DJ-2nd Our

2206 Kata
Chicago, Amerika. Pukul satu dini hari, aku nekat membelah gelapnya kota menuju ke sebuah tempat untuk menjemput seseorang. Dia adalah calon istriku yang punya hobi menghabiskan malam di club bersama pria-p****************g. Kalian pikir aku gila ingin menikahi gadis seperti itu? Ya, mungkin aku sudah gila. Aku cinta mati dengan nya, tapi dia tetap keras kepala dan masih saja melakukan kebiasaan buruk itu. "Semoga tidak terlambat" gumamku, menambah kecepatan. Akan ku ceritakan sedikit tentang pertemuanku dengannya dulu, yah hitung-hitung aku punya teman curhat saat berkendara malam-malam begini. Udara di Chicago menusuk tulang, untung saja aku mengenakan jaket tebal. Oke, aku sudah melantur terlalu jauh, jadi biarkan aku bercerita sekarang. Kita bertemu di sebuah club tempatku bekerja, ya, aku bekerja di club sebagai seorang DJ. Tidak pernah sekalipun terpikir olehku bahwa aku akan jatuh cinta kepada salah satu gadis yang saat itu tengah asik bercengkrama dengan para pengunjung club. Wajahnya cantik dan mungil, dia punya senyum semanis madu yang bikin candu, tubuhnya yang kecil dan berisi membuat para laki-laki suka sekali menggodanya, kecuali aku tentu saja. Ah, tapi setelah ku pikir lagi, aku juga sering menggodanya tapi tidak sampai kelewat batas kok. Menyukai seseorang dan hanya bisa menatapnya dari jauh adalah hal yang paling menyesakkan, malam itu selesai nge-DJ aku hendak pulang, saat sampai di parkiran aku melihat gadis yang selama ini ku sukai tengah meronta saat di paksa masuk ke sebuah mobil oleh seorang pria berusia sekitar 48 tahun. Aku datang bak pahlawan kesiangan, hanya saja saat itu keadaanya malam, jadi aku datang sebagai pahlawan kemalaman. “Jangan paksa dia!” aku turun dari motor, berjalan menghampiri kedua orang tersebut. Si gadis yang mendapatkan kesempatan untuk lepas pun segera berlari ke arahku dan berlindung di belakang punggung ku. “Urus saja urusanmu, Nak. Jangan ikut campur.” benar juga, ini Amerika loh, seharusnya aku tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Tapi dia kan tengah bersama dengan gadis yang aku sukai, jadi ini termasuk urusanku juga. “Tolong selamatkan aku, aku tidak ingin ikut dia, aku takut” bisik gadis itu dengan suaranya yang lirih justru malah membuat jantungku berdebar tak karuan. “Minggir!” pria itu hendak menarik gadis yang tengah ketakutan di belakang punggung ku, tapi segera ku tepis tangannya yang nakal. “Gadis ini adalah calon istri saya jadi, jangan macam-macam!” Ups. Kenapa aku malah menyebutnya calon istri? Tapi tak apa-apa, pria itu langsung terdiam, dia menatapku dari balik kacamatanya. “Kau serius?” “Ya, tentu saja. Jangan pernah ganggu dia lagi atau anda akan berurusan dengan saya!” Gadis yang masih bersembunyi itu menarik bajuku, meminta untuk segera pergi dari tempat itu. Agar lebih meyakinkan aku langsung memeluknya serta mengajaknya untuk enyah dari hadapan pria berkemeja hitam yang menatap penuh kesal ke arah ku. Sumpah ya, ini jantung seperti ber disko di dalam sana, semoga saja gadis yang ada dalam dekapanku itu tidak mendengarnya. Aku melepaskan rangkulan saat sampai di depan motorku. “Kau tidak apa-apa?” tanyaku, si gadis menggeleng. “Terima kasih.” “Sama-sama” suasana canggung menyelimuti kita berdua, “Kenalin, aku Daniel” ucapku memberanikan diri, gadis itu mendongak lantas tersenyum manis, manis, manis sekali, ugh. “Aku Kayana” Nama yang cantik bukan? Secantik orangnya tentu saja. Saat tanganku berjabat dengan tangannya debaran jantungku sudah tak bisa ku deskripsikan lagi. Ya, pertemuan sederhana dan singkat itu tak taunya membawa kita berdua menjadi semakin dekat dan dekat. Aku nyaman berada didekat Kayana, dia gadis yang baik dan em..sedikit agresif. Tapi aku menyukai semua hal tentang Kayana meski dia masih terus saja melakoni hobinya sebagai gadis malam. Kendaraan roda duaku berhenti di parkiran, sesi cerita sudah selesai. Melepaskan helm, lantas segera masuk ke dalamnya untuk mencari seseorang, yep, siapa lagi kalau bukan Kayana. Aku tidak tau dia ada di kamar nomor berapa, dan itu menjadi salah satu hambatan untukku yang segera ingin membawanya pulang. Aku mengirimkan pesan kepada dia yang untung saja langsung mendapatkan balasan. Menderap menuju kamar no.21 tempat dimana Kayana berada. Tanpa mengetuknya aku langsung menerobos masuk. Menatap sekeliling dan menemukan gadisku terbaring diranjang, sendirian. Aku menghembuskan nafas lega. Dia masih mengenakan pakaian lengkap. “Come on!” pekikku sembari menariknya untuk segera bangun. Melihat kondisinya yang seperti ini maka aku urungkan untuk marah. “Kayana!” Tak ada respon, aku segera membopong tubuhnya, lantas keluar kamar. Berdesakan dengan orang yang tengah berjoget-joget serta berlalu lalang. Tujuanku bukan parkiran melainkan halte, dalam kondisi seperti ini tidak mungkin aku membonceng Kayana dengan motor, bisa-bisa dia menggelinding di aspal nanti. Setelah sampai di halte aku segera menurunkan Kayana, menyandarkan kepalanya pada tiang pembatas disana. Tanganku tergerak untuk menepuk-nepuk pelan pipi gadis cantik itu. “Kayana, wake up, hey!” Perlahan Kayana mulai membuka matanya, menatap sekitar dengan bingung lantas tatapannya berakhir di aku. “Aku dimana?” “Halte” jawabku singkat. Kayana mengucek matanya sebentar, “Di negara mana ini?” Aissh, dia minum berapa gelas malam ini sampai bisa semabuk itu? Eh, tapi aku tidak mencium bau alkohol, lantas kenapa bicara Kayana jadi melantur seperti itu? “Amerika.” tak ingin berpusing-pusing ria akhirnya aku menjawab seperti itu. “Oh..—Amerika???” pekik Kayana kaget, spontan berdiri membuatku mundur selangkah lantaran ikut kaget juga. Kayana kembali menatap sekitar yang sepi dan gelap, “Hei, what happen with you?” tanyaku dengan suara lembut. Kayana terduduk kembali sembari memegangi kepalanya, “Argh, kepalaku pusing sekali.” keluhnya, aku kembali mendekat lantas memberi pijatan sederhana pada kepalanya. Kayana memejamkan mata sejenak, lima menit berlalu tanpa pembicaraan. Aku menyelesaikan pijatanku, “Sudah mendingan?” Gadis itu mengangguk. Aku duduk di sampingnya, menatap wajah pucat itu dari samping. Mau di tatap dari manapun, Kayana tetap terlihat sangat cantik, fisiknya tak ada cela sedikitpun. “Kayana, ada apa? Kenapa kau melanggar janji lagi? Sudah banyak kesempatan yang aku berikan padamu" aku mulai membuka suara, mengutarakan kekhawatiran serta kekecewaan yang sudah sering kali Kayana berikan. “Sudah berulang kali kau berjanji padaku, bahkan pada kedua orang tuaku, kalau kau akan berhenti menjadi seorang gadis malam dan berubah menjadi lebih baik" Dia mengibaskan tangannya, membuatku menghela nafas. “Jangan ceramahi aku sekarang, lebih baik antarkan aku pulang.” “Tapi Kayana—“ “Plis, kepalaku pusing dan aku lelah!” Entah kenapa kata-kata Kayana malah membuatku semakin sesak, ini adalah resiko yang harus aku terima saat memutuskan untuk menambatkan hati pada gadis malam seperti Kayana. Aku terkekeh sinis, “Lelah? Oh Kayana, sudah berapa pria yang kau tiduri malam ini, hm?" Plak! Satu tamparan meluncur mulus mengenai pipiku, Kayana sudah sering memperlakukanku seperti ini dan anehnya aku tidak bisa marah kepada dia, aku tetap mencintai Kayana sama seperti pertemuan pertama kita. Tidak ada yang berubah dari rasaku. “Tutup mulutmu!” Kayana membentakku. “Baiklah, kita pulang.” Aku mengaitkan jemariku dengan jemarinya, baru beberapa langkah Kayana berhenti, raut wajahnya berubah ketakutan dan aku langsung khawatir. “Why?" “Aku harus kembali ke club” kata dia, saat hendak berlari aku segera mencegahnya. Kayana tidak boleh masuk ke dalam club itu lagi lantaran sebentar lagi akan ada sidak n*****a, aku tidak ingin Kayana sampai tertangkap meski nanti dia akan dibebaskan lagi sebab terbukti dia bukan pengguna. “Tidak sekarang, Kayana. Kita harus segera pergi dari sini, besok saja ya? Aku akan mengantarmu" Kayana menggelengkan kepalanya dengan raut wajah ingin menangis, “Tidak bisa, aku meninggalkan sesuatu disana. Dan aku tidak ingin kehilangan sesuatu itu," kata dia lagi, siapapun pasti tau kalau saat ini Kayana tengah khawatir hanya dengan melihat raut wajahnya saja. “aku harus mengambilnya sekarang. Tidak bisa nanti-nanti atau bahkan besok” lagi-lagi Kayana hendak berlari pergi, tapi aku segera menahannya. “Tunggu disini, biar aku yang mengambilnya untukmu.” Aku tau keputusan itu gila sebab kemungkinan besar aku akan tertangkap oleh polisi nanti, tapi aku rela melakukan itu semua demi Kayana. Lebih baik aku yang tertangkap dari pada dia yang tertangkap. Sebelum pergi aku mencium kening gadis itu, cukup lama seraya memejamkan mata. “Aku akan segera kembali.” "Tapi.." "Tunggu aku disini dan jangan kemana-mana." Mulai melenggang dengan jantung yang berdegup kencang, saat langkah kakiku hendak masuk ke ruang club suara sirine polisi sudah terdengar. Tanpa membuang waktu lagi aku segera menerjang masuk, tujuanku adalah kamar no.21. Saat sampai didepan pintu aku mendesah kecewa lantaran tak tau barang apa yang dimaksud oleh Kayana. Terdengar kekacauan didepan, aku segera masuk dan mencari apapun yang sekiranya bisa aku bawa. Mengedarkan pandangan, tidak ada tas atau baju atau apapun. Lantas apa yang sebenarnya tertinggal, membuka satu persatu laci yang ada disana, tatapanku terpusat pada sebuah amplop coklat yang tergeletak. “Sepertinya ini.” melipatnya, lantas memasukan berkas itu ke dalam celana, catat, ke dalam celana. Bruak! “Angkat tangan!” Spontan aku mengangkat tangan, tatapanku tertuju pada pistol yang diarahkan kepadaku. Mereka segera menangkapku dan membawaku keluar kamar. Nasibku akan ditentukan sekarang, semoga Kayana baik-baik saja di halte sana. (^_^)(^_^) “Kau, boleh pergi" Melangkah keluar ruangan setenang mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan apapun, saat sudah agak jauh aku berhenti. Lutut ku gemetar, mengambil nafas sejenak. Tadi niatku ingin mengambil motor sekalian, tapi apalah daya parkiran dijaga oleh polisi dan tidak ada kendaraan yang boleh keluar satu pun. Alhasil, sekarang aku harus menemui Kayana dulu, nasib motor biarlah ditahan, tidak apa-apa. Netraku menatap gadis yang perlahan berjalan menjauh, Kayana hendak meninggalkanku. Padahal, tadi aku memintanya untuk tetap menunggu sampai aku kembali, tapi dia tidak mendengarkan. Bukankah aku sudah banyak mengalah untuknya? Menarik nafas panjang, mencoba menyingkirkan pikiran yang negatif mengubahnya menjadi positif saja. “Kayana!” Dia menoleh, menatapku dengan netranya yang cantik, berkaca-kaca. Eh? Apa aku tidak salah melihat Kayana berkaca-kaca? Aku semakin mempercepat jalanku, Kayana berlari ke arahku lantas memelukku dengan erat. Hatiku menghangat seketika, “Aku minta maaf, ini semua salahku.” dia masih terisak, aku mengelus punggungnya, menghujani kepalanya dengan kecupan. “Sudah, jangan menangis. Aku akan melakukan apa saja untukmu, Kayana. Kau percaya padaku, 'kan?" aku menangkup wajah mungil nan cantik milik kekasihku itu. Tadi aku pergi selama 2 jam lamanya lantaran harus di introgasi berulang-ulang serta melakukan tes darah untuk menentukan aku positif pengguna atau tidak, dan untung saja hasilnya negatif. “Mereka tidak akan menangkapmu, 'kan?” Aku tersenyum, lantas menggeleng. “Mereka tidak akan menangkapku Kayana, aku bukan seorang pengguna.” “Syukurlah” dia kembali memelukku dengan erat, aku menguraikan pelukan, sebelum mengeluarkan amplop itu aku menyapukan pandangan untuk memastikan tidak ada yang melihat. Aku memasukan tangan ke dalam celana, Kayana hendak menjerit tapi segera ku tahan, mengeluarkan amplop yang tadi sudah kulipat. “Ini?” aku menyerahkan amplop itu kepada Kayana, dia menerimanya dengan ekspresi yang sulit untuk ku deskripsikan. “Cek dulu” lanjut ku lagi. Kayana mengeluarkan sebuah kertas dari dalam amplop, tulisan yang tidak kupahami artinya terpampang. Gadis itu membacanya dengan wajah serius tak lama dia melipatnya kembali lantas menatapku. “Daniel.” Yah, sejak tadi dia memang belum memanggil namaku sama sekali. “Kita pulang sekarang.” aku mengangguk menyetujuinya. Memesan taxi online, sembari menunggu aku dan Kayana duduk di halte bus. Dia menyandarkan kepalanya di pundak ku. “Daniel, aku minta maaf karena sudah membuatmu khawatir. Pasti sulit menyukai gadis malam sepertiku. Tapi Daniel, aku ingin kau percaya padaku, aku akan berubah. Kau percaya, 'kan? Katakan kalau kau percaya padaku, Daniel" Aku terdiam, jujur saja rasa percayaku pada Kayana mulai menghilang. Sudah banyak kesempatan yang aku berikan padanya, tapi pada akhirnya gadis itu selalu menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ku berikan. Kayana menunduk dalam-dalam. "Menantu seperti apa yang diinginkan oleh kedua orang tuamu, Daniel?" Heh? Dia bertanya seperti itu? Aku tidak salah dengar kan? “Mommy hanya menginginkan gadis yang baik, Kay. Kalau bisa yang berpendidikan juga.” jawabku jujur, Kayana menghela nafas membuatku buru-buru menambahi. “Sudahlah, kau tidak perlu mencemaskan kriteria menantu idaman Mommy, toh yang akan menikah denganmu itu aku, bukan Mommy" Yep, aku punya masalah. Kedua orang tuaku tidak memberikan izin ketika aku bilang hendak menikahi Kayana. Ya kalian tau sendirilah siapa Kayana beserta latar belakang gadis itu. “Apa kau yakin ingin menikah denganku, Daniel?“ "Menurutmu bagaimana? Setelah semua yang aku lakukan dan aku berikan, apa kau masih meragukan keyakinanku, Kayana?" Kayana mendongak, menatap wajahku dengan intens. “Daniel, kali ini aku bersungguh-sungguh ingin memantaskan diri untuk menjadi istrimu, juga menantu idaman Mommy mu" ucapan itu terhenti, disusul senyumnya yang manis. Sungguh, aku lemah kalau harus berhadapan dengan Kayana. “Tapi Daniel, aku masih ragu kalau Mommy akan menerimaku meskipun aku sudah berubah menjadi gadis yang baik. Mommy benar-benar tidak menyukaiku, 'kan?" dia kembali menjatuhkan kepalanya di pundakku. Aku merangkul bahu Kayana. “Berusahalah dulu, Kayana. Aku akan membantumu dan akan selalu ada disampingmu” Aku tidak sedang membual, aku jujur. Ucapan itu dari dasar hatiku. Mencintai gadis seperti Kayana memang tidak mudah, tapi aku ingin membuatnya menjadi gadis yang lebih baik. Bukan semata-mata karena aku akan menikahinya ataupun karena kedua orang tuaku yang menginginkan menantu baik-baik. Tapi aku ingin ketika semua rencanaku gagal dan aku harus berpisah dengan Kayana dia bisa menjadi gadis baik-baik hingga laki-laki yang ingin mendekatinya tidak harus berpikir dua kali. Dengkuran halus terdengar memasuki indera pendengaranku, Kayana tertidur lelap. Dari sedekat ini aku bisa menatap wajah itu dengan puas, "Aku selalu mengucap syukur setiap kali aku sadar kalau kamu milikku, Kayana."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN