"Sayang, habis dari mana?” Bhanu menyapa sang istri yang tengah terburu-buru untuk kembali ke kamarnya.
Seketika Elin pun terperanjat dan menghentikan jalannya, kini ia membelakangi sang suami. Entah kenapa perkataan Bibi Nani terngiang-ngiang dalam ingatannya, sebenarnya apa yang disembunyikan oleh Bhanu?
Pria itu tampak cerah sumringah, hari ini Bhanu sudah mengajukan pernikahannya dengan Elin pada tetua istana agar istri dan anaknya itu bisa masuk dalam silsilah keluarga kerajaan. Dengan begini maka pernikahan keduanya sudah sah secara hukum negeri, meskipun mereka berdua berbeda alam.
Langkah ini diambil cepat oleh Bhanu sebagai antisipasi agar tidak ada bangsanya yang berniat memisahkannya dari Elin, karena pernikahan mereka sudah diakui kerajaan.
“Elin, kamu ada apa?” Bhanu yang semula berada di belakang pun kini berjalan maju ke depan, matanya menyipit memperhatikan gelagat istrinya yang tampak marah bercampur sedih.
“Nggak apa-apa, tadi aku ajakin Manggala latihan merangkak.” Jawabnya dengan senyuman yang dipaksakan.
“Hanya itu? kamu sama siapa tadi?” Seperti ada yang berubah dari Elin, padahal seharian tadi wanita itu baik-baik saja.
“Sendiri,” balasnya singkat.
“Kamu ada masalah apa, hm?” Bhanu menangkup kedua pipi istrinya, membelai wajah manis itu dengan penuh kelembutan.
Wanita itu mengerjapkan matanya yang sayu. “Aku harus kembali ke kamar, kasihan Manggala kecapean.”
Elin ingin menghindari Bhanu untuk sejenak, biarkan ia berpikir dengan jernih dulu.
Bhanu semakin keheranan dengan sikap Elin, istrinya menjaga jarak darinya? Elin juga menyingkirkan pelan kedua telapak tangan Bhanu yang berada dipipinya.
Bhanu membiarkan istrinya untuk pergi, ia penasaran sebenarnya ada apa dengan Elin? Meskipun begitu Bhanu tetap setia mengekori sang istri dari belakang, Manggala juga nampak kelelahan digendongan Elin, anaknya sudah memejamkan mata dengan nyenyak.
Sesampainya mereka di kamar, Elin tak meletakkan Manggala di box, melainkan di ranjang besar miliknya. Ditatapnya wajah sang anak yang terlelap dengan nyaman, semakin bertambahnya waktu Manggala seperti manusia normal, belum ada tanda-tanda gen Bhanu muncul.
Elin berharap agar anaknya selalu mirip sepertinya.
Bhanu juga memperhatikan istrinya yang tengah menatap buah hati mereka lama, jika ia bisa membaca pikiran Elin saat ini mungkin Bhanu bisa terbantu, kenapa tiba-tiba saja istrinya lebih pendiam dari sebelumnya.
“Sayang, bagaimana perkembangan Manggala?” Bhanu mengenyahkan pikiran buruknya, ia mencoba berpikir positif mungkin saja Elin kelelahan sehingga mengabaikan dirinya tadi.
Elin menoleh menatap sang suami tak lupa ia juga mengulas senyum tipis seolah semuanya baik-baik saja.
“Manggala baik, ia mulai lancar merangkak.” Ekspresi Elin saat membalas pertanyaan suaminya pun juga kembali membaik, ia tak mau jika Bhanu curiga dan terus mendesaknya, nanti ia akan bertanya secara pelan pada suaminya.
“Ohh syukurlah kalau begitu, diusianya sekarang memang tumbuh kembangnya lebih cepat dari anak-anak biasanya. Ahh ya, aku punya kabar gembira untukmu.”
“Benarkah? Apa itu?” Elin juga mencoba amat antusias mendengar perkataan suaminya.
“Aku sudah mengajukan pernikahan kita agar tercatat di dalam silsilah, Tetua Wangsa juga menyetujuinya.”
Ia beruntung karena tetua istana saat ini selalu bermurah hati dan mendukung keputusannya, Wangsa Jaya memang mengabdikan seluruh hidupnya pada Mahatma beserta keturunannya, meskipun ia sendiri tidak membenarkan pernikahan dua alam tapi selama Bhanu menginginkannya, ia pun tak dapat menolak.
Mendengar ujaran Bhanu membuat Elin mengangguk kecil dan menggigit bibir bawahnya dengan pelan, ia tidak tahu ini kabar baik atau buruk.
Jika Bhanu menyimpan rahasia besar yang bakal merugikan dirinya, maka selamanya Elin akan terus terikat dengan Bhanu dalam kesedihan. Entahlah sejak beberapa waktu lalu otaknya sibuk menebak kira-kira apa hal besar yang disembunyikan sang suami darinya.
“Bagus dong kalau begitu.” Wanita itu meringis kecut, jawaban yang keluar dari mulutnya sangat berbanding terbalik dengan kekacauan dalam hatinya.
Bhanu merebahkan dirinya di ranjang, ia bertopang tangan sambil mengamati anaknya yang pulas tertidur.
Elin melirik pada suaminya, sepertinya ini saat yang tepat untuk mengorek informasi.
“Ehem, apa rakyatmu akan menerimaku sepenuhnya?”
“Ku pastikan mereka menerimamu, kabar mengenai dirimu belum tersebar pada mereka, mungkin takkan lama lagi.” Informasi Elin sebagai istrinya masih berada di sekitar istana kerajaan sana, belum sampai ke telinga rakyatnya.
Untuk itu Bhanu juga berjaga-jaga dengan memasukkan nama Elin dan Manggala dalam keluarga secara sah. Bhanu sudah mencari cara untuk menenangkan rakyat bila terjadi kericuhan mengenai latar belakang Elin, ini sudah ia pikirkan matang-matang.
“Dengan cara apa?” tanya Elin.
“Aku yang akan menanggung bagaimana pun caranya, kamu dan Manggala cukup selalu bersamaku dan mendukungku.” Jawaban Bhanu terdengar bijak, ia tak mau menyeret Elin dalam permasalahannya, kasus yang satu ini biar dirinya sendiri yang menanggungnya.
Pertanyaan basa-basi sudah selesai, kini Elin akan langsung masuk ke inti pembicaraan!
“Apakah ada suatu hal yang ingin kamu katakan padaku? Maksudku, kamu adalah raja di kerajaan alam gaib yang besar ini, pastinya ada rahasia yang kamu sembunyikan dari khalayak, tidak masalah kan berbagi denganku?” Elin merutuki mulutnya yang sulit untuk diajak bekerja sama, lidahnya seakan sulit untuk merangkai kata-kata yang pas.
Hening, tidak ada suara yang keluar dari bibir Bhanu. Pria itu berpikir hingga keningnya berkerut, menimbang-nimbang apa ia harus mengatakan satu rahasianya?
Sedangkan Elin terus memperhatikan setiap kedipan mata suaminya yang tengah berpikir keras, jari-jarinya juga meremat pinggiran sprei hingga kusut.
“Ada,” sahut Bhanu setelah terdiam lama.
Bibir Elin tertarik membentuk bulan sabit ke atas, ia semangat mendengar jawaban suaminya.
“Aku ingin mendengarnya, boleh?”
“Tentu saja karena kamu adalah istriku, sudah seharusnya kita saling berbagi cerita.” Jawab Bhanu sambil menatap istrinya.
“Iya benar, kamu suami yang pengertian.”
“Dulu saat kamu meminta berpisah dariku, aku tidak benar-benar meninggalkanmu, dimana pun kamu berada aku selalu mengawasimu. Tiap malam aku juga membawa Manggala untuk mendapatkan ASI darimu secara diam-diam.” Kalimat terakhir Bhanu terdengar memelan, ia juga melirik buah hatinya.
Elin tersenyum kaku, dalam hatinya ia merutuki suaminya. Menurut ucapan Nani, rahasia itu bisa memicu pertengkaran rumah tangganya, pasti ada masalah lain yang tidak ingin Bhanu katakan padanya.
“El, kamu marah?” Bhanu merasa tidak enak hati, pasti Elin berpikir bahwa ia juga telah melecehkan istrinya dalam keadaan tak sadar.
“Aku tidak berbuat macam-macam, hanya sebatas memberikan ASI untuk Manggala saja, sumpah!” Bahkan jari telunjuk dan jari tengah Bhanu pun terangkat untuk bersumpah.
Ia pikir diamnya Elin karena tersinggung akibat dilecehkan, Bhanu hanya tidak tahu saja bahwa istrinya itu semakin berpikiran negatif tentangnya.
Elin kecewa, ternyata Bhanu menyembunyikan hal lain. Baiklah kalau begitu, mari kita lihat sejauh mana pria itu dapat sembunyikan hal besar yang berpotensi meretakkan rumah tangganya.
“El, maaf ya.” Suara Bhanu melunak.
Elin tersadar dari lamunannya buru-buru ia menyahut, “Nggak apa-apa toh itu demi kebaikan Manggala kan?”
“Iya, Manggala tidak bisa mengonsumsi apapun selain ASI kamu, jadi dengan terpaksa aku melakukannya.”
“Aku mengerti, kamu melakukan yang terbaik untuknya.”
“Terima kasih atas pengertianmu, El.”
Elin mengusap hidungnya untuk mengalihkan rasa sesak dihati, teka-teki ini membuatnya pusing.
Sedangkan di tempat lain dengan alam berbeda, seorang gadis tengah berdiri di atas motornya sambil mengusap rambutnya dengan kasar. Venda, sudah berhari-hari ia menghampiri rumah Elin tapi tidak ada tanda-tanda ada orang di sana.
Saat bertanya pada Bu Endah, tetangga temannya itu berkata bahwa sudah tidak bertemu Elin cukup lama. Aneh, ponsel pun tak bisa dihubungi.
Tapi anehnya, kata Bu Endah tiap pagi sampai siang toko roti Elin tetap buka, namun dijalankan oleh orang lain, bukan pemiliknya sendiri.
“Kamu di mana sih, El?” Venda menggosok tengkuknya yang tidak gatal.
Ia memang datang ke sini sore ataupun malam hari, makanya tak bisa melihat siapa yang menjalankan usaha toko roti milik temannya itu. Setahunya, Elin sudah tak mempunyai keluarga dekat lagi, sepupu terakhirnya memilih untuk tinggal dan menetap di luar negeri, lalu siapa yang memegang kendali atas toko tersebut.
Karyawan? Tidak mungkin, Elin lebih suka menjalankan tokonya sendiri, lagi pula usahanya belum terlalu membutuhkan pegawai.
Venda masih duduk di atas motornya, rumah Elin juga terlihat gelap gulita seperti tak ditempati berhari-hari. Mengendikkan bahunya pelan, Venda pun memasang kunci motornya lagi dan bersiap pergi.
Namun, belum sempat menekan starter motor maticnya, tiba-tiba saja sebuah suara menyapa telinganya.
“Mencari Nyonya Elin?” tanya suara itu.
“Astagfirullah, terkejut aku!” Venda langsung mengelus dadanya, jantungnya serasa copot saking kagetnya.
Sedangkan pria yang membuatnya kaget pun tampak tak terlihat bersalah, justru menampilkan raut wajah yang datar seperti biasa.
“Mau apa kamu?” tanya Venda dengan nada tak bersahabat, ia melepaskan helmnya dan berkacak pinggang di depan sosok pria itu.
“Kamu mencari Nyonya Elin?” tanyanya memastikan sekali lagi.
Venda mengembuskan napas kasar lalu disusul oleh anggukan kepala.
“Nyonya Elin berada di tempat kami bersama Raja Bhanu," ucapnya.
Mata Venda melotot seketika mendengar ucapan Damar, pantas saja Elin tak terlihat berhari-hari dan bahkan terkesan menghilang. Jadi, temannya itu dibawa ke alam gaib?
“Wahh, nggak bener ini. Elin manusia, kenapa kalian membawanya ke sana? Tempatmu itu berbahaya, salah-salah nyawanya bisa terancam.” Venda berdecak pelan sambil mengomel, setahunya manusia biasa tidak bisa seenaknya dibawa ke alam gaib karena adanya benturan antar energi.
Bisa saja nyawa Elin juga ikut melayang dan tak kembali, memikirkan hal itu membuat Venda bergidik ngeri.
Damar sebetulnya malas menanggapi mulut rombeng Venda, Elin memintanya untuk datang ke alam manusia dan menyampaikan pesan pada temannya ini. Jika bukan karena perintah sang nyonya, Damar pun enggan berurusan dengan Venda yang menurutnya menyebalkan.
“Raja Bhanu mempunyai urusan di istana, maka dari itu Nyonya Elin harus ikut. Mengenai keselamatan istrinya, pemimpin kami sudah memperhitungkan dengan baik." jelasnya.
Venda memajukan kepalanya, matanya juga menyipit. Hal itu membuat Damar refleks memundurkan langkahnya, gadis di depannya itu sungguh tak terduga.
“Jangan membohongiku!” Jari telunjuk Venda mengarah pada Damar, ia masih ingat bagaimana pria hantu itu mencekik lehernya dengan tak manusiawi, katakanlah Venda merasa dendam pada sosok pengawal kepercayaan sang raja itu.
“Saya tidak berbohong, Nyonya Elin ada di kerajaan kami. Saya diminta untuk menemui kamu dan bilang bahwa ia baik-baik saja di sana, untuk beberapa waktu ini Nyonya mempercayakan toko rotinya pada kamu.” Damar menjelaskan secara rinci dan sabar, masih dengan mendapat tatapan curiga dari Venda tentunya.
Venda tidak ingin percaya pada ucapan hantu, tapi sepertinya Damar memang bersungguh-sungguh.
Gadis itu mendengus pelan. “Kata tetangga ada yang jalanin toko roti Elin, siapa itu?”
“Tuan Bhanu memerintahkan kami untuk mengelolanya selama beberapa hari lalu.”
Lagi-lagi Venda dibuat heran sekaligus aneh, sejak kapan hantu bisa berjualan roti? Haha, lucu.
Venda menopang dagunya. “Kapan Elin kembali ke sini?”
“Saya tidak tahu.”
“Kenapa bisa nggak tau? Lahh, situ kan pengawal kepercayaan.”
“Itu urusan Raja dan Nyonya, saya tidak berhak mencari tahu.”
“Atau jangan-jangan kalian sengaja nahan Elin di sana ya? Ayo ngaku, memang bangsa kalian licik dan penuh tipu daya.” Venda langsung menghakimi.
Jika memang Elin ditahan di sana, Venda pasti bergerak cepat dengan meminta bantuan Abahnya untuk melakukan pengajian dan doa-doa, pokoknya berupaya agar temannya bisa kembali ke alam manusia lagi.
Damar tak suka dengan ucapan Venda yang terkesan memojokkan. Tidak semua bangsanya seperti itu, hanya makhluk-makhluk pembangkang saja yang memilih untuk memperbudak manusia dan melakukan tipu daya serta kelicikan semacam pesugihan atau santet dan lainnya.
“Raja kami bukan orang semacam itu, ia sangat menghormati dan memperlakukan Nyonya sebaik-baiknya. Nyonya Elin pasti akan kembali ke sini karena itu lah janji Raja Bhanu padanya.”
“Masa? Aku nggak percaya.” Venda menaik turunkan alisnya, jika begini ia memang terlihat menyebalkan.
Aura Damar semakin suram saja, kesabarannya diuji oleh gadis ini.
“Terserah jika kamu tidak percaya, saya sudah menjelaskan semuanya dengan jujur. Kedepannya tolong kelola toko roti milik Nyonya Elin dengan baik, nanti ketika kamu sudah pulang ke rumah bisa lihat di bawah bantal ada upah yang sepadan.” Tutur Damar, perlahan-lahan tubuhnya menjadi transparan seperti asap putih.
“Upah apa? Hei, aku nggak mau musyrik, akan ku kelola usaha roti temanku dengan baik tanpa diberikan imbalan apapun.” Venda menaikkan nada suaranya satu oktaf, enak saja Damar asal meninggalkannya begitu saja.
“Saya percaya kamu!” ucap Damar terakhir sebelum tubuh pria itu menghilang bersamaan dengan terpaan angin.
“Hah, hantu menyusahkan.”
Bergegas Venda menyalakan motor maticnya, tak lupa memasang kembali helm pada kepalanya.
Perjalanan menuju rumah ia masih memikirkan perkataan Damar, jika Elin ada di sana lalu kapan temannya itu kembali? Tidak baik juga bangsa manusia pergi ke alam gaib dalam jangka lama.
Sesampainya di rumah ia segera memarkirkan motornya pada garasi, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Gadis itu merebahkan dirinya di kasur, tapi kepalanya seperti terantuk benda yang keras. Buru-buru Venda bangun dan menyingkirkan bantalnya, betapa kaget gadis itu melihat bawah bantalnya.
“Astaga, emas. Ini asli?” Venda meraih batangan emas itu dan memperhatikannya dengan detail. Ada segepok benda logam mulia itu di sana, apa ini yang dimaksud upah sepadan?
Selama ia melakukan praktisi ruqiyah, benda-benda yang sering ditemui hanya lah seputar keris, paku, jarum dan rambut kusut. Baru kali ini ia bersinggungan dengan bangsa gaib hingga diberi emas sebagai upah.
"Gila!"