009 Saling pengertian
''Kau kembali!'' pekik Anindira menyambut kedatangan pemuda itu dengan gembira.
''Sesenang itu kau melihatku membawa makanan...'' sahut pemuda itu melihat senyum lebar Anindira dengan mata yang berbinar melihat bungkusan di tangannya.
Antara senang karena pemuda itu segera datang sebelum dia nekat turun karena bosan dan juga bungkusan yang di tebak Aninidra adalah makanan untuk mengisi perutnya yang keroncongan karena dia bisa mencium aroma manis buah dari situ.
''Ini untukku?" tanya Anindira berbasa-basi.
''Makanlah!" seru pemuda itu sambil menyodorkannya.
''Ma-kan..." ujar Anindira, mengulangi mengikuti perkataan pemuda itu, menjeda setiap suku kata.
''Eum...'' angguk pemuda itu, ''Ma-kan,'' ujar pemuda itu lagi mengulangi kata-katanya.
''Terima kasih,'' Anindira menjawab dengan senyum manisnya dan mulai makan buah-buahan, ''Aku sangat lapar… Terima kasih sekali lagi,'' tambah Anindira sambil menjejalkan tiap gigitan buah yang dimakannya.
''Semalam kau menangis tersedu-sedu. Tapi lihat sekarang... kau makan dengan lahapnya.''
''Hm?!'' sahut Anindira dengan mulutnya yang masih berisi makanan.
''Pelan-pelan,'' jawab pemuda itu sambil tersenyum, ''Kalau masih kurang, akan kucarikan lagi untukmu.''
Anindira cukup tertekan dengan keadaan yang di alaminya. Tapi setelah dia meluapkan emosinya semalam. Beban berat di hatinya terasa lebih ringan sekarang. Keadaannya yang sekarang adalah sesuatu yang tidak terhindarkan olehnya. Tidak ada apa pun yang bisa dilakukan olehnya sekarang kecuali tetap semangat untuk bertahan hidup di dunia yang tidak dikenalnya.
''Kau tampak sangat menyukai buah-buahan itu, tapi kau sama sekali tidak melirik kelinci yang kubawa.''
Anindira kembali menunjukkan reaksi yang sama seperti sebelumnya, karena tidak mengerti apa yang dikatakan oleh pemuda itu. Mau tidak mau hanya wajah yang tampak bodoh yang bisa di perlihatkan Anindira untuk menunjukkan perasaan hatinya.
''Kau...'' panggil pemuda itu perlahan, ''Tidak... '' lanjut pemuda itu lagi, ''Makan ini?'' tanya pemuda itu sambil menunjuk kelinci di hadapannya ketika dia menyelesaikan kalimatnya.
Ternyata dia sengaja mengucapkan kata demi kata, putus-putus, seolah sedang mendikte Anindira.
''Hmm?'' Anindira mengangkat alis memperhatikan pemuda itu, tapi dia kemudian segera tersenyum, ''Maksudnya makan itu?!''
Anindira menegaskannya dengan gaya yang lucu. Dia juga cukup senang karena ternyata dia bisa mengetahui maksud pemuda itu meski harus terbata-bata.
''Eum,'' angguk pemuda itu menanggapi Anindira.
''Bagaimana makannya?'' tanya Anindira kemudian, ''Itu kan masih mentah?!''
Anindira dan pemuda itu sama-sama bersabar untuk bisa memahami maksud masing-masing pihak. Mereka bicara sambil terus sesekali memperagakan sebisa mereka.
''Bagaimana makan kelinci masih penuh bulu begitu?'' tanya Anindira heran.
Anindira mengernyitkan dahi sambil membuat tampang jijik menatap kelinci mati di tangan pemuda itu.
Pemuda itu merogoh kantong kulit yang ada di pinggangnya, lalu mengeluarkan batu pipih. Segera setelah itu, dia mulai merobek dan menguliti kelinci dengan sangat cekatan.
Anindira yang terbiasa membantu ibu dan neneknya di dapur sama sekali tidak merasa jijik melihat pemuda itu dengan lihainya memutilasi perut kelinci lalu merogoh dan mengeluarkan jeroannya. Anindira sendiri juga sering mengolah tupaiyang di buru bersama kakeknya. Karena itu, meski tangan pemuda di hadapannya belepotan dengan darah sama sekali tidak mengganggu selera makannya.
''Aku sudah membersihkannya, kau sudah bisa memakannya sekarang.''
Setelah selesai mengolah kelinci, pemuda itu menyerahkannya pada Anindira.
''Ha?!'' pekik Anindira dengan ekspresi jijik, ''Ini mau di makan mentah?!''
Melihat reaksi Anindira yang seperti itu, pemuda itu salah dalam memahaminya, dia kemudian hendak membuang kelinci di tangannya.
''APA?! TUNGGU!!'' seru Anindira memekik dengan tangan yang refleks bergerak cepat menghentikan tangan pemuda itu yang hampir saja melempar hewan buruan di tangannya, ''Ada apa denganmu?'' tanya tanya Anindira selanjutnya dengan wajah sedikit terlihat marah.
Anindira menatap tegas pada pemuda itu, dia tidak suka melihat perlakuan yang menyia-nyiakan makanan.
''Ada apa denganmu?'' tanya pemuda itu merasa bingung dengan tindakan Anindira, ''Aku melakukannya untukmu, aku tidak ingin nafsu makanmu terganggu!''
Dia bingung, kenapa Anindira menahan tangannya, sudah begitu, Anindira juga sangat berani karena menatap langsung ke matanya.
''Jangan di buang!’’ seru Anindira, ‘’Kenapa kau menangkap dan mengolahnya kalau mau di buang?! Kau menangkapnya, itu artinya kau ingin memakannya, kau tidak akan memberiku sesuatu yang kau sendiri tidak makan, bukan?!''
Anindira merasa kesal, kenapa pemuda itu dengan mudahnya membuang bahan makanan, apa lagi masih segar dan berkualitas.
Keduanya sama-sama menahan diri. Mereka bersabar mencoba bijaksana dalam menyikapi situasi yang ada.
''Tuan,'' panggil Anindira yang paling duluan mengalah, ''Aku tidak makan daging mentah.''
Anindira dengan lembut mencoba menjelaskan. Dia tidak mau jika kesalahpahaman berlanjut dan akan membuat mereka berdua yang kesulitan berkomunikasi malah akan semakin canggung.
''Aahh!'' pekik Anindira yang kegirangan, ''API!''
Canggung tapi kali ini dia benar-benar berusaha keras dan tulus agar pemuda itu memahami maksudnya.
''API!'' pekik pemuda itu dengan nada datar.
Alisnya terangkat, dia merasa senang ketika akhirnya dia mengerti maksud Anindira.
Sama seperti Anindira dia juga ingin agar mereka bisa saling memahami satu sama lain meskipun komunikasi tidak berjalan lancar tapi minimal mereka berdua bisa sama-sama nyaman.
Kembali pemuda itu mengeluarkan dua buah batu dari kantongnya, kali ini bentuknya bongkahan bukan pipih. Pemuda itu menghentakkan dua batu itu bersamaan. Dari hentakan dua batu itu kemudian terlihat percikan.
''YA!'' pekik Anindira dengan senyum lebar dan matanya yang berbinar, ''Hehehe...'' tawa aneh kembali terlihat di wajahnya yang sudah konyol, ''Tuan, kau pintar...'' ujar Anindira tersenyum gembira karena maksudnya tersampaikan, sambil mengangkat jempol yang lengket karena cairan manis buah yang belepotan di tangannya.
''Maafkan aku,'' ujar pemuda itu dengan mata sayu menatap sendu pada Aninidra, ''Selama dalam perjalanan, kami para pria hanya ingin menghemat waktu dengan memakannya mentah...''
''Tuan, apa yang kau katakan?''
''Hm,'' pemuda itu tersenyum menanggapi wajah memelas Anindira, ''Aku juga lebih suka memakan daging yang di masak.''
''Tuan, aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan...''
''Jangan pikirkan, tung-gu... di-sini!''
Pemuda itu lagi-lagi dia bicara dengan cara mendikte sambil menahan pundak Anindira, mengisyaratkannya untuk menunggu.
Gesit dan lincah, pemuda itu menuruni pohon dan lagi-lagi dia meninggalkan Anindira di atas pohon. Tapi, selang beberapa menit kemudian, dia naik lalu membawa Anindira turun ke bawah.
Ternyata pemuda itu turun untuk menyiapkan api unggun.
Saat membawa Anindira turun, api sudah siap di bawah. Dia kemudian mengambil dua ekor kelinci yang dibungkus daun yang lebar mirip daun jati lalu menusukkan ke kayu kemudian mulai membakarnya.
Sambil menunggu kelinci itu siap di makan, mereka berbincang dan memutuskan untuk berkenalan dan berlanjut berbicara lebih banyak.
''Halvir... '' ujar pemuda itu sambil menunjuk pada dirinya, ''Halvir... A-ku... Halvir... '' ujar pemuda itu mengulanginya, kemudian menunjuk Anindira.
''Hal... Vir?!''
Anindira menjawab kemudian menunjuk ke arah pemuda itu.
''Eum...'' angguk pemuda itu, ''Kau?!'' seru Halvir bertanya, dia kemudian menunjuk Anindira.
''Anindira... A-nin-di-ra...'' ujar Anindira sambil menunjuk dirinya sendiri.