“Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda, Pangeran Arya.” Praduga masuk ke ruang pribadi Arya untuk menyampaikan pesan.
Arya mengibaskan jubah kebesarannya lalu berbalik badan.
“Siapa?”
Praduga tersenyum miring lalu menjawab, “Orang kepercayaan Nona Gendis, jika saya tidak salah menebak maka ia ingin membebaskan nona mudanya itu.”
“Biarkan dia masuk.” Arya mengulas senyuman miring.
Praduga pamit undur diri, setelahnya ia keluar untuk menyampaikan izin dari Arya.
Tak lama berselang muncul Praduga diikuti oleh sesosok pria tinggi nan kurus, mengenakan pakaian serba hitam serta penutup wajah.
“Hormat saya pada Pangeran Arya.” Pria bertopeng gelap itu memberikan salah penghormatan pada Arya.
“Katakan apa tujuanmu mendatangiku?” Arya tidak berminat basa-basi, ia ingin tahu ada apa gerangan pria itu mendatanginya.
“Saya ingin meminta tolong pada Anda untuk mengeluarkan Nona Gendis dari penjara, ia sudah sangat menderita di sana.” Orang kepercayaan Gendis memohon pada Arya.
“Apa yang ku dapatkan jika aku membantunya? Tentu saja ini bukan cuma-cuma.”
Pada dasarnya Arya memang terkenal licik, ia takkan mau melakukan sesuatu jika tidak mendapat timbal balik atas jasanya. Dan orang itu tahu betul, tapi tidak ada yang bisa dimintai pertolongan jika bukan Arya seorang.
“Nona Gendis bersedia melakukan apa saja untuk Anda, kami akan bekerja untuk Pangeran Arya.”
“Dasar wanita munafik, sebelumnya ia menyia-nyiakan tawaranku, dan sekarang mengemis bantuan dariku? Tcih.”
Arya masih ingat dengan benar ketika Gendis menolak tawarannya dengan mentah-mentah, bahkan wanita itu terlihat sombong.
“Saya mohon pada Anda, hanya Pangeran Arya lah yang bisa menyelamatkan Nona dari hukuman lainnya. Kasihan Nona Gendis selama ini mengharapkan cinta dari Raja Bhanu, tapi justru ia mendapatkan penghinaan luar biasa.” Rahangnya mengetat menahan amarah yang membuncah.
Mengingat perjuangan cinta Gendis pada Bhanu tak pernah dianggap, hal ini membuat abdi setia itu marah bukan kepalang. Malang sekali nasib nona mudanya itu.
Arya duduk di kursi kebesaran ruangannya, ia menyesap secangkir teh yang masih mengeluarkan asap, seolah tak terganggu dengan panasnya cairan itu.
Sedangkan si pria bertopeng yang bernama Banyu itu masih setia memohon pada Arya.
Praduga mendekati Arya yang terlihat santai meminum teh panasnya, matanya melirik pada Arya yang juga dilihat oleh si empunya.
Arya paham dengan kode dari Praduga, mereka bisa memanfaatkan situasi ini dengan baik.
“Ya, aku akan mengeluarkan Gendis dari tahanan.”
“Anda serius? Terima kasih, Pangeran Arya.” Banyu senang karena Arya bersedia membantunya.
“Sudah ku bilang ini tidak gratis, ada hal yang perlu kamu selesaikan!” tukas Arya setelahnya.
“Apa pun akan saya lakukan, katakan saja apa perintah Pangeran.”
Arya dan Praduga menyeringai kegirangan, ini dia yang mereka inginkan.
Sementara itu di ruang aula, tiba-tiba saja ada seseorang yang meminta mereka datang untuk berkumpul. Bhanu sendiri tidak menahu soal itu, sebagai Raja, tidak ada yang mengatakan ingin mengumpulkan para anggota istana di aula kebesarannya.
Sesampainya Bhanu di sana sudah ada keramaian dan saling bisik-bisik.
“Damar, ada apa ini?”
“Mohon maaf Yang Mulia, entah bagaimana bisa mereka berkumpul di sini tanpa titah dari Anda.” Damar sendiri kurang tahu, baru saja ia tiba di alam gaib tiba-tiba saja ruangan ini telah ramai oleh para pejabat pemerintah kerajaan.
“Hentikan pembicaraan kalian, Raja Bhanu telah tiba.” Wangsa Jaya memberikan pengumuman.
Sontak saja mereka yang berbisik-bisik pun segera menghentikan kegiatannya.
Bhanu duduk di singgasana, di sampingnya berdiri Damar yang setia berada di sisi sang tuan.
“Ada keributan apa ini?”
Salah satu dari anggota istana pun maju untuk mengatakan masalah yang terjadi.
“Mohon ampun, dikalangan rakyat tengah terjadi gejolak yang diakibatkan oleh penahanan Nona Gendis. Selama ini rakyat tahu bahwa hubungan Anda berdua sangat baik, bahkan sempat diperkirakan menjadi pasangan. Namun, soal penahanan itu membuat rakyat mengira bahwa Anda kurang bijak menanganinya.”
Napas Bhanu tercekat saat pejabatnya mengatakan hal itu. Memang benar, hubungan Gendis dan Bhanu sejak kecil sangat baik, bahkan diperkirakan Gendis lah yang akan menjadi permaisuri sekaligus ratu di kerajaan ini. Apa yang dilakukan Gendis terhadap Elin tak bisa diabaikan begitu saja, tapi jika Bhanu sekali lagi mengabaikan permintaan rakyat, pasti kepercayaan rakyat padanya juga berkurang.
Ia dilema. Di satu sisi Bhanu perlu memberikan hukuman sepadan atas apa yang dilakukan Gendis terhadap Elin, tapi di sisi lain rakyat sendiri yang meminta.
Rakyat mau menerima Elin sebagai ratu saja Bhanu sudah amat bersyukur, jika sekali lagi ia mengecewakan harapan mereka maka ia takkan memiliki kuasa.
“Aku akan mempertimbangkan masalah ini.”
“Mohon Anda memberikan sedikit murah hati agar membebaskan Nona Gendis, mengingat jasa-jasanya selama ini.”
“Yang Mulia, ini adalah hal yang besar.” Damar berbisik untuk mengutarakan isi hatinya.
Bagaimana ia tidak keberatan? Gendis sudah berani mencelakakan Elin hingga ingin merenggut nyawanya, tidak etis rasanya jika Bhanu membiarkan wanita itu bebas.
“Aku mengerti pemikiranmu, tapi untuk yang satu ini aku harus mengalah.” Bhanu membalas ucapan Damar.
“Tapi, Yang Mulia. Kasihan Ratu Elin, ia tidak mendapatkan keadilan secara penuh.”
“Damar, aku paham dengan keputusanku sendiri.”
Mendengar penuturan rajanya mau tak mau membuat Damar bungkam. Apalah dirinya, hanya bawahan yang semestinya mengikuti perintah atasan.
“Maaf.” Damar menunduk lesuh merasa bersalah.
“Baiklah, demi rakyat maka aku akan membebaskan Gendis. Tentunya dengan syarat ia takkan mengulangi perbuatannya lagi.” Dengan berat hati Bhanu memutuskan untuk membebaskan wanita itu dari penjara.
“Terima kasih, Anda memang pemimpin yang bijaksana.”
Salah satu prajurit diminta untuk menyampaikan keputusan ini pada penjaga penjara, agar mereka membebaskan tawanan.
Damar sendiri tampak tak puas dengan keputusan yang diambil oleh rajanya, baru kali ini merasa sedikit kecewa. Tiba-tiba saja terlintas obrolannya dengan Venda tadi, gadis itu secara pribadi meminta Damar untuk menjaga Elin sebaik-baiknya.
Sudah pasti Damar menyetujuinya tanpa diminta. Tapi jika hari ini Bhanu sendiri yang membebaskan penjahat, entah bagaimana lagi Damar memastikan keselamatan ratunya itu.
Sedangkan di dalam penjara, seorang pengawal berlari tertatih-tatih datang.
“Titah dari Raja Bhanu, Nona Gendis dibebaskan hari ini.” Ia memberitahu penjaga sel.
“Jangan mengada-ada,” balas si penjaga.
“Aku bersumpah, hari ini Yang Mulia sudah memberikan keputusannya, apa kalian berani melawan?” Pengawal itu menyentak dua penjaga, membuat mereka menciut karena nama Bhanu dibawa-bawa.
“Baiklah.”
Dari dua orang penjaga, salah satunya membuka kunci tahanan, ia masuk ke dalam lalu memberitahukan kebebasan Gendis.
Gendis yang saat itu tengah merenung menekuk dua kakinya pun mengangkat kepala.
“Ada apa?”
“Anda dibebaskan.”
Gendis segera bangkit berdiri. “Kalian yakin?”
“Ya, Raja sendiri yang memberikan kebebasan untuk Anda.”
Sudut bibir Gendis terangkat seperti senyuman miring, ternyata Banyu sukses menjalankan rencana.
“Terima kasih.” Gendis berjalan keluar dari sel tahanan, ia menghirup udara luar dengan nyaman.
Akhirnya ia bisa bebas dari penjara busuk ini, entah trik apa yang dilakukan Banyu hingga berhasil membuatnya terbebas.
Di tempat yang berbeda dengan waktu yang bersamaan. Pintu kamarnya diketuk dari luar, ia segera membukanya dan melihat ada Bi Nani berdiri di sana. Keduanya saling bertatapan lama, Elin tidak tahu harus memperlakukan wanita paruh baya itu seperti apa.
Suasana canggung terjadi selama beberapa menit, hingga Elin pun inisiatif membuka suara melihat ekspresi panik si empunya.
“Bi Nani, ada apa?” Sebelah tangan Elin mencengkeram handle pintu dengan erat.
“Ratu Elin, ada hal penting yang ingin saya sampaikan.”
“Katakan.”
“Saat ini Yang Mulia memutuskan untuk membebaskan Gendis dari tahanan, ini adalah tuntutan para rakyat.” Sembari mengatakan tujuannya datang ke sini, ia juga memperhatikan respon Elin dengan saksama.
Mata Elin agak berkedut, pertanda bahwa ia terkejut dengan berita ini. Namun, ia segera menguasai dirinya dengan baik lalu bersikap untuk tenang.
“Tuntutan para rakyat? Jadi, mereka melindungi seorang penjahat?” Elin mengangguk mengerti sembari tersenyum miris.
Nani mempertaruhkan dirinya untuk memberitahu Elin lebih dulu, agar ia bisa mencegah potensi kesalahpahaman antara Bhanu dan Elin.
“Bukan seperti itu, Ratu. Hanya saja Raja Bhanu tengah mengalami pilihan yang sulit, ia juga terpaksa melakukannya.” Buru-buru Nani menyahut, ia tak ingin jika Elin berpikiran buruk terhadap suaminya sendiri.
“Atas dasar apa Bi Nani datang memberitahuku?” Matanya memincing dengan teliti.
Nani segera berlutut untuk memohon ampun karena telah lancang.
“Yang Mulia Ratu, saya tidak ingin Anda salah paham dengan keputusan yang diambil oleh Raja, karena ia melakukan ini juga terpaksa. Untuk saat ini tuntutan publik lebih penting, mengingat bahwa rakyat sukarela menerima Anda dan Pangeran Manggala, maka dengan ini Raja Bhanu berharap untuk memuaskan hati rakyatnya.” Nani menjelaskan cukup panjang.
Bibir Elin gemetar, ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Cengkeramannya pada handle pintu juga terlepas, tubuhnya lemas.
Demi memuaskan hati para rakyat bahkan Bhanu rela mengabaikan keadilan untuknya. Apa suaminya itu benar-benar memiliki rasa terhadap Gendis? Sementara nama rakyat dijadikan kambing hitam.
Elin mengenal karakter suaminya dengan benar, Bhanu tidak akan goyah semudah itu.
“Ratu Elin tolong jangan berpikiran buruk, saya mohon jangan ada perselisihan lagi di antara kalian.” Masih dalam posisi berlutut, Nani sekali lagi memohon pada Elin.
Ibu satu anak itu menghirup napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan sebagai penenang emosinya.
“Apa yang ada dipikiranku adalah urusanku.” Elin menegaskan.
Wanita itu tengah berpikir kemungkinan Bhanu dan yang lainnya masih ada di aula untuk melakukan pertemuan, ia akan datang sendiri ke sana agar bisa melihat kenyataannya.
Diliriknya Nani yang masih setia berlutut, ia tak mempedulikan wanita itu lalu menutup pintu dan berlari menuju ruang aula. Nani membelalakkan matanya terkejut, segera ia mengikuti Elin dari belakang.
Sesampainya di sudut aula, dengan mata kepalanya sendiri Elin menyaksikan Gendis dikawal oleh para pengawal, bak pahlawan yang memenangkan peperangan di medan perang.
Mata Elin berkaca-kaca, kenapa penjahat diperlakukan sehormat itu? Yang paling penting adalah Bhanu membiarkan hal itu terjadi, Elin tak habis pikir.
“Selamat atas pembebasanmu, Nona Gendis.”
“Pangeran Arya sudah berusaha maksimal.” Gendis membalas perkataan Arya, kali ini ia sangat puas dengan hasil kerja anak buah kepercayaannya karena berhasil meminta bantuan Arya untuk membebaskannya.
Gendis melangkah maju menghadap Bhanu, ia memberikan salah penghormatan pada sang raja.
“Anda adalah pemimpin yang murah hati, terima kasih karena sudah memberikan kebebasan untuk saya.” Gendis menggunakan kalimat formal, di sini adalah tempat perkumpulan para pejabat istana, ia harus sebaik mungkin dalam menjalankan peran.
“Aku membebaskanmu dari penjara bukan secara cuma-cuma. Ku peringatkan jangan pernah melakukan hal-hal yang melanggar peraturanku, atau dirimu tidak akan pernah memiliki kesempatan bebas untuk kedua kalinya.” Dengan nada rendah tapi mengancam, Bhanu memberikan peringatan untuk Gendis.
“Saya akan mengingatnya.” Gendis mengangguk lalu memundurkan langkahnya.
Tubuh Bhanu menegap dengan sempurna, tatapan matanya dingin dan lurus ke depan.
“Sampaikan berita pembebasan Gendis pada seluruh rakyatku, biarkan mereka tenang setelah permintaannya dipenuhi.”
“Titah Anda akan kami laksanakan segera!”
Nani sampai di sana, ia bisa mendapati binar kesedihan dan kekecewaan yang mendalam dimata sang ratu.
“Bi Nani.” Elin memanggil nama wanita pengasuh tersebut.
“Ya, Ratu?”
“Anggap saja Anda tidak mengatakan apa-apa pada saya hari ini, biarkan Bhanu sendiri yang menjelaskannya.”
Elin tidak sebodoh itu untuk menerjang pertemuan penting, ia hanya mengamati selama beberapa saat. Kini mata kepalanya sendiri sudah menjawab rasa penasarannya, ia pun berbalik lalu melangkah pergi dari sana.
“Bhanu, kamu memberikan ketenangan pada rakyat tapi berlaku tidak adil terhadap istrimu sendiri.”