012 Perjalanan
''Kak Halvir, berhenti!'' pekik Anindira dengan segera, ''Poh-pohan, biarkan aku memetiknya!''
''Apa?''
''Itu, daun poh-pohan...''
Aninidra merengek sambil menunjuk ke arah rimbunan semak tidak jauh dari posisi mereka berada.
''Daun apa lagi yang mau kau pungut?!''
''Ayolah, ini lezat Kak Halvir jangan melihatnya seperti itu!''
''Dengan begini aku semakin yakin kalau kau itu herbifora.''
''Apa maksudnya itu?!''
Anindira tidak memahami maksud Halvir yang ini.
''Lupakan!'' seru Halvir mengacuhkan rasa penasaran Anindira, ''Asal kau senang lakukan saja. Selama hal itu tidak membahayakan dirimu...''
''Jangan khawatir!'' sahut Anindira dengan senyum mengembang di wajahnya, ''Aku tahu dengan jelas mana tanaman yang bisa dimakan dan tidak. Untuk hal itu, aku cukup percaya diri dengan pengetahuanku.''
''Ya, ya... sesukamu...''
Halvir tampak acuh tapi sorot matanya tulus memperhatikan hal yang akan membuat Anindira merasa senang. Diam-diam di belakang Anindira dia akan tersenyum melihat betapa unik kelakuan wanita yang telah menemaninya selama dua bulan.
Setelah memetik daun poh-pohan, Halvir dan Aninidra kembali melanjutkan perjalanan.
''Kita akan beristirahat di sini!'' seru Halvir setelah menentukan tempat yang cocok untuk mereka beristirahat.
ZRET
Halvir memotong akar pohon yang menjuntai.
Anindira segera bersiap meminum air yang keluar dari rongga akar pohon yang di potong Halvir.
''Terima kasih, segar sekali rasanya...''
''Aku akan menyiapkan api untuk kita membakar daging.''
''Okey!'' seru Anindira menjawab dengan tingkah cerianya seperti biasa.
Jawaban Anindira barusan adalah bahasa yang biasa di gunakan di Dunia Modern. Kata itu tidak ada dalam kosakata Dunia Manusia Buas. Tapi, sejak dua bulan Halvir dan Anindira bersama-sama. Perlahan tapi pasti mereka mulai memahami karakter masing-masing.
''Sobek di pakaianmu sudah bertambah lagi...''
''Kak Halvir, jangan membuat wajah murung seperti itu!'' sahut Anindira dengan segera memotong rasa kasihan Halvir padanya, ''Dengan penciumannu yang tajam. Aku lebih khawatir dengan aroma yang keluar dari tubuhku karena nyaris tidak mandi selama dua bulan.''
''Tidak masalah denganku, lagi pula kau selalu bisa membersihkan dirimu dengan bahan yang ada. Karenanya, aromamu tidak buruk untuk seseorang yang belum mandi selama berbulan-bulan.''
''Kak, apa harus sejujur itu?!''
Jawaban jujur Halvir tentu saja mengusik harga diri gadis modern seperti Aninidra.
''Dasar tidak peka!'' seru Aninidra kesal, ''Paling enggak, bilang saja ''kau tidak bau jadi jangan khawatir!''. Kenapa mesti harus di uraikan dengan maksud jelas, kalau ada bau yang memang keluar dari tubuhku.''
''Lagi-lagi kau bicara dengan bahasa yang tidakm aku tahu. Tapi, aku bisa tahu kalau kesal... apa ada kata-kataku yang membuatmu kesal?!''
''Ada, banyak!''
Anindira menjawab Halvir masih dengan bahasanya sendiri.
Meski Anindira menjawab Halvir dengan nada ketus tapi halvir mulai bisa memahami Anindira. Marahnya, kesalnya, atau sedihnya. Halvir sudah mulai bisa membedakannya.
''Perjalanan ini seharusnya akan jadi sangat berat untukmu karena kau seorang wanita. Tapi selama dua bulan hampir tidak ada masalah yang berarti. Kau tahu banyak mengenai alam, karena itu, kau cukup pandai menjaga dirimu sendiri.''
''Aku berterima kasih pada nenekku untuk itu. Dia seorang ahli botani, aku belajar banyak darinya...''
''Kau beruntung, dengan begitu kau tidak kesulitan menemukan banyak hal yang membuatmu tersenyum di hutan belantara.''
''Hehehe... tanpa Kak Halvir aku tidak mungkin bertahan. Meski hampir semuanya sama dengan tempat asalku, ada beberapa hal yang sudah tidak lagi di temukan kecuali fosilnya. Kak Halvir juga pengecualian. Aku tidak tahu apakah memang punah atau memang tidak pernah ada...''
''Tentu saja aku hanya satu-satunya, bagaimana kau bisa berharap ada banyak dari diriku?!''
''Maksudku tidak seperti itu... tapi hal supranatural yang kakak lakukan itu sama sekali tidak ada.''
''Supranatural'' kata itu tidak dimengerti oleh Halvir. Tapi dia juga enggan bertanya. Sama seperti beberapa kosakata yang selalu bercampur aduk, nyaris dalam setiap kalimat yang diucapkan oleh Aninidira. Seiring waktu Halvir akan memahaminya dengan sendirinya, karenanya dia enggan bertanya.
Hehehe...
''Kenapa lagi?'' tanya Halvir heran melihat Anindira senyum-senyum kegirangan, ''Apa yang membuatmu cengengesan begitu?''
''Hm?! Owh, tidak... itu... aku hanya merasa senang. Kalau Kak Halvir tidak cukup sabar perlahan-lahan mengajariku, kita berdua masih akan terjebak dengan peragaan-peragaan konyol...''
''Hanya kau yang membuat kekonyolan. Aku tidak!''
''He...?! Kau membuliku lagi...''
''Di bagian mananya?!''
Perbincangan serius atau pun konyol selalu mengiringi setiap percakapan Halvir dan Anindira.
*****
Sudah dua bulan sejak Anindira dan Halvir bertemu.
Meski belkum sepenuhnya lancar tapi setidaknya kosakata dasar telah dimengerti oleh Anindira. Karenanya untuk beberapa hal, Anindira sudah bisa membicarakannya dengan Halvir.
Anindira juga telah mengetahui jika perjalanan panjang akan di tempuh oleh mereka berdua, untuk bisa sampai di kampung halaman Halvir. Awalnya Anindira merasa risi karena Halvir selalu menggendongnya selama perjalanan. Tapi sekarang Anindira sudah terbiasa. Jika Anindira memaksakan diri untuk berjalan sendiri, bukan hanya karena dia tidak punya alas kaki tapi juga waktu tempuh akan jadi dua kali lebih lama jika mengandalkan kekuatan Anindira sendiri.
''Untuk wanita staminamu bagus, Anindira.''
''Benarkah, terima kasih. Tapi, pasti masih kalah jauh jika di bandingkan dengan para wanita di desa Kak Halvir.''
''Tidak,'' jawab Halvir tegas, ''Kau sangat tangguh. Kau berbeda dengan kebanyakan wanita yang aku tahu...''
''Kak Halvir hanya ingin menghiburku.''
''Untuk apa? Kau tidak sedang bersedih...''
Anindira menarik ujung bibirnya karena merasa sedikit kesal dengan sikap Halvir yang lugas. Tapi terlalu apa adanya hingga bisa membuat wanita merasa buruk.
''Kak Halvir, apa kau selalu bicara dengan gaya seperti ini?!''
''Eum,'' jawab Halvir singkat.
''Meski tidak memuja dan memuji setidaknya perhalus kata-katamu... kalau kau tetap seperti ini. Wanita akan takut padamu... akan sulit bagimu untuk dapat pacar.''
''Pacar?!''
Halvir tidak mengerti kata itu, tapi seperti biasa dia enggan bertanya dan mengacuhkannya.
''Wanita yang takut padaku sudah banyak, jadi tanpa kau beritahu aku sudah mengetahuinya.''
Anindira hanya bisa mengangkat alis menanggapi Halvir dia terlalu canggung untuk bicara karena menurut Anindira pasti kasihan jika kesulitan untyk dapat pacar karena karakter yang sulit.
''Padahal, kau itu baik. Meski kau tidak bisa bermanis mulut... tapi, disitulah daya tarik spesialmu bagiku.''
Anindira bergumam di dalam hati menjawab ucapan Halvir.
Halvir melirik pada Anindira merasakan kalau Anindira sedang menyimpulkan sesuatu
''Kau termasuk tangguh untuk wanita yang sendirian di hutan,'' ucapnya sambil menatap Anindira dengan sorot mata yang teduh, ''Aku tidak tahu bagaimana dengan wanita yang lain. Tapi, kau... Aku merasa, kau itu kuat. Kau terlihat tangguh untuk seorang wanita. Selama ini aku banyak bertemu dan mengenal beberapa wanita, dari yang aku tahu mereka itu hampir selalu lemah dan manja. Selain itu, mereka juga cukup rewel dan cepat merajuk, cukup merepotkan... '' ujar Halvir kembali melanjutkan kalimatnya.
Anindira hanya bisa terus menatap dan mendengarkan ucapan Halvir, karena kali ini Halvir seperti sedang mencurahkan isi hatinya. Halvir menatap Anindira tapi tampak seperti memikirkan hal lain. Halvir tidak berbicara dengan mendikte seperti yang biasa dilakukannya, jadi Anindira hanya dengan tenang mendengarkan dan memperhatikannya dengan seksama.
''Aku tahu, tidak semua wanita bersikap merepotkan. Seperti... seperti dua wanita yang kukenal dengan sangat baik. Kau berbeda dengan kebanyakan wanita -wanita yang lain. Kau sedikit mirip dengan Zia yang nakal dan cerewet... Kau tahu, tidak banyak wanita yang bisa nyaman berlama-lama denganku selain Ezra dan Zia... Seperti mereka, kau selalu menatap lurus ke mataku. Tidak ada ketakutan di matamu, dan aku juga yakin kalau itu semua tidak di buat-buat. Kau tulus melihatku sebagaimana diriku...'' Halvir yang dari tadi terus bicara, dia kemudian berhenti.
Anindira meletakkan kepalanya di atas lututnya yang ditekuk vertikal dan sebelah lagi di tekuk bersila, dengan wajah memandang Anindira dan tersenyum lembut.
''Aku tahu kau lelah, sangat lelah. Walau aku tidak mengerti ucapanmu, tapi, aku tahu kalau kau tidak mengeluh. Kau tidak manja seperti kebanyakan wanita…'' ujar pemuda itu sambil sesekali menyibak rambut Anindira yang kadang-kadang terjatuh menutupi dahinya, ''Kau nakal seperti Zia... Tapi, kau juga tenang seperti Ezra. Aku tidak tahu bahasamu. Tapi, aku bisa tahu saat kau kesal atau tidak nyaman, dan juga kau terus bertahan dan tetap tersenyum. Aku menyukai semua yang kulihat tentang dirimu, begitupun matamu yang dengan tulus menatapku... '' ujar Halvir dengan tenang, dia terus melanjutkan kata-katanya.
Anindira memang terkejut, wajahnya juga tampak tersipu, tapi bibirnya melengkung tersenyum bahagia. Ini kali kedua dia melihat Halvir tersenyum indah seperti sebuah lukisan, terlihat sangat pas di bawah cahaya bulan purnama.
Cukup lama mereka saling menatap satu sama lain, untuk beberapa menit ke duanya larut dengan suasana syahdu dan romantis di hati mereka masing-masing.
Suhu dingin merusak saat-saat romantis Anindira dan Halvir. Angin dingin terus bertiup, terlebih, saat ini mereka ada di puncak pohon. Tempat yang sangat tinggi, tempat yang hembusan anginnya lebih kuat, tubuh Anindira mulai menggigil kedinginan. Melihat Anindira bergetar menahan dinginnya hawa di malam hari, Halvir bangun dan duduk di belakang Anindira, mengejutkannya dan membuatnya salah tingkah.
Halvir menahannya agar tetap tenang, walau komunikasi di antara mereka belum lancar tapi hati Anindira merasa bisa memahami maksud dari pemuda itu yang berusaha menjaganya. Beberapa detik kemudian Anindira mulai tenang dan tidak menolak Halvir yang dengan santainya memangku Anindira. Tubuhnya merasa nyaman dan tidak risih saat Halvir duduk di belakangnya, Halvir menempelkan dadanya ke punggung Anindira, tubuh besar Halvir yang hangat, menenggelamkan tubuh mungil Anindira.