Sementara itu di alam manusia, seorang gadis tengah berdiri di pinggiran etalase toko, matanya menelisik ke seluruh meja itu dengan saksama. Ada banyak jenis olahan tepung tersedia rapi nan tampak lezat.
Bukan, bukan karena ia membayangkan betapa nikmatnya sajian roti-roti tersebut, melainkan bagaimana bisa ada roti di sana yang sudah tersusun dengan apik sementara dirinya tak tahu siapa yang membuatnya.
Tiba-tiba saja bulu kuduk Venda meremang, otak cantiknya sudah menduga kemungkinan ini akan terjadi.
Sembari menyentuh pangkal leher ia bergumam, “Hal gaib memang terdengar di luar nalar, tapi mereka benar-benar nyata dan ada.”
Bagi sebagian orang mereka tak mempercayai aktivitas gaib, mereka akan menyangkal eksistensi makhluk itu dengan pemikiran logis. Namun, kembali lagi pada kepercayaan masing-masing.
Selama Venda diberi tanggung jawab menghandle toko roti Elin, ia hanya perlu menjaga toko ketika ada pembeli yang datang maka tugasnya pun melayani mereka. Venda tidak tahu kapan dan bagaimana roti-roti ini dibuat, saat ia datang entah bagaimana sudah tersaji snack ini.
Gadis itu mengetuk dagunya dengan pelan.
“Hantu membuat roti? Memang terdengar gila, tapi sepertinya nyata. Aku bahkan masih ingat dengan tumpukan batang emas di bawah bantalku, sekeras apapun menolak percaya pada akhirnya kejadian ini memang realita.”
Venda takkan bisa melupakan momen di mana ia diberikan emas batangan yang cukup banyak, terkejut? Pastinya.
Bahkan Venda sampai mengetes keaslian emas-emas itu di toko logam mulia, dan faktanya emas itu memang asli seratus persen. Sampai saat ini ia belum melakukan apa-apa terhadap emasnya, masih tersimpan utuh di kotak kayu yang ia letakkan di kolong kasurnya.
Semoga saja Abah dan Uminya tidak mengetahui hal ini, atau Venda akan dikira musyrik nantinya.
“Ah, sudahlah. Aku bisa gila kalau terus-terusan mikirin ini.”
Gadis itu pun duduk tenang sembari menunggu pembeli yang datang, entah bagaimana bisa mereka mengatakan bila roti Elin dalam beberapa hari ini lebih enak dan lembut dibandingkan biasanya.
Satu pembeli datang, Venda buru-buru bangkit berdiri untuk menyambutnya.
“Roti pisangnya lima bungkus,” ucap ibu-ibu yang menggendong anaknya itu.
Dengan segera Venda mengambil lima bungkus roti dan dimasukkan ke dalam kantong.
“Mbak El kok nggak keliatan, ya?” Ibu itu menyerahkan uang pas sambil menanyakan keberadaan Elin.
Venda tersenyum kikuk, bingung mau menjawab apa.
“Ohh itu, Elin sedang di rumah sepupunya.” Venda asal menjawab. Dalam hatinya ia meringis, sepupu Elin sebelah mana?
“Begitu, berarti ini buatan Mbak Venda rotinya?” Ibu itu melemparkan pertanyaan lagi.
Hal ini semakin membuat gadis itu kebingungan, jujur salah apalagi berbohong? Tidak mungkin ia mengatakan bahwa roti-roti ini dibuat oleh jin, bisa terkena omelan dia.
“Iya, Bu.” Venda meringis masam, dalam hatinya ia meminta maaf sebesar-besarnya karena telah berbohong.
“Rotinya enak, buatan tangan Mbak Venda unggul.” Jari jempol wanita itu mengacung pada Venda.
“Makasih atas pujiannya, Bu.”
“Sama-sama, saya permisi.”
“Iya, mari.”
Venda meniup ujung jilbabnya dengan kasar.
“Kamu ternyata punya bakat untuk berbohong.” Tiba-tiba saja ada suara pria yang muncul entah dari mana, mengagetkan Venda hingga gadis itu berjengkit.
Bibir Venda mencebik. “Aku berbohong karena terpaksa, jika bukan kalian yang menyuruh maka aku takkan melakukan hal itu.”
Sebelah alis Damar terangkat tinggi.
“Ucapan manusia memang tidak bisa dipercaya. Jika enggan berbohong maka katakan saja kalau ini buatan tangan orang lain, tidak usah mengaku-ngaku.”
Rasanya Venda ingin menyumpal mulut Damar dengan kain bekas, hantu satu itu benar-benar bermulut tajam.
“Jadi, kamu datang ke sini hanya untuk merundungku?” Venda menatap sengit Damar.
Mendapat pertanyaan dari Venda seketika membuat raut wajah Damar menjadi serius, Venda yang menangkap perubahan ekspresi dibuat kebingungan.
“Kenapa?”
“Ada yang ingin saya sampaikan.” Nada suara Damar juga terdengar sangat serius, tak ada kesan mengejek seperti tadi.
“Katakan saja,” tukas Venda.
“Nyonya Elin sudah dinobatkan menjadi ratu di istana kami, begitu juga dengan Pangeran Manggala telah dijadikan putra mahkota pewaris takhta. Untuk ke depannya Ratu Elin bisa datang ke dunia manusia, hanya saja tak menetap.” Damar diminta oleh Bhanu agar menyampaikan informasi ini pada Venda.
“Kenapa nggak bisa menetap? Elin adalah manusia, sangat berbahaya jika ia tinggal di alam kalian.” Venda mencemaskan Elin, manusia biasa memang sulit bertahan lama di alam gaib karena benturan aura dan dimensi.
“Masalah itu sudah dipikirkan oleh Yang Mulia Raja Bhanu, beliau tidak mungkin membahayakan keselamatan istrinya. Karena telah mengemban tugas sebagai pendamping raja, sudah kewajiban Ratu Elin untuk terus berada di sisi suaminya.” Damar menjelaskan dengan panjang lebar, ia yang terbiasa cuek dengan orang lain pun kini dituntut untuk menjelaskan semuanya sedetail-detailnya pada gadis itu.
Jika Elin ada di alam gaib dalam jangka panjang, maka nyawanya benar-benar terancam. Bisa saja jiwanya masih hidup, tapi raganya hancur karena pergesekan dua dimensi.
“Tak ku sangka Elin akan memiliki takdir semacam ini.”
“Nona Venda tidak perlu khawatir, kami akan memastikan keselamatan Ratu Elin.”
“Ku harap begitu.” Venda mengendikkan bahunya dengan lemas.
Damar menatap Venda dengan lirikan, gadis itu ternyata sedih mendengar kabar mengenai temannya. Ia jadi merasa serba salah di sini, tugasnya hanya menyampaikan informasi tapi secara tak sengaja justru membuatnya bersedih.
“Apakah di sana Elin bahagia?” Setelah terdiam cukup lama hingga membuat suasana hening, akhirnya Venda melempar pertanyaan pada Damar.
“Ratu Elin bahagia, ada anak dan suaminya.”
“Bagus lah kalau begitu, entah kenapa beberapa hari yang lalu aku memimpikan hal buruk menimpa Elin. Nampak seperti ia tengah terluka? Tapi yah mungkin hanya firasatku saja.”
“Itu bukan sekedar firasat, Ratu Elin memang terluka.”
“Hah, Elin kenapa?”
“Ada orang yang tidak menyukai Ratu Elin dan berusaha untuk mencelakainya. Syukurlah hanya luka ringan, Raja Bhanu sudah menanganinya.” Sebenarnya Damar tak berencana mengutarakan kejadian buruk ini pada Venda, tapi ia merasa tidak tega menyembunyikannya.
“Siapa yang berani mencelakainya?”
“Seorang wanita yang menyukai Raja Bhanu.”
Venda mengangguk paham. “Masalah percintaan, kerajaan memang penuh persaingan.”
“Lalu bagaimana dengan Manggala?”
“Pangeran Manggala tumbuh kembang dengan baik, kabarnya ia sudah belajar merangkak.”
“Aku jadi merindukan keponakan ku itu, sampaikan salamku pada Elin dan minta dia untuk segera ke sini.”
“Pasti, Nona.”
“Ohh ya, sepertinya aku butuh bantuanmu.” Venda menjentikkan jarinya cepat, untung ia ingat masalah ini.
“Apa yang bisa saya bantu?” Damar segera menimpali.
“Wanita yang rumahnya di ujung sana namanya Anggini, dia nggak suka sama Elin sejak membuka toko roti ini, bahkan menyuruh makhluk gaib untuk menyantet. Ada warga sini yang mengatakan tiap malam rumah ini berhantu, ada sosok tinggi besar yang berkeliaran, bisa kamu mengatasinya?” Venda mendapat laporan dari Bu Endah, tiap malam wanita itu melihat sosok seperti kera berada di depan rumah Elin dan berputar-putar di sini.
Damar berpikir sejenak, bukankah rajanya sudah pernah mengalahkan sosok itu beserta dukunnya? Apa wanita bernama Anggini itu menggunakan dukun lain yang lebih hebat, mungkin saja begitu.
“Tentu saja, saya akan mengatasinya.” Damar menjawab dengan penuh keyakinan.
“Bagus, terima kasih.”
“Saya yang seharusnya berterima kasih padamu, kamu telah direpotkan oleh kami.”
“Santai aja, aku nggak repot sama sekali.” Venda menjawab dengan enteng.
Tak disadari, Damar pun tersenyum mendengar pembawaan gadis itu. Venda tidak buruk juga, gadis itu baik hati dan ramah.
“Emas yang kamu berikan itu, aku nggak berani memakainya.”
“Takut dianggap musyrik atau bersekutu dengan bangsa kami?” Damar sudah bisa menebak.
Venda mengangguk mengiyakan. Apalagi jika orangtuanya tahu, bisa tamat riwayatnya.
“Sebenarnya kamu bukan bersekutu dengan kami, kamu pasti tahu bahwa di antara kita tidak ada perjanjian gaib kan?”
Venda membenarkan, memang tidak ada perjanjian gaib di antara mereka.
“Kamu bebas menggunakan benda itu untuk apa, tapi yang pasti kamu tidak akan diperbudak oleh bangsa kami.” Damar menjelaskan.
“Oke, aku mengerti.”
Tak terasa keduanya mengobrol selayaknya teman yang sudah kenal lama, padahal diawal pertemuan mereka sering beradu mulut.