Pecundang di mata Maya

1680 Kata
Hari seterusnya, Allen mulai jarang berbicara dengan Mia karena sosok tersebut sangatlah sibuk. Allen benar benar tau apa saja yang dikerjakan oleh Mia di sana, mengingat partner Kerjasama Mia adalah bawahan Allen sendiri. Mia ingin membuktikan kepada kedua orangtuanya kalau usaha mereka akan kembali seperti dulu; tanpa bantuan dana dari siapapun. Yang Allen tangkap, Mia itu bukan sosok yang sering merasa gengsi, dia hanya ingin membuktikan dan membanggakan kedua orangtuanya. Allen mencoba memahaminya, tapi sayangnya dia juga ingin dipahami. Semakin lama ditinggalkan Mia, semakin sering pula dirinya ditelpon oleh sang Bunda yang meminta untuk cepat memberi mereka cucu. “Allen, Bunda udah cukup sabar ya. Rendy bilang kamu udah ada calon, kapan dikenalin sama Bunda?” “Nanti, Bun, sabar aja.” “Nanti nanti mulu ah, ujungnya pasti gak akan dikenalin, terus kamu ngejomblo lagi. Please, Allen, jangan bikin Bunda insecure sama diri sendiri. kamu itu gambaran Bunda, masa gak laku dan gak ada yang mau serius sama kamu sih.” “Ada, Bunda. Dia Cuma butuh waktu, dia lagi kerja keras buat naikin derajat keluarganya dulu.” “Suruh aja nikahin kamu, kan langsung tuh jadi keluarga terpandang. Bunda gak masalah kalau dia dari keluarga miskin, yang penting subur dan punya sopan santun.” “Dia maunya pake usaha sendiri, Bunda.” Suara helaan napas terdengar dari sana. “Allen, kamu kan tau kalau usia Bunda gak akan lama lagi. Masa Bunda gak diizinin buat gendong cucu sendiri?” “Bun, jangan ngomong kayak gitu,” ucap Allen dengan nada tidak suka. Selain desakan dari dirinya sendiri yang ingin mempersunting Mia, Allen juga disudutkan oleh Bundanya yang sekarang berada di Amerika; sedang menjalani pengobatan di sana. “Bunda?” “Gak papa, cari waktu yang tepat buat yakinin dia hingga dia bisa menerima lamaran kamu,” ucapnya dengan nada suara merendah, kemudian panggilan terputus. Allen hanya bisa memejamkan matanya kuat, memijat keningnya yang terasa pening. Dia tidak bisa kehilangan sosok yang membuatnya memiliki rambut pirang dan kulit yang putih. Seminggu terakhir ini dia sibuk mencari apartemen baru yang masih di lingkungan yang sama. Alasannya pindah karena Allen ingin suasana yang baru, tempat yang lebih tinggi mengingat Gedung sebelumnya tidak lagi menjadi Gedung apartemen tertinggi di lingkungannya. Jika makanan habis, dia menghubungi Maya dan memintanya memasak lagi. Uangnya? Allen transfer untuk Maya, kadang dia memberikan lebih untuk uang jajan calon adik iparnya itu. Dan begitu Allen dalam perjalanan pulang, hujan lebat terjadi. dia tidak sengaja melihat Maya yang menunggu hujan reda di depan perkantoran yang sudah gelap. Tidak ada siapapun di sana selain Maya yang kedinginan, dan kebingungan. Yang benar saja, ini jam dua dini hari. Dan kenapa Maya masih berkeliaran di sana? Allen langsung berhenti di depannya. “May? Ayok masuk,” ajaknya sambil membukakan pintu dari dalam. “Lari aja, Mas juga gak bawa payung.” ***** “Lari aja, Mas gak bawa payung.” Maya ingin sekali berteriak kencang dan bertepuk tangan, sosok yang dia rindukan selama satu minggu ini akhirnya tiba. Maya sudah beberapa kali mencari cara untuk mendapatkan perhatian Allen. Dimulai sengaja memasak lama supaya Allen mendapatinya di sana, membuat status w******p yang lucu dan menarik, tapi Allen tidak meresponnya. Maya bisa saja menggodanya, tapi dia ingin tetap menjaga image manis dan polosnya. “Kenapa baru pulang jam segini?” “Ada kerjaan yang harus diselesaikan, Mas.” “Sampai jam segini?” Maya mengangguk. “Gila itu tempat, kenapa kamu gak magang di tempat Mas aja coba? Mereka psti nyuruh kamu beresin tugas mereka kan?” Maya hanya mengangguk dengan wajahnya yang polos. “Kalau keluar bisa gak? Pindah ke perusahaan Mas?” jujur saja, Allen tidak tega melihat perempuan rapuh seperti Maya harus bekerja keras. “Gak bisa, udah tanggung. Lagian gak secapek itu kok,” ucap Maya membenarkan letak kacamatanya. Kembali ke penampilan semula adalah saran yang diberikan oleh Naomi dan teman prianya. “Sejak kapan suka pulang malem begini?” “Tiga hari terakhir.” “Kuliah kamu?” “Tinggal nyisa 8 sks yang belum selesai di semester ini, jadinya ke kampus juga bentar.” “Jangan kecapean, kalau masak ke apartemen Mas itu gimana?” “Baru juga dua kali,” ucap Maya sambil terkekeh. “Lagian aku gak keberatan kok, Mas.” Karena jaraknya cukup dekat, mereka sampai dalam waktu tiga menit. Allen memasuki basement apartemen milik Maya. “Makasih ya, Mas,” ucap Maya dengan tulus. Saat dia hendak membuka pintu mobil, Allen lebih dulu menahannya. “Tunggu, May.” “Kenapa, Mas?” “Boleh mampir dulu? Um, ikut ke kamar mandi.” “Boleh,” ucap Maya turun lebih dulu. Saat dalam langkahnya, Allen diam diam menatap Maya yang membenarkan letak kacamatanya dan sweaternya yang kebesaran. Kenapa sosok itu kembali ke penampilannya yang dulu? Padahal Maya lebih cantik saat membuka kacamatanya. Seminggu terakhir ini, Allen juga masih dalam proses melupakan tubuh telanjang milik Maya yang pernah dia lihat, ditambah rasa penasarannya atas Maya yang masih perawan atau tidak. Jangan lupakan kalau Allen pernah mencium Maya, ooh dia ketagihan sekarang. Allen pria normal, dia butuh pelepasan dengan lawan jenisnya. Paling lama Allen bisa menahannya sekitar 6 bulan; dan itu saat dia tidak memiliki kekasih. Maya mempersilahkan Allen masuk, dan membiarkan pria masuk dengan wajah polosnya. “Kamar mandinya di sana, aku mau ganti baju dulu.” Tolong ingatkan kalau type apartemen ini adalah studio meskipun memiliki sekat untuk beberapa ruangan. Namun tidak dengan pintu permanent. Hingga saat Allen keluar dari kamar mandi, dia kembali melihat tubuh Maya yang… mulus. Benar benar mulus, bersinar dan terlihat sangat halus. Seperti milik bayi, berbeda dengan orang orang yang selalu perawatan. Milik Maya putih bersih. Allen tetap bertahan mengintip sampai Maya selesai berganti pakaian, baru dia keluar. “Mas langsung pulang?” “Iyadeh, udah malem.” “Hati hati dijalan ya, Mas.” Allen sedikit merengut tidak suka karena Maya tidak menahannya. “Tapi… boleh minta teh anget dulu? Dingin banget diluar.” “Boleh boleh, Mas tunggu di sofa ya.” Namun Allen malah mengikuti kemana Maya melangkah. “Kenapa Mas?” tanya Maya kaget. “Enggak, khawatir ada petir, nanti kamu takut. Btw kalau sendirian ada petir gimana, May?” “Aku suka pake headset, muter lagu yang kenceng. Atau pake penutup telinga,” ucapnya sambil membenarkan kacamata. Tampilan Maya benar benar kembali seperti sebelumnya, tanpa make-up, kacamata dan rambut yang sedikit berantakan. Namun itu tidak membuat Maya kehilangan pesonanya, malah dia terlihat semakin manis. Hanya satu yang tidak berubah, yaitu aroma bayi dari tubuhnya. Uh, kenapa aroma bayi yang dikeluarkan tubuh Maya terasa berbeda? ***** “Mas maaf aku baru kasih kabar kamu, tolong jangan hubungin aku dulu ya. Aku pasti pulang secepatnya, abis itu kita liburan.” Hanya kalimat itu yang dikirimkan oleh Mia setelah seharian Allen mengkhawatirkannya, beberapa hari menghilang. Allen ingin Mia yang menghubunginya secara langsung, bukan mengetahui hal itu dari bawahannya. “Mas Allen ini teh sama cookiesnya di sini ya. Anget kok.” “Kamu mau langsung tidur, May?” “Hah? Enggak mau ngerjain tugas dulu,” ucapnya mengambil tas kuliah dan mulai membuka catatan. Posisi Maya saat ini berada di atas karpet, sementara Allen duduk di sofa. Jadi Maya duduk di samping kaki Allen. Ingatkan kalau tempat ini sempit. “May diatas dong duduknya, masa dibawah sih.” “Enakan di bawah, Mas. gak papa udah kebiasaan kok,” ucapnya dengan mata yang sibuk mencari halaman yang cocok. “Kamu minus, May?” Maya menggeleng. “Terus itu pake kacamata?” “Temen temen kuliah Maya bilang kalau Maya lebih cocok kayak gini,” ucapnya dengan nada suara yang merendah. Oh, Allen langsung paham. Maya adalah korban bullyan juga di kampusnya. “Siapa yang bilang? Kamu cantik loh kalau kacamatanya di lepas, rambutnya diikat yang bener, atau digerai pake bando lagi.” Maya hanya tersenyum tipis. “Makasih, Mas.” “Hei, May. Liat, Mas. kamu emang cantik, mereka aja yang iri karena kalah saing sama kamu.” Maya hanya mengangguk, dengan tatapan yang tidak lepas dari buku. Tapi dari samping, Allen bisa melihat air mata Maya menetes. “May, kamu nangis?” “Hmmm? Enggak, ini kelilipan.” Yang mana membuat Allen meninggalkan perhatian pada teh miliknya. “May, Mas gak bohong pas bilang kamu cantik.” Namun tangisan Maya malah semakin kencang. Oh Allen tidak tega, makhluk ini begitu rapuh dan dunia terlalu kejam padanya. “Gak papa, May,” ucap Allen sambil membawa Maya ke dalam pelukannya. Tanpa disadari Allen, dia mengangkat Maya untuk duduk di pangkuannya hingga mudah bagi mereka untuk berpelukan. “Mereka Cuma iri sama kamu. Kamu itu cantik. Lawan mereka, jangan terlihat lemah, atau mereka malah akan suka melihatnya,” ucap Allen sambil mengelus rambut Maya. Ketika Allen memberi jarak diantara mereka, pria itu mengambil kacamata yang dipakai Maya. Hinggaa dengan bebas tangannya menghapus air mata yang menetes. “Liat, kamu cantik banget, Maya. Mata kamu itu indah.” “Hiks… tapi mereka…. hiks…. gak berfikir gitu…. Hiks…” “Shhhttt…. Mereka Cuma buta,” ucap Allen kembali menarik Maya ke dalam pelukannya. Mengusap punggungnya dan membisikan kata kata yang menenangkan. Hingga akhirnya, Allen merasakan Maya mulai bernafas dengan teratur. Oh, gadis polos ini terlelap setelah menangis kencang. Allen terkekeh, dia menggendong Maya dan menidurkannya di Kasur. Menutupi telinga Maya dengan penyumbat supaya tidak ada suara petir yang mengganggu ketenangannya. Dari jarak sedekat ini, Allen benar benar tidak menemukan kecacatan di wajah Maya. Benar benar mulus. Hingga tatapannya turun pada leher Maya, kemudian ke dadanya. Allen menelan salivanya kasar, bayangan Maya yang telanj*ng kembali membuat fikirannya berontak. Dan tangan nakal Allen mulai membuka kancing piyama hello kity itu. Satu, dua, tiga, hingga terpampang d*da Maya tanpa penghalang. Sialan! Maya tidak memakai bra? Bagaimana bisa kulit d*danya seputih itu? Bahkan saking putihnya, sangat kontras dengan p*tingnya yang berwarna pink. Oh, Allen ingin menghisapnya, mencicipinya. Namun dia bergegas menggeleng, dan mengancingkan kembali. Pelan pelan Allen pergi dari tempat itu dengan bagian bawahnya yang sesak. Begitu terdengar pintu tertutup, Maya langsung membuka matanya. Dia menghela napas dalam sambil bergumam, “Kapan dia perk*sa gue? Cupu banget heran,” ucapnya kesal sambil menendang nendang udara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN