Pesta pernikahan yang digelar secara sederhana namun intim itu, dihadiri keluarga dekat dari keluarga ibu dan ayahnya saja. Sedangkan teman dekat baik dari Adrian maupun Violet tidak ada yang hadir.
Di atas pelaminan Violet dan Adrian duduk dengan canggung, mereka berdua tidak terlibat percakapan apapun. Mereka hanya menanggapi candaan dari keluarga mereka dengan tersenyum bahkan tertawa.
Acara pesta berakhir siang hari, para tamu undangan baik dari keluarga dekat dan jiran tetangga sudah pulang semua. Violet masuk ke kamar untuk mengganti pakaiannya dengan baju yang lebih santai, saat dia masih menghapus makeup yang dia pakai saat acara pernikahan tadi Adrian masuk ke dalam kamar.
Mereka bertatapan melalui cermin, Violet yang sempat ragu akhirnya bertanya. “Kakak mau berganti pakaian?”
“Iya....pakaian kakak sepertinya sudah dipindahkan semua ke kamar ini.”
“Iya, kak. Di dalam lemari yang di sebelah kanan, yang di kiri soalnya baju Vio.” Jelas Violet yang sudah berjalan menuju ke lemari pakaian dan membukanya. Saat dia akan mengambilkan pakaian untuk Adrian, Adrian menegurnya.
“Tidak perlu kamu ambilkan, biar kakak pilih sendiri. kamu selesaikan saja yang kamu lakukan tadi.”
Mendengar itu, Violet akhirnya menyingkir dari lemari dan kembali duduk di kursi di depan kaca dan melanjutkan apa yang dia lakukan namun matanya masih memandang Adrian sesekali. Mendengar perkataan yang terkesan dingin dari Adrian membuat Violet berpikir, apakah Adrian kembali seperti saat pertama kali mereka kenal dulu?
Violet melihat Adrian mengganti pakaiannya dengan cepat, setelah selesai dia keluar tanpa berkata apapun kepada Violet yang masih membereskan meja riasnya. Melihat Adrian yang sifatnya seperti kembali itu, Violet hanya menghela nafas. Sebelum dia sempat berpikir yang tidak-tidak, Adrian sudah masuk kembali ke dalam kamar. Melihat Violet yang sudah selesai menghapus makeup yang dia gunakan saat pernikahan tadi akhirnya bertanya.
“Mau jamaah ga? Kalau mau kakak tunggu.”
“Iya, Kak.” Jawab Violet sambil tersenyum, dia lega ternyata sifat Adrian yang ditakuti Violet tadi tidak terjadi.
“Buruan wudhu. Kakak tunggu.”
Violet bergegas mengambil wudhu, dan kembali dengan cepat ke dalam kamar. Saat dia sampai di kamar, Adrian sudah duduk menunggunya dengan alat sholat yang sudah terbentang menunggu Violet.
Mendengar suara di belakangnya, Adrian menoleh dan melihat Violet yang sudah bersiap. Akhirnya mereka sholat berjamaah, selesai sholat Violet mencium tangan Adrian.
Violet membereskan alat sholat yang mereka gunakan, sedangkan Adrian sudah berbaring di kasur. Setelah selesai Violet akhirnya ikut duduk di kasur di sebelah Adrian.
“Kamu tidak perlu mikir apa-apa. Kita jalani saja pelan-pelan. Kakak tidak akan menuntut hak suami kepadamu sekarang. Sampai kita bisa menerima satu sama lain.” Adrian berkata dengan pelan kepada Violet yang sudah istirahat di sebelahnya.
“Karena kita tidak mungkin tidur di kamar terpisah selama di sini. Kita harus bertahan dalam beberapa hari ini dengan keadaan ini, saat di kota nanti kita bisa tidur di kamar sendiri-sendiri.” lanjut Adrian dengan nada bicara yang sama.
“Maksud kakak?” tanya Violet bingung.
“Iya, karena kita menikah yang boleh dibilang kilat ini. Kita jalani pelan-pelan saja, bagaimana?”
Violet yang masih bingung dengan perkataan Adrian hanya menganggukan kepalanya, dan akhirnya tidur di sisi Adrian. Karena capek Violet akhirnya cepat terlelap, Adrian yang masih ingin berbicara hanya terdiam saat mendengar hembusan nafas Violet yang teratur di sebelahnya.
“Sudah tidur?” tanya Adrian kepada dirinya sendiri.
Dia hanya menggelengkan kepalanya tanda tidak mengerti, bagaimana Violet dapat tertidur dengan begitu cepat di sebelahnya. Karena capek dan tidak ingin melakukan apapun saat ini Adrian berusaha tidur, dia bolak balik mencari posisi yang nyaman. Lama jauh setelah Violet tertidur akhirnya diapun tertidur.
Menjelang sore, setelah tidur kurang lebih dua jam Violet akhirnya terbangun dan mendapati di sebelahnya tidak lagi terlihat Adrian yang sebelumnya berbaring bersamanya.
Violet bangun dan segera turun, dia melihat Adrian sedang bersenda gurau dengan ayah dan ibu mereka. Dia menghampiri mereka, sambil melihat sekeliling ruangan yang tadinya penuh dengan sanak keluarganya. Namun sekarang tidak terlihat siapapun lagi, selain mereka.
Mendengar langkah di belakang mereka, ibunya menoleh dan mendapati Violet yang melihat ke sekeliling ruangan tamu dan ruang makan mereka yang berdekatan.
“Apa yang dicari, Vio?”
Mendengar suara teguran ibunya, Violet hanya tersenyum dan hanya menggeleng sebelum menjawab ibunya.
“Tidak ada yang dicari, Bu. Hanya sedikit terlihat sepi setelah kehebohan tadi.” Jawab Violet dan duduk di sebelah Adrian.
“karena semua memiliki kesibukan masing-masing, mereka langsung pulang. Acara juga sudah selesai.” Jelas ibunya. Violet hanya mengangguk dan mengambil minum.
“Tadi Adrian bilang, kalian akan ke kota besok lusa. Apa tidak terlalu cepat?” tanya ayahnya kepada Violet.
Violet yang mendapat pertanyaan tiba-tiba dari ayahnya, sempat terdiam dan menuruskan minumnya sambil mencari jawaban yang masuk akal agar ayahnya puas dan tidak ada pertanyaan lain.
“Vio, sudah mau mengurus pendaftaran untuk kuliah Yah. Jadi lebih baik kita segera ke kota. Sebelumnya Vio juga dapat istirahat dulu, jadi punya tenaga untuk bolak-balik ke kampus.”
Ayahnya mengangguk membenarkan perkataan Violet, dia juga mengerti dengan kondisi fisik Violet kalau melakukan perjalanan jauh. Tetapi masih ada satu pertanyaan yang menganggunya.
“Tetapi mengapa kalian akan tinggal di apartemen? Rumah kita akan kosong tanpa kalian tempati.”
“Kita tinggal di sana agar lebih dekat dengan kantor dan kampus Vio, Yah. Kalau di rumah terlalu jauh kalau setiap hari bolak-balik.” Jelas Adrian kepada orang tua mereka. “Kalau senggang kita akan ke sana. Jadi rumah tidak akan sepenuhnya tinggal.”
“Baiklah, ayah mengerti. Nasehat ayah, kalian berdua harus rukun, setiap ada permasalahan yang kalian hadapi harus dibicarakan jangan dibiarkan berlalu dan akhirnya akan meledak tidak bisa diperbaiki lagi.” beliau melihat kepada kedua anaknya dengan intens.
“Kamu Adrian harus mendidik dan membimbing Vio dengan baik sebagai kepala keluarga. Dan Vio, kamu harus mentaati setiap perkataan suamimu selama tidak menyalahi aturan agama.” Nasehat ayahnya kepada mereka berdua.
“Adri, ibu titip Vio, Nak.” Pesan ibunya pelan.
“Iya, Bu. Adrian akan jaga Vio dengan baik. Ibu tidak perlu khawatir.” Jawab Adrian dengan penuh keyakinan.
“ Kamu dengar nasehat ayah tadi Vio, kamu memang masih muda tetapi sekarang harus mulai membiasakan posisi sebagai istri. Atur jadwal kuliahmu dengan rumah tanggamu dengan baik, pasti bisa berjalan dengan baik.”
“Iya, ayah, ibu. Vio akan ingat nasehatnya dan inshaAllah akan Vio jalankan dengan sebaiknya.” Jawab Vio dengan mengangguk.
Hari itupun berlalu dengan mereka yang istirahat lebih awal, mengingat kondisi tubuhnya masih kelelahan setelah acara mereka tadi.
Keesokan paginya, kegiatan Violet adalah mengepak barang-barangnya yang akan dia bawa yang dibantu oleh ibunya. Sementara Adrian dan ayahnya sudah bermain catur di halaman belakang.
Hari keberangkatan Violet ke kota akhirnya tiba, dia dilepas oleh kedua orangtua mereka dengan sedikit drama tangisan.
“Ibu akan sangat kehilanganmu nak.” Ibunya memeluk Violet dengan erat, seakan tidak rela anaknya itu pergi jauh.
“Ibu dan ayah kan bisa ke kota juga untuk bertemu kita.” Adrian mengingatkan orangtua mereka dengan lembut.
“Benar, Bu. Jika ibu kangen, ajak saja ayah ke kota. Rumah di kota bisa lebih ramai.” Violet mencoba melucu dan menggoda ibu dan ayahnya.
“Untuk sementara kita tidak ingin menggangu kalian yang masih pengantin baru ini.” Goda ayahnya, dan sukses membuat Violet tersipu.
“Ibumu hanya belum terbiasa saja, nanti juga baik sendiri, disinikan ada ayah yang menemaninya.” Jawab ayahnya dengan bangga.
“Ayah dan ibu, baik-baik saja di rumah. Kalau kangen dengan kita, kalian ke kota saja.” Pinta Violet kepada orang tua mereka.
Meski dengan berat, akhirnya ibunya melepas kepergian mereka dengan senyuman walaupun matanya masih sesekali meneteskan air mata. Melihat istrinya masih begitu sedih, Hendra memeluk istrinya dengan erat di dadanya.
“Jika kamu belum rela berpisah dengan Vio, kita bisa berangkat juga ke kota sekarang.” Suaminya membuat tawaran kepada istrinya.
Salma menggeleng dalam pelukan suaminya. “Kita akan mengganggu kehidupan baru mereka, mereka dapat beradaptasi lebih baik tanpa kita di dekat mereka. Memahami sifat satu sama lain lebih baik tanpa adanya orang lain dalam kehidupan rumah tangga mereka. Kalau sudah tidak tahan kita akan menyusul mereka.” Jawab Salma dengan pelan.
Mereka berdua akhirnya kembali ke dalam rumah mereka dengan suaminya merangkul pinggang istrinya dengan mesra. Mereka sudah bisa bercanda kembali, karena suaminya sangat mengenal baik bagaimana istrinya ini.