26 - KISAH DUA ALAM

1140 Kata
“Kita harus memberitahukan hal ini pada rakyat agar mereka melengserkan Raja Bhanu dari takhta, dengan begitu Anda bisa menggantikannya memimpin kerajaan ini.” Praduga mengusulkan rencana liciknya untuk menjatuhkan Bhanu, pria paruh baya itu terlihat sangat bersemangat sekali mengkhianati pemimpinnya. Sementara itu Arya lebih tenang dari biasanya, kali ini ia harus benar-benar merencanakan semuanya dengan matang, takut jika kembali jatuh ke lubang yang sama. Bhanu sangat cerdas dalam menyusun strategi, ia akui bahwa dirinya memang kalah lincah dari sepupunya itu. Salah selangkah saja, maka Arya sendiri yang akan terperosok. “Bagaimana menurut Anda, Pangeran?” tanya Praduga ingin mengetahui keputusan pria itu. “Tidak sekarang,” jawabnya. “Kenapa? Ini waktu yang pas untuk menyerang dia, Anda sangat diuntungkan.” Praduga terus mendesak Arya. Dalam hatinya ia juga kesal setengah mati karena Arya terlihat mengulur waktu. Arya menipiskan bibirnya lalu mendesis tajam, lama kelamaan ia muak mendengar masukan dari Praduga yang terkesan asal-asalan tanpa pertimbangan. “Kamu bodoh apa bagaimana? Bahkan Bhanu berani terang-terangan membawa anak dan istrinya ke istana ini, ia tidak takut jika hubungannya dengan manusia itu diketahui. Kamu tahu karena apa? Ya, karena Bhanu sudah mempunyai rencana lain agar semua orang di sini menerima Elin dan Manggala.” Arya menyemprot Praduga dengan nada kesal. Praduga tak menyiapkan cara dengan pemikiran panjang, pria itu memang tipikal terburu-buru dan ingin serba instan, tanpa memikirkan konsekuensi yang terjadi. “Lalu kita harus bagaimana?” Suaranya melunak sesaat mendapat jawaban dari Arya. “Diam dan lihat apa yang ingin Bhanu perbuat, ia juga tidak mungkin berlama-lama menyimpan istri dan anaknya, pasti sebentar lagi ia akan memperkenalkan mereka pada rakyat. Di saat itu baru kita bertindak,” tandasnya. Praduga menyeringai tajam. “Baiklah kalau begitu, saya akan menunggu waktu itu tiba.” “Menurut pendapatmu bagaimana dengan istri Bhanu itu?” Tiba-tiba saja Arya ingin mendengar pendapat Praduga mengenai Elin. “Tidak ada yang istimewa dimata saya, asalkan dia tidak ikut campur urusan kita maka biarkan saja. Toh gelar ratunya juga tidak akan bertahan lama setelah Anda bisa merebut takhta ini dari Bhanu.” Praduga tak ingin mengambil pusing, selagi Elin diam dan tak mengacaukan rencananya maka ia tidak akan mengganggu wanita bangsa manusia itu. Untuk apa bersusah payah mengotori tangan dengan melawan wanita lemah? Seperti tidak ada kerjaan saja. Arya hanya melirik Praduga sebagai respon. “Justru yang saya takutkan adalah anak mereka, Manggala.” Lanjutnya. “Kenapa?” “Manggala mempunyai darah keturunan Bhanu, bukan tidak mungkin ia yang digadang menjadi penerus kepemimpinan kerajaan ini. Jikapun Anda nantinya berhasil memimpin takhta, bukan hal yang mustahil bila anak itu akan merebut takhta ayahnya lagi.” Mendengar penuturan Praduga kembali membuat Arya berpikir panjang, ada benarnya juga perkataan pria itu. Manggala bisa menjadi batu sandungan ketika dirinya kelak baik takhta, hal ini tidak boleh terjadi. “Menyingkirkan seorang bayi tidak sulit bagiku,” gumam Arya sembari menyeringai kecil. Praduga mengendikkan bahunya, memang bukan hal yang sulit. Tapi, apa Arya akan berhasil melakukannya? Entah lah. Sementara itu diwaktu yang bersamaan tapi berbeda tempat, Gendis tengah memberikan hukuman bagi makhluk yang membangkang. Wanita itu mengenakan pakaian ketat berwarna semerah darah, tangannya membawa besi api yang siap untuk ditusukkan ke tubuh si korban. “Ampuni aku, aku menyesal!” teriak suara yang ada di lembah dasar sana. Namun, dari wajah bengis Gendis saja sudah dipastikan bahwa wanita itu takkan memberikan ampun bagi siapapun yang melanggar aturan kerajaan. Banyak sekali makhluk-makhluk gaib yang melanggar aturan bangsanya, tidak seharusnya mereka bersekutu dengan dukun dan dimanfaatkan begitu saja ilmunya. Hal ini sama saja merendahkan bangsa mereka. Gendis sangat membenci pengkhianat. “Tidak ada ampun untuk pengkhianat sepertimu, rasakan saja akibat dari ulahmu.” Ia mengangkat besi itu tinggi-tinggi, lalu setelahnya menusukkan benda panjang tersebut pada tubuh pria malang itu. “Ahh, sakit.” Sosok itu berteriak kesakitan. Tangan dan kakinya diborgol, ia bersimpuh sembari menahan perihnya perut yang ditusuk paksa. Besi panjang yang telah dipanaskan pada bara api, itu cukup untuk membuat mereka kesakitan bahkan hingga kehilangan kemampuan ilmunya. Ditambah lagi dengan suasana hati yang buruk, Gendis merasa puas mendengar lenguh kesakitan bagai lagu merdu yang terngiang ditelinga. Tiba-tiba saja sepintas bayangan penolakan Bhanu melintas dibenak Gendis, rasanya sakit sekali. Setelah apa yang banyak ia lakukan demi pria yang dicintainya itu kini justru Bhanu mengkhianati cintanya, bahkan parahnya lagi memilih manusia rendah sebagai pendamping. Ego Gendis tersentil, ia adalah wanita terhormat di kerajaan ini, Elin tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Entah racun apa yang Elin gunakan untuk memikat prianya. “Aku membencimu, mati saja!” Gendis berteriak dengan nyaring bersamaan dengan tusukan demi tusukan yang ia layangkan pada korbannya. Napasnya terengah-engah, tubuhnya lemas seperti jeli hingga ia jatuh terduduk. Ia menekan kuat dadanya yang bergemuruh, sampai detik ini Gendis tidak rela melepaskan Bhanu meski pria itu sudah berkeluarga. Ia sangat ingat bagaimana malam indah bersama Bhanu, bahkan sempat ada nyawa yang hadir dirahimnya, tapi hanya bertahan beberapa saat saja sebelum janin itu gugur. Andai saja anaknya hidup, pasti ia bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk memikat hati pria yang dicintainya. Wanita itu mengelap peluhnya yang menetes, diliriknya tubuh hangus pria yang sudah ia beri hukuman, Tidak ada raut penyesalan di wajah Gendis, ia hanya datar-datar saja melihatnya. “Bakar mayatnya sampai jadi debu.” Ia memerintahkan penjaga lembah untuk menghilangkan jasad. “Baik.” Penjaga lembah mengenakan jubah hitam dari ujung kaki hingga ujung kepala yang menggunakan tudung, ada tongkat sabit yang selalu ia bawa pada tangannya, persis seperti karakter malaikat pencabut nyawa yang sering dibahas dalam komik. Gendis segera mencuci tangannya, lalu ia pun keluar dari tempat eksekusi itu. Seorang gadis menghampirinya dengan terburu-buru. “Nona Gendis, tunggu.” Merasa ada yang memanggil namanya, si empunya pun membalikkan badan untuk melihat. “Sekar, ada apa?” “Mengenai tugas yang Anda berikan kemarin, saya sudah melakukannya dengan baik.” Sekar Kemuning adalah pelayan pribadi Gendis, ia sama liciknya dengan sang majikan. Gendis tersenyum simpul. “Kita akan lihat sejauh mana wanita itu bertahan.” “Nampaknya Anda sangat terganggu dengan kehadiran Nyonya Elin.” Ekspresi wajah Gendis berubah menjadi suram. “Aku memang sangat membencinya, bahkan aku ingin dia lenyap dari dunia ini selamanya agar tak ada lagi yang bisa merebut Bhanu dariku.” Sekar menganggukkan kepala paham, wanita manapun pasti akan marah jika pria yang dicintainya direbut oleh orang lain. “Tapi Nona, bagaimana jika Raja Bhanu mengetahui rencana kita?” Sekar meringis kecil, ia takut terkena amarah dari Bhanu. “Mudah saja, aku sendiri yang mengatasinya.” Sekar menghela napas lega, ia hanya berani melakukan sampai di sini saja, selanjutnya masalah Bhanu ia tak ingin terkena amarah. Gendis sengaja ingin mengganggu Elin agar wanita itu tak betah tinggal di sini, ia memberikan teror-teror berupa penampakan atau suara yang bisa membuat wanita itu ketakutan. Gendis sangat yakin, manusia manapun pasti akan ketakutan jika bersinggungan dengan hal gaib. “Elin Mahardika, kamu mencari musuh yang salah!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN