Gosip Baru

1619 Kata
Meeting-nya si pak Tedjo ke Bandung, membawa setumpuk ‘tugas’ baru untuk kami yang dianggap ring 1 cabang Jakarta. Amido, Gadis, Risa dan aku. Ditambah juga visit-nya wakil direktur, bu Malika, yang tidak lain tidak bukan anak pertama owner Perusahaan. Amido yang Gadis bilang ‘takluk’ padaku, kini menjadi lebih dekat dengan kami bertiga. Malah kami buat grup sendiri yang hanya ada kami berempat saja. Fungsinya, woooyaa jelas untuk sambat seputar pekerjaan dan berbagi issue – issue terhangat. Nama grupnya ‘Mari Semua Sambat Denganku’. Sebagai tangan kanan bos Tedjo, tentu saja Amido selalu update informasi terkait issue semua karyawan. Dari mulai pelanggaran yang mereka lakukan sampai dengan hubungan terlarang antar karyawan. Hmm...ngeri ngeri syedap memang isi percakapan kami. Tapi, aku jadi lebih tahu lingkungan pertemanan di kantor ini. Syukurlah, aku hanya berbagi cerita pribadi pada dua sobat misqueenku saja. Teman kantor yang lain hanya sekedar hubungan profesional, ya agak basa – basi sedikit sih. Secara aku memang suka ngobrol sama siapa saja. Anyway, aku mendapat banyak julukan selama bekerja di sini. Selain Lemon, mereka kadang – kadang memanggilku dengan sebutan ; mie tektek (karena perpaduan rambut keriting dan suaraku yang menurut mereka, bising. Menurutku tetap merdu), Cepu (karena kadang kalau mereka resek, aku mengancam akan melaporkan ke atasan mereka atau Mr. Tedjo. Nggak tahu kenapa mereka percaya, padahal si bos Tedjo boro – boro dengerin aku. Dia mah dengerin Amido aja minatnya), Toa Masjid (Sekali lagi ini karena suara merduku yang dianggap berisik oleh mereka), Juragan Kost – Kost-an (yah anyway, mereka tahu dari Gadis dan Risa kalau mamahku punya kost – kost-an 10 pintu dan salah satu karyawan sini sudah ada yang pindah ke kost-an mamahku) dan satu lagi yang paling istimewa adalah, Zendaya atau Mary Jane. Ini adalah panggilan Bintang, salah satu staf IT padaku. Katanya Gadis sih, Bintang suka TP – TP alias tebar pesona padaku. Bintang itu profilnya yah tinggi kayak pemain basket dan sedikit gemuk. Tapi karena dia tinggi, gemuknya nggak kelihatan. Jadi, istilah yang dikasih Gadis lebih ke ‘berisi’. Kulitnya agak gelap, pakai kacamata kotak yang gaul, hidung mancung kayak orang Arab tapi matanya kecil. Mungkin karena kacamatanya tebal banget ya, aku hampir nggak pernah melihat Bintang tanpa kacamatanya sih. Terus yang paling epic, dia kalau ngomong tuh sopan dan lembut banget. Kalau Risa bilang, kita bakalan cocok. Yang satu petasan banting, yang satu tembok kedap suara. Jadi, suara – suara syahduku bisa teredam, katanya. Whatever, tahu punya penggemar saja aku sudah bahagia. Gavin pun bergeser dari alam imajinasiku tiap mau tidur dan bangun tidur, berganti dengan to do list PR dari si bos Tedjo dan kadang – kadang, pesan dari Bintang yang seribu tahun sekali alias jarang banget. Aku jadi ragu dia beneran suka atau tidak padaku. “Heh, ngelamun jorok lo ya!” Tahu – tahu, kepala Gadis sudah nongol dari balik laptopku. Aku pun bersungut dan melongok ke ruangan yang berada di belakang tubuhnya. “Masih di dalam tuh bu Malika?” “Masih lah. Lama mereka sih kalau udah ngobrol.” “Ih, gue mau kasih laporan sama si bos.” “After lunch aja sih! Dia nggak akan kemana – mana. Cacing di perut gue udah pada demo nih.” Aku pun mengunci layar laptop dan mengambil selembar uang seratus ribuan dari dalam tas, seraya meraup hape. “Risa mana?” Gadis memberi isyarat dengan ponsel di telinganya, aku pun berjalan mengikuti langkahnya menuju tangga untuk turun. “Heh mau kemana lo?” Amido yang baru datang menyapa kami. Aku menghentikan langkah di jeda tangga menuju lantai bawah dan bersandar di pegangan besi berwarna perak sambil menjawab pertanyaan Amido dan mengobrol seputar hasil meeting pak Bos. Amido pasti sudah dapat kisi – kisinya juga, karena dia ikut meeting dua hari. “Ada bu Malika nggak di atas?” Aku mengangguk. Seketika wajah Amido berubah dari senyum biasa menjadi seringai usil. “Ada gosip terbaru.” “Gosip kelas apa dulu neh? Kelas teri sih males, nggak menarik. Nambah - nambahin dosa doang.” “Yee, ini kelas kakap, Bro!” Anyway, walaupun tanpa keraguan kalau aku wanita tulen, tetap saja si Amido emang paling fasih manggil kita semua ‘Bro’. Mungkin itu lah mengapa di mata dia, kita bertiga nggak menarik kali ya. “a***y, gue mau denger.” Gadis menyeruak di antara kami berdua, dengan tangan kiri menopang santai di bahuku. “Risa otw, dari lantai tiga dia.” Lanjut Gadis tanpa kutanya. Tapi, bukannya langsung spill the tea, Amido malah senyum – senyum mencurigakan. “Yeeuu, malah cengar – cengir najis lo!” Gadis menusuk rusuknya dengan telunjuk. “Duh, belum official.” “Apa, apa, apa?” Wajahku dan Gadis semakin mendekat pada Amido. Spontan dia mendorong kami berdua menjauh. “Ganas banget lo berdua soal gosip yeee.” Risa turun dan menatap kami bertiga dengan pandangan tidak mengerti, Amido pun memutuskan untuk ikut makan siang dan membicarakan gosip yang ia punya pada kami. Dengan senang hati aku pun melempar kunci motorku yang langsung ia tangkap dengan sigap. . . . Walaupun ngaku dan bersumpah kalau dia lelaki sejati, tapi urusan gosip, Amido jagonya. Informasi setidak penting apapun kadang dia dapatkan dan bagi – bagi pada kami bertiga. Sungguh manusia pemancing dosa. Kepalaku maju seketika, saat Amido menyebutkan bahwa meeting si bos ke Bandung bukan hanya soal pekerjaan melainkan kehidupan pribadinya. Jeng, jeng, jeng. Kadang aku curiga kalau si Amido ini sebenarnya admin lambe tumplek deh, update banget heran. “Kok lo tua?” “TAUUUU!” Gadis dan Risa berteriak kompak sambil melotot ke arahku. “Ya gue gitu lho, Bro! Nih, lo pada langganan gosip nggak sih?” “Nggak!” Jawabku dan Risa berbarengan. “Kadang,” ini jawaban Gadis. “Gue follow akun lambe – lambean.” “Jadi, si bos dan istrinya itu, sudah empat bulan pisah rumah, Coy!” “Wah yang bener lo?” “Ah masa?” Aku mendelik curiga ke arah Amido . “Ngapusi lo! Hari Minggu gue masih lihat postingan Anita Marra lagi lunch date bertiga tuh sama si Cimoy.” “Cimoy?” “Cia gemoy.” Ketiga rekan gibahku kompak terbahak mengetahui panggilan kesayangan yang kusematkan untuk puteri kecil si bos terzheyeng. Nama aslinya Alicia, tapi aku membahasakan panggilan Cia. Walaupun ketemu cuma dua kali, tapi ada hasrat ingin menjadi ibunya juga. Eehh. Maap. Kalau inget killer-nya si bos Tedjo saat meeting, nggak jadi ngehalu jadi pelakor Anita Marra deh. “Ya untuk anak, mereka tetap harus akur dong. Gisel – Gading aja masih komunikasi walau udahan.” “Masuk akal. Tapi, info lo valid nggak?” Gadis bertanya, sambil memangku kaki kanan, mode gibah santai. “Justru itu. Potus minta dia selesaikan urusan rumah tangganya tanpa drama dan infotainment.” Potus adalah julukan yang kami sematkan untuk bapaknya bu Malika alias owner number one perusahaan tempat kita nyari duit. Biar ala – ala film Hollywood gitu kalau beliau lagi visit. “Memang konfliknya drama?” Kali ini Risa bersuara juga, mengutarakan kekepoan yang melanda pikirannya. “Ini gosip yang nggak ada di lambe tumplek.” Bisik Amido dengan suara rendah, sarat membuat kami semua penasaran. Yang otomatis memancing kepala kami berempat saling mendekat tanpa aba – aba. “Si Bos pergokin istrinya lagi—selingkuh dengan Bobby Taruna.” “GOKIL!” “Wah gelaseeehh!” “Yah, kok dari bos Tedjo ke Bobby Taruna. Turun level dong.” Responku mendapatkan pelototan tiga orang yang seolah mereka terkejut karena aku tidak terkejut. “Lha, kenapa? Ya memang turun level. Ibaratnya bos Tedjo itu bintang lima, Bobby Taruna itu bintang satu.” “Dibanned dong sama aplikasi.” Celetuk Amido, membuat kami terbahak seketika. Bobby Taruna itu aktor, lumayan terkenal karena rajin membintangi drama azab sih. Tapi kalau di IG- nya memang satu circle sama Anita Marra and the gank yang hobi arisan barang mewah. Tapi kalau profilnya, ya jauh banget dari bos Tedjo. Walau namanya sangat identik dengan kearifan lokal, looks-nya bos Tedjo bisa disejajarin dengan model – model Nivea Man deh. Serius. Nggak tahu body-nya kalau tanpa kemeja slimfit yang biasa doi pakai ya. Mungkin juga cocok jadi model L-Men. Mari berhenti mengagumi si Tedjo, Letisha! Dia itu menyebalkan. Oke mode benci sudah kusetel ulang. “Yah gitu. Katanya sih, kalau curhat sama gue. Ini bukan yang pertama kali istrinya selingkuh. Minggu depan dia mau ajuin berkas perceraian katanya.” “Hmm...apakah hal ini akan mempengaruhi mood-nya?” “Satu lagi, Bro.” “Apa, apa, apa?” “Ini kita semua di Cabang Jawa Barat sudah pada tahu sih.” “Iya, apa?” “Bu Malika sudah lama nunggu si bos pisah.” “Heehh? Bu Malika single?” Tanyaku polos. Risa dan Gadis terkekeh pelan. Maksudku, ya maaf, tapi penampilan bu Malika memang seperti sudah punya anak gitu. “Pernah tunangan terus nggak jadi nikah, Bro. Ya sekarang sih single.” Wow, sungguh informasi baru untukku kalau anak owner ternyata diam – diam merayap. Eh maksudnya, diam – diam berharap pada si killer, judes dan menyebalkan itu. Ketika kembali ke kantor, ruangan si bos sudah kosong. Aku lupa tidak memperhatikan mobilnya di parkiran tadi, jadi nggak tahu apakah dia memang makan siang keluar atau sekedar ke lantai lain. Kadang gitu dia, bisa kayak orang puasa alias nggak pernah kelihatan makan siang sampai sore. Tapi ya kadang makan siang juga sih. Amido langsung memberi isyarat pada kami berempat, yang artinya, ‘tuhkan apa gue bilang! Mereka pasti makan berdua, sengaja nunggu kita semua pergi dulu’. Kalau nggak salah. Soalnya kadang dia cuma kasih isyarat b**o tanpa arti. Nggak jelas memang anak buah si Tedjo. •••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN