Zhao An Lu tersenyum menatap pantulan tubuhnya di cermin sana. Tangannya mengelus rambut panjang yang terikat kuda. Sekarang ini umurnya telah genap tujuh belas tahun, di mana semuanya akan kekal seperti ini, sampai sisa hidupnya telah habis. Ya, dia akan menjadi makhluk yang abadi juga. Pertumbuhannya telah usai dampai diumur tujuh belas tahun.
“An Lu, makanlah selagi panas!” suara dari luar kamar sana terdengar cukup keras, karna kamarnya tidak kedap suara.
An Lu meraih tas ranselnya, menyampirkan ke bahu lalu melangkah keluar dari kamar. Tersenyum saat melihat pamannya yang sekarang tengah membuatkan s**u untuknya.
“Paman tidak bekerja?” tanyanya, menarik kursi dan duduk di meja makan.
Ma Jin Li membawa segelas s**u putih, meletakkan di meja samping piring An Lu yang sudah ada humberger faforit keponakannya. “Hari ini paman ambil libur. Kemarin pekerjaannya terlalu banyak. Bahu paman sedikit terkilir.” Menggerak-gerakkan tangan sebelah kiri sembari meringis kesakitan.
An Lu kembali menaruh roti yang hampir ia gigit. Beranjak dari duduk dan memegangi bahu Ma Jin Li dengan kekhawatiran yang luar biasa. “Paman, kenapa tak membawanya ke dokter?”
“Aaiish ….” Ma Jin Li menarik lengan An Lu, menyuruh gadis itu untuk kembali duduk di kursinya. “Ini hanya masalah kecil. Hanya perlu istirahat saja, lalu akan sembuh.”
An Lu mengerucutkan bibir, sangat jelas jika dia khawatir. “Paman, aku tak mau terjadi apa-apa padamu.”
“Kau tenanglah, paman akan baik-baik saja,” ucapnya, mengusap-usap bahu An Lu. “Sekarang makanlah. Kau bisa terlambat masuk sekolah.”
Tak lagi berbicara, An Lu mulai memakan apa yang sudah Ma Jin Li hidangkan untuknya. Sesekali dia menatap pamannya yang diam memerhatikan dia makan. “Paman, kenapa paman tak menikah? Aku sekarang sudah besar, sudah bisa menjaga diriku.”
Ma Jin Li terkekeh kecil mendengar pertanyaan itu. Ya, memang semenjak melihat seluruh keluarganya dibantai hingga tak bersisa, prioritas utamanya adalah menjaga Zhao An Lu, anak dari kakak perempuan pertamanya. Walau berbeda ibu, tapi keluarganya tidak pernah membeda-bedakan status. Hanya saja memang dia lahir dari seorang selir yang statusnya sangatlah rendah. Siapa sangka ayahnya justru mempercayakan hal besar ini padanya.
“Paman Ma,”
Lamunan Ma Jin Li mengabur ketika An Lu kembali bersuara, memanggilnya. Hanya mengangkat wajah, menatap keponakannya dengan kedua mata yang mengisyaratkan jika dia menunggu kata yang akan An Lu ucapkan.
“Jadi … ayahku memang adalah bangsa vampir?” tanyanya setelah menelan makanan yang lama ia kunyah.
Ma Jin Li terlihat menyentak nafas kasar, lalu kepalanya mengangguk dengan ragu.
“Dan ibuku … adalah bangsa srigala?” lanjut An Lu bertanya.
Kembali anggukan di kepala Ma Jin Li membuat An Lu meneguk ludah dengan kesusahan. Cepat gadis itu meraih gelas s**u dan meneguknya sedikit. Dia mendesah menatap kedua telapak tangannya yang memiliki aura berbeda. Satunya dingin, sedingin es. Sementara telapak tangan yang satunya selalu hangat, bahkan sampai bisa mengeluarkan asap yang dia sendiri tak pernah tau apa penyebabnya.
“Jadi … ada dua darah yang mengalir di dalam tubuhku?” tanyanya pada diri sendiri.
“An Lu, mulai sekarang kau harus berhati-hati.”
Kalimat pendek yang Ma Jin Li ucapkan membuat An lu Mengangkat kepala, menatap serius dan bingung.
“Tanda bulan sabit di lehermu sudah terlihat, karna umurmu sudah menginjak tujuh belas tahun. Aroma darah yang mengalir di dalam tubuhmu sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Di luar sana, ada banyak pemangsa yang akan mulai mendekatimu.” Penuturan Ma Jin Li yang benar-benar membuat kening An Lu jadi berlipat, dia semakin bingung.
“Hari ini paman akan pergi menemui tetua Wang untuk membahas hal penting ini. Paman yakin para tetua kita pasti bisa membantumu.” Lanjut Ma Jin Li berucap.
An Lu sedikit menegakkan tubuh, tatapannya begitu serius. “Paman, kulihat Xie Yun waktu itu adalah vampir yang baik. Dia selalu menjagaku setiap kali ada yang berniat menjahatiku.”
Ma Jin Li mengangguk setelah beberapa detik hanya diam. “Dia memang adalah sahabat ayahmu di kehidupan beberapa ratus tahun yang lalu. Dia bermarga Xie yang seluruh keluarganya telah dibantai tanpa ada satu pun yang disisakan. Sama seperti Zu Fuxiang yang juga satu-satunya keturunan Zu yang tersisa.”
An Lu meneguk ludah mendengar fakta yang Ma Jin Li katakan. Dua bulan itu sudah cukup lama baginya. Lalu bagaimana dengan Xie Yun yang sudah berada di dunia selama ratusan tahun? Itu keberuntungan atau musibah?
“Habiskan susumu, lalu berangkat ke sekolah. ingatlah untuk memanggil bantuan saat kamu menemui bahaya.” Pesan Ma Jin Li.
Kepala An Lu mengangguk dengan patuh.
**
An Lu ikut antrian turun dari bus. Kedua mata membulat saat melihat Xie Yun dan Zu Fuxiang yang ikut turun setelahnya. Lalu dua lelaki yang berumur ratusan tahun itu mensjajari langkahnya tanpa canggung.
Tak ingin menjadi perhatian para murid-murid yang lain, An Lu menghentikan langkah. Membiarkan kedua lelaki itu melangkah mendahuluinya. Lalu dia memilih berjalan di belakangnya dengan bibir yang sedikit mengerucut.
Dan ya, baru beberapa meter berjalan, para gadis sudah berkerumun menatap dua lelaki murid baru yang kedatangannya menghebohkan seantero SMA Zhan Hua. An Lu hanya menghela nafas, memilih berbelok dan mencari jalan lain untuk smapai ke kelasnya yang berada di lantai tiga.
“An Lu, kau baru sampai?”
An Lu menoleh, tersenyum saat melihat Wen Sheng melangkah dengan sedikit berlari untuk bisa mensjajari langkahnya. “Kau juga baru smapai?”
Lelaki yang cukup populer dan memiliki banyak penggemar di SMA Zhan Hua ini tersenyum dengan anggukan. “Apa tidurmu semalam nyenyak?”
Zhao An Lu mengangguk dengan begitu yakin. “Tentu. Tak ada tugas sekolah yang menjadi beban sebelum aku memejamkan mata.”
Lalu keduanya saling tertawa sembari melangkah menuju ke kelas mereka. Di sudut yang berbeda, dua gadis yang memakai seragam sama memerhatikan An Lu dan Wen Sheng dengan tatapan penuh kebencian. Entah apa alasannya, tetapi sejak masuk ke SMa dan menjadi teman satu kelas, Li Yan dan Xhung Ling tak pernah sedikit pun menyukai atau bersimpati pada An Lu. Terlebih tau jika Wen Sheng dan beberapa anak yang lainnya lebih membela An Lu. Itu semakin membuat kedua gadis berandalan ini membencinya.
“Hey, nona Zhao, sepertinya dia menyukaimu,” ucap Fuxiang ketika bel tanda istirahat telah berbunyi. cowok yang suka bercanda dan murah senyum itu sedikit menoleh kebelakang karena meja an Lu ada tepat di belakangnya.
“Cckk!” An Lu mencebik, memukul kepala Fuxiang dengan gulungan buku. Lalu melirik ke arah Wen Sheng yang memang beberapa kali melirik padanya.
“Cobalah untuk berkencan nanti malam. Mungkin kau bisa merasakan bunga seperti apa wanginya bunga plum yang sedang mekar. Aaww!” Fuxiang berpura meringis saat sebuah pulpen mendarat di kepala, dan pelakunya adalah Xie Yun. “Apa kau memiliki dendam padaku, tuan muda Xie. Sampai harus melemparkan pulpen yang tak berdosa di kepalaku.”
An Lu tertawa kecil melihat Fuxiang yang mengelus kepala. Seakan-akan lemparan itu benar-benar telah menyakitinya. Padahal dia juga paham kalau lemparan kecil itu tak akan membuat kening vampir jadi benjol.
“An Lu, mari ke kantin,” ajak Wen Sheng yang tiba-tiba sudah berdiri di samping meja An Lu.
An Lu menengadah, menatap Wen Sheng yang kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Dia memang tampan dan begitu terlihat keren. Hanya saja … An Lu tak mempunyai rasa tertarik sama sekali pada Wen Sheng.
“Uumm, aku tadi di rumah sudah sarapan pagi. Kurasa perutku tak akan muat jika kuisi lagi.” Tolaknya halus sembari tersenyum.
Wen Sheng terlihat mengangguk, sempat melirik pada Xie Yun yang menatapnya begitu tajam. Dia tau, dari tatapan itu sangat jelas terlihat kalau tak suka padanya yang mencoba mendekati An Lu. “Yasudah, kalau begitu … aku pergi sendiri.”
An lu mengangguk cepat, melambaikan tangan mengantarkan kepergian Wen Sheng dari dalam kelas.
“Nona Zhao,” panggil Xie Yun setelah beberapa menit mereka diam. An Lu hanya menoleh tanpa bersuara. “Beberapa hari yang lalu aku menemukan air terjun di samping rumahku.”
Kedua mata An Lu terlihat berbinar mendengar penemuan Xie Yun. Ya, sejak kecil dia begitu menyukai pemandangan air terjun. “Di mana?”
“Ada di smaping tempat tinggalku,” jawab lelaki tampan yang pelit senyum ini.
“Apa aku boleh melihatnya?”
Xie Yun tersenyum tipis, sangat tipis sampai hampir tak bisa dilihat. “Tempatnya sangat tersembunyi dan sedikit sulit untuk dijangkau.”
Bibir An Lu langsung mengerucut. Mengingat sesuatu, An Lu beranjak dari duduk. Menggeser kursinya untuk duduk di meja Xie Yun. “Xie Yun, ada yang ingin aku tanyakan padamu.”
Xie Yun mendekatkan wajah dengan satu alis yang terangkat. Zhao An Lu langsung menarik wajah agar tak bertubrukan dengan wajah tampan itu.
“Xie Yun, hari ini paman Ma pergi menemui tetua Wang.” Mendengar itu kedua mata Xie Yun terlihat mendekik. “Katanya dia ingin meminta bantuan karna sekarang umurku sudah tujuh belas tahun. Apa kau bisa menjelaskan sesuatu padaku?”
Tatapan Xie Yun beralih, menatap Fuxiang yang tentu ikut mendengar apa yang An Lu bicarakan tadi.
“Nona Zhao, apa kau tau jika ada kekuatan yang luar biasa di dalam tubuhmu ini?” Fuxiang menyahut.
An Lu menoleh, lalu menggeleng sembari memerhatikan tubuhnya sendiri.
“Aku akan membantu membangkitkan kekuatanmu.” Kata Xie Yun kemudian.