Ternyata apa yang dikatakan Amido siang itu beneran.
Walau katanya Amido, si Bos Tedjo berusaha untuk menyelesaikan urusan rumah tangganya tanpa infotaiment tapi si akun lambe tumplek sudah mendapatkan nama Anita Marra sebagai tergugat di pengadilan agama. Yah jelas tak terelakkan lagi lah akun – akun gosip itu memberitakan gonjang – ganjing prahara rumah tangga Anita Marra dan pak Tedjo.
Anyway, kita semua juga jadi tahu kalau nama lengkap si bos adalah Sawung Tedjo Buwono. Kita kompak lega karena berhasil mendapatkan jawaban dari teka – teki inisial B yang tersemat di mana – mana tapi tak kunjung mengetahui kepanjangannya.
Daaaannn, itu semua mempengaruhi mood si bos Tedjo. Dia jadi lebih sensitif dan gampang marah untuk hal sepele yang biasanya dapat ditoleransi. Kita semua pun memilih mencari aman dengan tidak banyak bercanda saat dia berada di ruangannya, ataupun sekitar kami. Amido yang biasanya lawak banget pun, tumben jadi manekin berjalan dengan wajah tanpa ekspresi.
Pintu ruangan kami terbuka, Bintang berjalan masuk sambil menenteng laptop. Dia menyapaku dan menghentikan langkahnya persis di seberang mejaku.
“Warna baru tuh?” Spontan aku memegang rambutku, searah dengan tatapan Bintang.
“Luntur nih, jadi sisa bleaching saja. Tapi malah kayak abu – abu nggak sih?” Aku bertanya seraya menarik ujung rambut untuk kulihat sendiri.
“Iya abu – abu, makanya kukira baru cat rambut lagi.”
Aku nyengir kuda dan bertanya tujuannya turun ke lantai ini.
“Mau ke pak Tedjo, beliau nggak lagi meeting kan?”
Aku mempersilakan Bintang masuk, karena hanya ada Amido saja di ruangan si bos.
Gadis berbisik, menanyakan progres komunikasiku dengan Bintang di luar kantor.
“Duh, nggak tahu deh, Dis. Bosenin orangnya. Pernah ya telponan, dia ngomongin apaan kali gue nggak ngerti. One Piece kayaknya. Lha gue nggak nonton yak. Sama adek gue kali tuh cocok.” Sungutku.
Bintang wibu kayaknya, atau otaku yah. Pokoknya suka yang Jejepangan gitu deh, persis kedua adikku.
Risa ikut nimbrung dan setuju dengan statement barusan kalau si Bintang itu membosankan. Risa pun menceritakan pengalangannya yang pernah ngobrol dengan Bintang dan nggak ngerti apa yang dia bahas, tapi dia malah ketawa – ketawa sok asyik sendiri.
Hm, gagal dapat pacar lagi ini mah aku.
Aplikasi Tinder dan Bumble baru saja kuhapus. Pupus sudah harapanku untuk mencari cinta sejati di platform kencan yang terkenal itu.
Sudahlah, Tisha, lupakan statusmu. Mari cari cuan bersama aplikasi trading.
Aku kembali fokus dengan pekerjaanku hingga waktu menunjukkan pukul lima sore. Bintang juga sudah pergi kembali ke sarangnya sejak tadi, begitu juga Amido yang sudah anteng duduk di kursinya sejak beberapa menit yang lalu.
Di hapeku, ada pesan dari mama Teti yang memberi ultimatum agar langsung pulang tanpa mampir ke tukang seblak atau bakso aci. Mama kira, tiap aku pulang terlambat selalu ke tukang seblak kali ya. Padahal sering juga kena tahan si bos Tedjo.
Sebenarnya, ada beberapa pekerjaan yang belum rampung. Tapi, aku memilih menyelesaikannya di rumah dan langsung berkemas begitu angka penunjuk waktu di hapeku menampilkan angka 17:12.
Sebelum si bos Tedjo keluar, aku pun segera bergegas memasukkan laptop ke dalam tas bahkan tanpa mematikannya.
“Duluan ya, Guys!” Pamitku tanpa berharap balasan ketiga orang workmate yang masih berkutat dengan pekerjaan mereka.
“Heh, heh, heh...nyelonong aja lo!” Seru Gadis ketika tanganku sudah meraih handle pintu.
Aku menoleh dan nyengir kuda seraya mengacungkan jari yang membentuk huruf V.
“Bye bye, Bestieeee...”
Aku pun segera meluncur turun sebelum tercium radar Dementor yang menjabat sebagai bos kami semua.
Sambil memanaskan motor, aku memasang earphone nirkabel dan memutar lagu di playlist untuk menemaniku selama perjalanan hingga sampai rumah. Lagu Dynamite dari BTS lah yang terputar pertama kali.
Aku pun menaiki motor dan berpamitan pada pak Ujang, security yang bertugas hari ini.
Di perjalanan, aku mampir untuk membeli telur gulung di abang - abang yang mangkal di pinggir jalan. Dan melanjutkan perjalananku. Butuh waktu hampir empat puluh menit hingga akhirnya aku tiba di rumah dengan selamat dan tetap cantik.
Baru saja melepas helm, lagu Payphone milik Maroon Five berganti dengan dering panggilan telepon. Aku pun mengambil hape dari dalam tas dan melihat pemanggilnya.
Si Bos Tedjo yang telepon.
Kulepaskan headset sebelum menjawab panggilannya.
“Halo, kamu sudah sampai rumah, Sha?”
“Sudah, Pak. Ada apa ya Pak?”
“Data trend p********n principal yang saya minta, sudah kamu kerjakan?”
Ya Allah! Spontan aku menepuk jidat.
“Lupa, Pak.”
“Instruksi saya yang kurang jelas, atau memang pendengaran kamu terganggu dengan rambut keriting itu?”
Mulai deh, bawa – bawa fisik. Gue tahu lo ganteng, biasa aja dong!
“Yee, lupa, Pak. Bukan nggak denger atau nggak jelas.” Aku bersungut – sungut di sini.
“Saya tunggu sekarang, maksimal jam tujuh sudah kamu email ke saya.”
Seperti biasa, Sawung Tedjo hampir tidak pernah menutup telepon dengan sopan. Jadi, aku pun meneriakinya karena tahu telepon pasti langsung terputus tanpa sempat aku membalas.
“Sombong banget sih jadi atasan, di Tanah Abang seratus ribu dapet tiga looo!”
“Saya masih bisa dengar lho, Tisha.”
HAH?
Spontan aku menyalakan layar dan terkejut bahwa telepon ini masih bersambung. Langsung saja aku menekan tombol mati agar sambungan terputus.
“Mampus gue! Dipecat nggak yah?”
Anyway, dia nggak pernah telepon pake wa. Tapi telepon pulsa, yang ke nomor hape kita itu lhoo.. Ya jelas nggak ketahuan kalau belum dimatikan dan dia anteng saja hening di sana. Huhuhuhu. Aku siap deh kalau besok benar – benar harus dipecat atau dapat hukuman indispliner. Eh, tapi kan nggak ada peraturan tertulis nggak boleh mencaci maki atasan ya?
Huuhhhhh. Aku menjambak rambut sambil melangkah gontai masuk ke dalam rumah.
“Jalannya kayak Zombie ih, Teh.” Rivaldi menyapaku.
Dia sedang nonton di ruang tv sendirian. Dari arah dapur Riswaldi datang dengan semangkuk mie instan dan menyahuti ‘kembarannya’.
“Teteh mah bukan Zombie, tapi zombloo. Hahaha.”
Keduanya saling tos dan menertawaiku.
“Nggak gue kasih jajan lo berdua. Selesai!” Ancamku dan langsung menuju kamar untuk mengerjakan tugas dari pak Tedjo.
Aku berencana menyelipkan permintaan maaf di email yang akan kukirim nanti.
Selesai mandi dan sholat Maghrib, aku langsung duduk depan laptop. Pintu kamarku terbuka dan kepala Riswaldi nongol di sana. Ia melambaikan plastik berisi telur gulung yang tadi aku beli.
“Aku nemu di motor, aku makan ya, Teh.”
Berhubung sudah nggak mood ngemil, aku pun mengusir adikku itu sambil menyuruhnya menutup pintu kembali. Dia pun mengucapkan terima kasih dan menutup pintu kamarku sebelum pergi.
Tidak butuh waktu lama bagiku menyediakan data yang diminta. Aku pun segera membuka email kantor dan memasukkan attachment. Namun, jariku terasa kaku untuk mengetik kata – kata yang pantas dan maaf-able.
Duh, kenapa aku tidak dilahirkan dengan wajah seperti Lisa Blackpink aja ya biar dapat privilege gampang dimaafin. Huhuhu. Salah si papa nih nggak punya cetakan wajah ala – ala Lisa Blackpink kek gitu, Selena Gomez juga nggak apa – apa deh.
Akhirnya, setelah berulang kali mengetik – menghapus – mengetik – menghapus hingga beberapa kali, aku pun bertekad menekan tombol send ketika merasa bahwa kata – kataku kali ini tidak norak, barbar, ngenes, memelas ataupun kurang ajar. Oke, send.
Nggak apa kalau akhirnya dipecat juga, yang penting ajaran mama Teti tetap aku lakukan. Yaitu meminta maaf kalau aku telah berbuat salah. Meminta maaf nggak membuat kita rendah, hina apalagi miskin kok. Cuma agak bikin malu, tapi konsekuensi deh. Karena aku memang mencacinya tadi sepenuh hati muehehehe.
Pintu diketuk, teh Nira masuk dan mengajakku makan malam.
“Masih ada kerjaan?”
“Sudah selesai kok barusan.” Aku pun beranjak dari kasur setelah mematikan laptop dan ikut turun teh Nira ke ruang makan.
Di sana sudah ada mama, papa, kedua adik laki – lakiku dan seorang pria asing yang lagi asyik ngobrol dengan papa. Aku menyikut teh Nira, bertanya dengan lirikan mata.
“Calon Teteh.” Jawabnya, spontan aku membelalakkan mata pada kakakku yang tertua ini.
Teh Nira menempelkan telunjuknya di depan bibir, memintaku diam.
Aku menarik lengannya dan berbisik pada tetehku.
“Pokoknya ceritain yang lengkap nanti!”
“Iya ih, kepo dasar!”
Aku pun segera menuju meja makan dan memperkenalkan diri pada calon teh Nira itu. Widihh, agak matang kalau dari penampilannya sih. Aku tebak, sepertinya empat puluh tahunan umurnya. Tapi pembawaannya gaul gitu. Lebih gaul om ini daripada si pak Tedjo kurasa.
Namanya mas Restu, klien teh Nira ternyata. Bukan teman kantornya.
Teh Nira tidak pernah pacaran dari dulu. Dirinya sudah mengenakan hijab syar’i sejak SMA dan aktif pada kegiatan – kegiatan keagamaan sejak Sekolah, terus saat kuliah bahkan di komplek perumahan kami. Bagai minyak dan air denganku yang terkenal cuek dan bahkan sedikit boyish saat sekolah dulu.
Jadi, dengan kedatangan mas Restu malam ini, aku sih kaget. Nggak tahu kalau mama papaku deh.
Selesai makan malam, obrolan berlanjut di ruang tamu. Aku nggak ikut karena dapat tugas cuci piring bersama Rivaldi. Tapi, karena tadi Riswaldi kukasih telur gulung, aku pun menyuruhnya menggantikanku dan aku melipir ikut nimbrung obrolan ‘orang dewasa’ di ruang tamu.
Rupanya, mas Restu sedang meminta restu papa dan mama untuk melamar teh Nira.
Kenapa yang deg – degan malah aku ya?
•••