22 - KISAH DUA ALAM

2103 Kata
Seorang wanita berjalan dengan tergesa-gesa, ekspresi wajahnya terlihat merah membara karena amarah luar biasa. Hatinya teriris mengetahui fakta bahwa pria yang dicintainya ternyata sudah menikah dan bahkan telah memiliki anak. Sesampainya di suatu tempat yang terdapat banyak pilar tinggi menjulang, Gendis pun menghentikan langkahnya saat mendapati orang yang ingin ia temui. “Bhanu, berhenti di sana!” Nada suaranya terdengar meninggi, pertanda bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Bhanu yang tadinya tengah berjalan ingin kembali ke kamarnya pun sontak saja menghentikan langkah, ia sudah menebak bahwa cepat atau lambat pasti wanita itu akan menginginkan perhitungan darinya. Gendis segera menghampiri Bhanu, ia menarik lengan kokoh pria itu agar mau menatap dirinya, keduanya pun akhirnya saling berhadapan. “Aku butuh penjelasanmu,” desaknya. “Apa yang ingin kamu ketahui?” Gendis tersenyum masam lalu menjawab, “Semuanya, aku pikir kamu pasti tahu betul apa yang ku inginkan saat ini. Jawaban kenapa kamu menikah dengan bangsa manusia, bahkan sampai memiliki anak.” “Seperti yang sudah kamu ketahui, pernikahanku dan Elin sudah terjadi sejak satu tahun yang lalu, Manggala adalah buah cinta kami.” jawab Bhanu dengan mudahnya, memang apa yang harus ia tekankan pada Gendis? Toh selama ini ia sudah mengatakan berulang kali agar wanita itu tidak perlu mengejarnya lagi, Bhanu tidak mencintainya. Mata Gendis berkaca-kaca, mendengar pengakuan Bhanu dari mulutnya sendiri semakin membuatnya tersakiti. Pria itu tidak terlihat menyesal karena menikahi istrinya, bisakah Gendis marah saat ini? “Kamu menikah tanpa sepengetahuanku, lebih parahnya lagi dengan bangsa rendahan itu.” Kelopak mata Bhanu memicing seketika, ia tidak suka mendengar istrinya dihina. “Kita tidak memiliki hubungan spesial apa pun, sudah ku katakan berulang kali bahwa aku tidak pernah mencintaimu, kita hanya sebatas teman masa kecil dan juga rekan untuk membangun kerajaan ini agar lebih makmur. Tolong lah hargai keputusanku, jangan mengatakan hal buruk tentang Elin, ia adalah wanita yang baik. Aku sudah memilihnya menjadi istriku, yang mana kelak juga menjadi ratu di istana ini.” Bhanu menjelaskan dengan nada yang tenang, ia tak mau hubungan pertemanannya dengan Gendis memburuk, bagaimana pun juga keduanya pernah tumbuh besar bersama-sama. Setitik air mata meluruh. “Apa kamu tidak mengingat kebersamaan kita malam itu? Secepat ini kamu melupakan memori itu?” Mendengar pertanyaan Gendis kali ini cukup membuat ego pria itu tersentil, ia langsung membuang muka. “Jawab aku! Kita bahkan sudah berbagi keringat bersama, dan dengan mudahnya kamu melupakan itu?” Gendis tertawa miris di akhir kalimatnya. Telinga Bhanu berdengung, ia sangat sensitif jika ada orang yang mengungkit kejadian lama tersebut. “Itu sudah lama terjadi, lagipula aku dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya.” kilahnya. “Benar, kamu sudah melupakan malam terindah itu. Tidak masalah jika kalian sudah menikah, tapi tetap saja aku yang pertama untukmu.” Gendis mengusap air matanya yang terus menetes, lalu tangannya terulur untuk mengelus perut kokoh pria yang dicintainya. Bhanu segera menyentak tangan Gendis yang meraba-raba tubuhnya, ia risih. “Aku tidak ingin kamu membahas masa lalu, sekarang aku sudah memiliki anak dan istri. Jadi aku mohon padamu untuk tak mengganggu rumah tanggaku lagi, lupakan perasaanmu padaku, carilah laki-laki lain yang juga mencintaimu.” Perkataan Bhanu final, setelahnya ia pun pergi dari hadapan Gendis. Sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi antara mereka, selain rekan kerja untuk memajukan kerajaan ini. Dulu Bhanu memang pernah khilaf, bodohnya bisa menghabiskan malam dengan Gendis, ia sendiri dalam keadaan setengah tak sadar kala itu. Jika bisa menebus dosa-dosanya terhadap Elin, Bhanu akan melakukannya, ia merasa berdosa karena telah mengkhianati sang istri meskipun saat itu keduanya belum saling bertemu. Bhanu mendapatkan Elin dalam keadaan masih suci, tapi dirinya sendiri justru sudah pernah melakukan malam pertama dengan gadis lain, menyesakkan! Sesampainya di depan pintu, ia pun mengela napas panjang-panjang. Masa lalunya bersama Gendis sudah ia kubur dalam-dalam, tapi wanita itu dengan sengaja menguak kembali aibnya. Tepat di saat yang bersamaan Elin pun keluar dari kamarnya, ia menatap suaminya dengan penasaran karena terlihat seperti banyak beban pikiran. “Bhanu, apa ada masalah mengenai identitasku?” Elin mengibaskan tangannya di depan wajah suaminya yang tengah melamun. Buru-buru Bhanu mengerjapkan matanya lalu tersenyum menyapa Elin. Ia juga menggelengkan kepalanya pelan. “Semuanya baik-baik saja, tidak ada yang berani menolak kehadiranmu.” “Ohh, baiklah kalau begitu.” Meskipun Bhanu sering menekankan kalimat tersebut tapi tetap saja keberadaan Elin di sini tidak disukai oleh sebagian orang. “Sayang, kamu mau ke mana keluar kamar?” “Aku ingin mencarimu untuk menunjukkan dapur.” “Dapur? Ada di lorong sana, kamu mau apa?” Jari Bhanu menunjuk ke sebelah utara. “Butuh air untuk kompres Manggala, suhu tubuhnya agak panas, demam sepertinya.” “Manggala sakit?” Kepala Elin terangguk. “Baiklah, aku akan meminta pelayan untuk membawakan air.” “Tunjukkan saja jalannya biar aku sendiri yang ambil air. Di sini aku masih baru, takutnya malah dianggap sok berkuasa.” Elin mengulum bibir bawahnya, tidak enak hati jika menyuruh-nyuruh pelayan. Bhanu terkekeh geli mendengar penuturan istrinya, mana ada yang berani membantah ucapan Elin di sini? Mungkin saja orang itu berminat masuk ke penjara mengerikan itu. Ini lah salah satu sifat Elin yang disukai Bhanu, wanita itu mandiri dan tidak manja, apa yang bisa Elin lakukan maka ia akan melakukannya sendiri tanpa mau menyusahkan orang lain. “Ayo, akan ku tunjukkan jalannya.” Bhanu segera menggandeng lengan istrinya, sepasang suami istri itu berjalan melewati lorong sambil sesekali mengobrol dan bercanda. Setibanya di dapur, ada beberapa pelayan yang tengah menyiapkan sarapan. Mereka langsung menunduk hormat. “Salam hormat kami pada Raja Bhanu dan Nyonya Elin,” ujar mereka serentak. Kepala Elin bergerak menatap suaminya dengan bingung, untuk apa mereka sehormat ini padanya? “Ya, lanjutkan saja pekerjaan kalian.” Elin pun dibawa oleh suaminya menuju ke sumber mata air langsung. “Aku ingin bertanya karena penasaran.” “Tanyakan saja.” “Kenapa kamu bersikap cuek dengan mereka? Sikapmu sangat berbanding terbalik denganku dan Manggala.” Elin sudah menyimpan pertanyaan ini sejak ia bertemu dengan Damar, sikap Bhanu pada pengawal kepercayaannya itu juga terkesan dingin dan datar-datar saja nadanya. Keduanya pun sampai di lokasi, tapi Elin belum menyadarinya karena fokus ingin mendengar jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan. “Aku bersikap sesuai dengan keadaan serta situasi, dengan semua penghuni istana aku harus tegas dan berwibawa. Sedangkan bersama keluarga kecilku aku harus menunjukkan kehangatan, karena aku sayang kalian.” Jawaban Bhanu terdengar kurang memuaskan di telinga Elin, tapi cukup untuk menjawab rasa penasarannya. “Lihat ke sana!” Elin mengikuti arah tunjuk jari suaminya, seketika matanya membelalak kagum melihat pemandangan indah di sana. Ada sumber mata air membentuk kubangan danau kecil, airnya sangat jernih serta terdapat tumbuhan hijau yang semakin memanjakan mata. Tepat di atasnya terdapat aliran air terjun yang menetes ke bawah, benar-benar menakjubkan. Jangan lupakan bebatuan besar yang menambah kesan alami. “Wah, cantik sekali.” Elin terpukau dengan mata air itu, ini baru pertama kali ia melihat pemandangan seindah ini. Suasana sekitarnya juga sejuk, ada hewan kecil yang berterbangan di sekitar danau itu. Elin terlihat sumringah, bibirnya tak berhenti mengulas senyum. “Iya cantik, tapi lebih cantik istriku ini.” Bhanu melempar gombalan recehnya. Mendengar rayuan suaminya membuat Elin semakin tertawa lebar, Bhanu benar-benar bisa membuatnya bahagia. “Di sana ada wadah untuk menampung air, langsung ambil saja dari sini.” Bhanu mengambil wadah yang terbuat dari tanah liat berbentuk semacam baskom, lalu diberikan pada wanita itu. Pelan-pelan Elin memasukkan kakinya ke pinggiran danau, rasa dingin langsung merangsek dalam dirinya. “Air di sini lebih berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit, ambil lah untuk Manggala.” Elin segera mengambil air itu dengan penuh. “Sudah dapat!” Ia menunjukkan wadah tersebut tinggi-tinggi, Bhanu ikut senang melihat kegembiraan istrinya. Namun, tak berselang lama tiba-tiba saja air yang dipijaki Elin pun berombak, membuat wanita itu terkejut setengah mati. “Kenapa air danau kecil bisa ada ombak?” gumamnya keheranan. Semakin lama air itu membentuk buih, Elin ingin pergi dari sana tapi terlambat. Bhanu melihat keanehan istrinya. “El, ada apa?” Belum sempat Elin menjawab, buih-buih tadi membentuk sebuah tubuh tinggi besar. “Ya Tuhan.” Ia memekik kecil. Sosok mengerikan itu muncul dari danau ini, membuat sekujur tubuh Elin gemetar, lagi-lagi ia harus melihat penampakan. Menyadari suatu hal, Bhanu benar-benar melupakan satu fakta. Ada penjaga danau yang siap mencelakai orang-orang asing yang masuk ke wilayah ini, bodohnya Bhanu tidak mengingatnya dari awal. “Manusia, berani sekali menginjakkan kaki di sini.” Elin menelan air ludahnya dengan kasar, gigi-giginya saling bergemeletuk. “Hentikan, dia istriku.” Bhanu cepat berteriak untuk memberitahu makhluk itu agar tak menyakiti Elin. Seketika sosok itu pun menghentikan kegiatannya yang tengah menyiapkan sekumpulan ombak agar menelan Elin. Kepala tak simetrisnya menoleh pada Bhanu, seketika ia pun menunduk dengan hormat. Bhanu masuk ke dalam air danau. “Elin adalah istriku, ratu kerajaan ini.” Bhanu menjelaskan dengan nada cukup tinggi. Terlambat beberapa detik saja maka tubuh Elin bisa tergulung oleh ombak buatan makhluk penjaga itu. “Maafkan hamba, Yang Mulia.” “Kembali ke tempatmu! Lain kali jika istriku datang ke sini jangan menghalanginya lagi, camkan itu.” Bhanu terlihat marah, bahkan makhluk itu pun dengan mudahnya menuruti ucapan sang raja. “Baik, hamba permisi.” Sebelum sosok itu pergi, ia menyempatkan diri menatap Elin dengan detail. Ia tidak salah kan? Ratunya merupakan bangsa manusia, apa yang sedang terjadi di kerajaan saat ini? “Apa yang kamu tunggu, cepat pergi.” Sosok itu pun menghilang kembali ditelan oleh gulungan air. Elin mengembuskan napasnya dengan kasar, hampir saja ia mati termakan oleh ombak. “El, ada yang terluka?” Elin menggelengkan kepala sebagai jawaban. Ia tidak apa-apa, hanya saja masih syok. “Maaf karena membahayakanmu.” “Semua telah berlalu, kamu juga sudah menyelamatkanku.” “Lebih baik kita kembali, kamu sudah ambil airnya kan?” “Iya, sudah.” Syukurlah tangannya masih bisa menjaga keseimbangan wadah itu hingga tak tumpah tadi. Bhanu membawa Elin ke daratan. “Sebenarnya makhluk apa tadi?” tanya Elin disela-sela keduanya berjalan kembali ke kediamannya. “Tugasnya menjaga danau, memang jika ada orang yang berani mendekat ke sana akan terkena imbasnya. Tidak semua penghuni istana ini diperbolehkan mendatangi sumber mata air, hanya keluarga raja saja yang boleh.” Wanita itu mengangguk paham. Tempat yang indah dijaga oleh sosok mengerikan, ia bergidik ngeri. Elin dan Bhanu sampai di kamar mereka, dilihatnya Manggala yang sudah bangun dan mengerjapkan mata. Elin langsung menghampiri bayinya. “Maafkan ibunda karena meninggalkanmu, Manggala cari ibunda ya?” Elin membawa anaknya ke dalam pelukan lalu dielus dengan lembut. “Badannya masih panas,” ujar Bhanu sambil meletakkan telapak tangannya ditubuh sang putra. “Kompres pakai air tadi.” Bhanu mengambil kain lalu mencelupkannya di wadah air, setelah diperas kain itu pun diletakkan di dahi sang putra. Sepasang orangtua itu duduk di pinggir ranjang, Bhanu dengan hati-hati mengusap kain kompresan di dahi Manggala. “Padahal kemarin masih baik-baik saja, hari ini Manggala sakit.” Sebagai seorang ibu, Elin merasa sedih saat melihat anaknya kesakitan. “Wajar bagi anak seusia Manggala, kamu sudah menjaganya dengan baik.” Bhanu tidak ingin jika Elin menyalahkan dirinya sendiri karena menganggap tak bisa merawat anak dengan baik. Tak hanya itu saja, suara tangisan Manggala juga terdengar. Elin segera bangkit berdiri untuk menimang-nimang anaknya. Tangisan bayi itu terdengar cukup keras dan lama, Elin berusaha untuk menenangkan sang anak berkali-kali. “Sayang, anak ayah yang baik jangan menangis ya.” Bhanu juga turut menenangkan. “Kayaknya Manggala juga harus adaptasi sama lingkungan.” sahut Elin. “Mungkin saja begitu, sejak Manggala tinggal di istana ini juga ia sering menangis, apalagi saat itu tidak ada kamu.” Ia ingat bagaimana rewelnya Bhanu saat dirawat oleh Nani, sepertinya sang putra lebih suka tinggal di alam manusia dibandingkan istana. Dengan kesabaran penuh, Manggala pun terdiam tak menangis lagi. “Dia nurut sama ibundanya,” bisik Bhanu. “Iya dong, anak baik, anak pintar.” Wanita itu mencium tangan anaknya dengan sepenuh cinta. Dari arah luar terdengar suara disertai ketukan pintu, Bhanu berinisiatif untuk melihat siapa yang datang. “Mohon maaf karena mengganggu waktu Anda, sarapan sudah siap di meja makan.” Salah seorang pelayan datang memberi informasi bahwa sarapan pun telah tersedia. “Ya, kami akan datang.” Bhanu menutup kembali pintu kamarnya. “El, ayo sarapan dulu, kita ke ruang tengah karena semuanya akan makan bersama.” “Makan bersama, termasuk seluruh anggota istana?” “Iya, sekaligus agar perkenalan kalian semakin erat.” Elin ingin mendengus kasar tapi dapat ditahan dengan baik. Walaupun ia merasa tak nyaman saat berada di sekitar keluarga istana, tapi Elin harus menghargai perasaan suaminya. Ada satu hal yang belum Elin tanyakan pada pria yang berstatus menjadi suaminya, mengenai wanita yang menatapnya dengan aura permusuhan. Apa benar itu yang bernama Gendis?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN