takut aku melapor kepada sekolah. Sepertinya mati lebih baik daripada hidup tersiksa seperti ini. Tapi tidak, aku tidak boleh mati sekarang. Lagi pula kalaupun aku melaporkan perbuatannya pada sekolah sepertinya pihak sekolah tidak akan percaya padaku. Hei. Memang siapa yang mau melecehkan gadis sejelek dan segemuk dirimu? Tok! Tok! Tok! "Azzura, keluar. Ayah belum selesai bicara denganmu kemarin" Suara Ayah membuyarkan lamunanku. Aku melirik ke arah pintu kamarku yang masih terkunci rapat dari balik selimut. Aku terlalu lelah untuk mendengar ucapan menusuk dari keluargaku, lebih baik aku diam saja. Tok! Tok! Tok! "Azzura, buka pintunya Ayah bilang!", sepertinya Ayah bersikeras untuk membuatku membuka pintu, ya.. Ayah tidak pernah suka penolakan. Tapi aku sudah tidak peduli. Tok! Tok! Tok! Errghh! Keras kepala sekali Ayah! Aku sudah mengatakan tidak usah bicara jika hanya ingin menyakitiku! Tok! Tok! Tok! "Azzura!", tidak! Aku tidak mau keluar, aku tidak mau direndahkan lagi! Kupejamkan mataku ketika kepalaku semakin berdentum, rasanya sakit sekali. Lebih baik aku merehatkan tubuhku sejenak. Beberapa saat setelahnya aku tidak lagi mendengar ketukan pintu kamarku, sepertinya Ayah sudah pergi bekerja. Aku memejamkan mataku, rasanya ingin teriak dan menangis sekencang mungkin. Tetapi layaknya sumber mata air yang kering karena terlalu sering digunakan, air mataku terasa kering dan rasanya aku sudah tidak bisa menangis lagi, hanya kehampaan yang kurasakan. Kamu ingin berterima kasih padaku? Puaskan aku malam ini TIDAK! Kenapa suara b******n itu masih terngiang ditelingaku. Terlintas bayangan saat ia menciumku dengan paksa Puaskan aku.. Puaskan aku... Puaskan aku... "TIDAK!!!" Tok! Tok! Tok! "Nona Azzura? Nona tidak apa-apa? Ini saya Bibi Asti, boleh saya masuk?" Nafasku terasa habis, menyadari hanya aku sendiri yang berada di dalam kamar ini membuatku sedikit lega. Itu tadi halusinasiku saja, bayang-bayang kejadian kemarin masih menghantuiku. Dan kepalaku semakin berdenyut kencang bahkan semakin sakit dari sebelumnya. Tok! Tok! Tok! "Nona Zura?" Perlahan aku bangkit untuk membukakan pintu untuk Bi Asti. Kulihat wajahnya terlihat lega melihatku mau membuka pintu. "Syukurlah Nona tidak apa-apa, boleh bibi masuk?" Aku mengangguk melebarkan pintu kamar untuk memberi bi Asti akses. Dan setelahnya kukunci lagi pintu kamarku dan Bi Asti memerhatikanku. "Tuan sudah berangkat sejak tadi Nona, hanya ada Bibi dan pembantu lainnya", ujar Bi Asti menenangkan. Aku berjalan lunglai menuju tempat tidurku. "Nona tidak apa-apa? Astaga Tubuh nona panas sekali!", Bi Asti tampak sangat panik setelah mengetahui kondisiku. "Sebentar saya panggilkan dokter, saya takut nona kenapa-kenapa" Aku tersenyum miris, jika yang menemukanku sakit adalah Ayah dan Ibu atau kak Dera apakah mereka akan sepanik Bi Asti? Pasti tidak. Jangankan menjengukku di kamar, tahu aku masih bernafas saja tidak. Dan entah sudah berapa tahun yang lalu sejak terakhir kali Ayah dan Ibu masuk ke kamarku, itu pun karena memarahiku yang baru saja mendapatkan nilai 0 pasca ujian matematika. *** "Kenapa kamu tidak belajar Azzura?! Ayah dan Ibu menyekolahkanmu di sekolah itu agar kau tumbuh menjadi anak pintar seperti kakakmu?!" "Maaf Ayah, Zura tidak mengerti pelajaran matematika" "Karena itu kau harus belajar, jangan buat kami malu karena pihak sekolah menelepon hanya karena nilaimu buruk! Mulai besok uang jajanmu Ibu potong dan separuh boneka milikmu akan ibu sita sampai nilaimu bagus!" *** Ingatan masa lalu membuatku menahan denyutan di hatiku. Benar, sejak kecil aku tidak pernah diberi perhatian. Bahkan boneka yang disita oleh Ibu entah ada di mana sampai sekarang. Ibu tidak mengembalikannya kepadaku. Kulihat Bi Asti menyiapkan plester pengompres demam dan menempelkannya di dahiku. Ia tampak khawatir. "Apa yang terjadi Nona? Maaf saya lancang, tetapi saya mendengar cerita dari pembantu yang lain bahwa semalam nona bertengkar hebat dengan Tuan dan Nyonya" Ah, bi Asti. Sepertinya ucapanku kemarin salah, masih ada satu orang yang peduli dan tulus kepadaku, yaitu dirinya. Hanya Bi Asti yang tulus denganku. "Ya, kemarin memang Zura habis bertengkar dengan Ayah dan Ibu”, jawabku lemah. "Boleh saya tahu penyebabnya Nona?" Aku tersenyum lirih. "Bibi pasti sudah tau penyebabnya" Bi Asti terdiam memahami situasi yang kuhadapi. Tangannya terulur membelai rambut kusutku. "Nona Azzura pasti kuat, ada bibi yang selalu membela Nona Azzura. Nona tidak bersalah, nona hanya menyampaikan seluruh kekecewaan nona pada Tuan dan Nyonya. Hanya saja ego orang tua Nona Zura terlalu tinggi untuk mengakuinya", jelas Bibi. Aku menggeleng. "Aku tidak sekuat yang bibi bayangkan. Aku tidak mau berada di kehidupan seperti ini lagi, setelah aku lulus SMA aku akan keluar dari rumah ini dan menata hidupku sendiri”, jelasku. Bi Asti tampak terkejut mendengar ucapanku barusan. "Bibi mohon jangan Nona, pasti ada cara untuk membuat Tuan dan Nyonya menyayangi nona. Bibi yakin" "Tidak Bi, aku tidak suka memaksakan sesuatu yang tidak bisa diberikan untukku. Bagiku lebih baik tidak daripada kepalsuan yang kuterima. Terima kasih bibi sudah membela Zura sampai detik ini" Bi Asti tampak menitikkan air matanya. "Saya tidak tega melihat penderitaan Nona, izinkan bibi membantu Nona sampai Nona lulus" Oh Bibi Asti, entah bagaimana jika tidak ada bibi yang selalu menguatkan aku. "Terima kasih Bi" *** "Azzura, Ayah dan Ibu ingin bicara" 3 hari sudah aku berdiam di rumah karena sakitku kemarin, dan hari ini aku mulai masuk sekolah lagi walaupun ketakutan masih ada jika bertemu laki-laki b******k itu. Tapi yang pertama harus kuhadapi adalah mereka. Ayah dan Ibu. "Saya sudah terlambat", ucapku dingin. "Gunakan bahasa yang sopan dengan kami, Azzura!", bentak Ibu. "Duduk dan bicara dengan Ayah dan Ibu, Zura", tekan Ayah. Dingin. Hatiku terasa dingin. Perasaanku sudah mati melihat gertakan yang terlampau sering diberikan untukku. "Saya tidak boleh terlambat sekolah bukan? Lagi pula sulit mencari bus umum jika kesiangan" Tak kuhiraukan lagi panggilan Ayah dan Ibu, sekuat tenaga aku menahan getar ingin menangis. Aku tetap sakit. Tubuhku terlihat baik-baik saja memang, tapi tidak dengan hati dan perasaanku. Aku berdesak-desakan dengan berbagai macam orang di dalam bus umum yang biasa kutumpangi. Aku harus menyiapkan segalanya mulai hari ini. Aku harus bisa berdiri sendiri. Tidak ada lagi kata dilecehkan dan direndahkan. Aku bukan Azzura yang kemarin, dia sudah mati. Yang ada hanya Azzura yang memiliki tekad dan tidak bisa direndahkan. Melihat banner gerbang sekolahku aku mengetuk langit-langit bus untuk berhenti. Kulihat sekolahku yang sudah mulai ramai. Mereka bilang putih-abu adalah masa terindah, tetapi tidak berlaku untukku. Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang sedikit lengang. Beberapa meter di depanku, seseorang tiba-tiba muncul di hadapanku dengan wajah datar. Si b******n yang sampai sekarang tidak kuketahui namanya. Tubuhku secara otomatis melakukan pertahanan melihat laki-laki itu. "Jangan lari", tegasnya saat kakiku hendak mundur. "Jangan ganggu aku. Aku bukan perempuan yang bisa kau tiduri" Ia tetap melihatku dengan datar. "Memang siapa lagi yang mau menidurimu kalau bukan aku?" Kurang ajar. Tidak Azzura, kau harus bisa melawannya. Kau tidak boleh dilecehkan. "Huh, ya. Dan hanya pecundang yang bisa berkata seperti itu. Tenang saja, aku tidak akan melaporkan perbuatan menjijikkanmu, tapi jangan ganggu aku lagi" Aku melangkah secepat mungkin menghindari laki-laki itu. Cepatlah, cepatlah masa SMA ini selesai. Aku sudah tidak tahan. *** Aku masuk ke dalam perpustakaan saat jam istirahat tiba. Perutku memang terasa lapar, tapi melihat makanan aku teringat tatapan keluargaku yang tampak jijik melihat porsi makan membuat nafsu makanku hilang. Lebih baik aku ke perpustakaan. Aku tidak ingin jadi gadis bodoh lagi. Bu Ida, guru perpustakaan menatap kedatanganku dengan heran. "Saya tidak memanggilmu, Azzura", ucapnya. Oh, ya.. siapa yang menyangka si bodoh ini masuk ke perpustakaan. "Saya ingin membaca, boleh Bu?”, tanyaku. Dua kali. Wajah Bu Ida tampak terkejut untuk yang kedua kalinya. Tapi kemudian ia mengangguk dan mempersilahkan aku masuk. "Terima Kasih", ucapku. Aku menyusuri rak-rak tinggi perpustakaan sekolahku, ternyata isinya tidak semembosankan yang kukira. Banyak yang menarik perhatianku terutama buku bagian seni rupa. Seni memang passion-ku. Tapi Ayah dan Ibu membencinya. Aku meletakkan kembali buku-buku seni tersebut dan beralih ke buku pelajaran. Bukankah kau tidak mau menjadi bodoh lagi Azzura? Maka mulailah dari sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN