014 Jati Diri
''Bagaimana mungkin wanita bisa berada di HUTAN LARANGAN?!'' seru Hans bertanya dengan intonasi yang sedikit meninggi, ''Apa kau sedang mengejekku karena aku tidak pernah menginjakkan kaki ke sana?''
''Berapa kali pun kau bertanya jawabanku tidak akan berubah!'' jawab Halvir serius tapi kesan acuh dan tidak peduli tetap menempel di wajah Halvir.
''Nama mu Anindira...''
Hans akhirnya mengalihkan pembicaraan pada Anindira. Dia tidak menjawab Halvir dan mengacuhkannya karena dia kesal pada Halvir.
''Iya,'' jawab Anindira sambil mengangguk.
''Hmm...'' Hans mulai mengobservasi Anindira.
Hans melihat fisik Anindira secara keseluruhan dari atas sampai bawah.
''Tidak ada masalah pada dirimu, kau sehat.''
''Kau yakin Hans, Anindira melakukan perjalanan selama tiga bulan dari *Hutan Larangan ke Desa Huta Biru?!''
''Dia wanita Halvir. Aku tidak akan main-main untuk kesehatannya!'' jawab Hans tegas dengan sorot mata tajam menunjukkan keseriusannya menatap Halvir, ''Meski sepertinya beberapa jalur peredaran darahmu agak tersumbat tapi aku rasa itu hanya akibat dari perjalanan jauh. Kelelahan, itu hal biasa...'' ujar Hans lagi, kali ini dia bicara dengan ramah dan lembut untuk Anindira, ''Kau hanya butuh istirahat yang lebih baik dan makan cukup.''
''Pendengaran dan penciumannya berkali-kali lebih hebat dariku, saat berkonsentrasi dia bahkan mampu mengetahui kemana aliran darahmu. Kalau dia terbiasa denganmu, dia akan tahu jika ada masalah dengan tubuhmu,'' ujar Halvir menjelaskan pada Anindira.
Halvir seperti mengerti raut wajah penuh tanya Anindira. Tanpa diminta, dia memberi tahu Anindira dengan gamblang apa yang sedang mengusik rasa ingin tahunya.
''Hm!'' seru Hans mengangkat alisnya bereaksi dengan perilaku Halvir barusan, ''Sejak kapan dia tahu bersikap ramah pada wanita?'' tanya Hans dalam hatinya.
Hans yang sejenak tadi merasa kesal dengan Halvir, sekarang dia malah merasa aneh. Dia melembut dan tidak lagi acuh pada Halvir, dia malah semakin ingin memperhatikannya, dia merasa ada yang berbeda dengan Halvir.
''Halvir, sepertinya ada banyak yang harus kau ceritakan padaku?!''
''Berisik!''
Hans telah mengenal Halvir hampir tiga dekade, mereka cukup dekat untuk bisa disebut sahabat.
Hans merasakan perubahan pada diri Halvir, jika tidak mengenalnya dengan baik, tidak akan mampu melihat bahwa ada ekspresi lembut di balik wajah datarnya selama ini.
''Setidaknya, kabar baik harus di sampaikan pada orang yang dekat denganmu, 'kan...'' sahut Hans sambil tersenyum, ''Jangan jahat padaku atau aku tidak akan bisa tidur karena penasaran.''
Hans melangkah ke meja panjang berukuran besar, di sampingnya ada beberapa peti dan rak yang penuh dengan rempah-rempah dan obat-obatan yang tersusun rapi. Dia duduk bersila di atasnya lalu mulai menumbuk beberapa rempah.
''Anu... Kak Halvir!'' panggil Anindira sambil memegang pergelangan tangannya.
''Hm?'' sahut Halvir menanggapi Anindira.
Lagi-lagi, wajah ramah Halvir menanggapi Anindira menjadi hal yang sangat di perhatikan oleh Hans.
''Kak, apa...'' ucapan Anindira terdengar ragu-ragu, ''D-dia sama sepertimu?'' tanya Anindira berbisik.
''Hm?!'' dahi Halvir mengernyit, dia tidak mengerti pertanyaan Anindira.
''Bi... B-bisa berubah... wujud?" tanya Anindira terbata-bata karena dia ragu-ragu.
Baik Halvir atau pun Hans sama-sama terdiam karena masih berusaha mencerna maksud pertanyaan Anindira.
''Itu... Emh... Bisa berubah... Itu berubah wujud... Menjadi Jaguar?... Sepertimu... ''
Anindira masih terbata-bata karena dia sangat ragu untuk mengatakannya. Tapi rasa penasaran yang sudah sejak lama mengganggunya membuatnya memberanikan diri untuk bertanya.
''Tentu saja aku bisa!'' seru Hans langsung menjawab, Anindira terkejut karena dia masih belum terbiasa dengan pendengaran tajam para Manusia Buas, ''Tapi aku bukan Jaguar, aku dari Klan Singa.''
''Hei!'' panggil Halvir dengan nada ketus, ''Apa dia bertanya padamu?!''
''Kau tidak segera menjawab pertanyaannya... aku mendengar pertanyaannya... kalian ada di rumahku... apa yang salah?!''
''Maaf, maafkan aku... aku tidak bermaksud untuk tidak sopan. Maafkan aku kalau aku menyinggungmu, Tuan.''
''Hans, aku Hans. Jangan kau pikirkan itu! Aku sama sekali tidak tersinggung...''
''Terima kasih, Kak Hans...''
''Sama-sama. Anindira, itu namamu?!''
Anindira mengangguk sambil tersenyum karena merasakan keramahan Hans yang tulus tersenyum. Meski ketulusan Hans, sebetulnya di tujukan untuk Halvir, bukan Anindira. Bagi Hans ramah tamah pada orang lain meski itu wanita sekali pun, hanya sebuah formalitas norma etika saja.
''Kalian hebat!'' seru Anindira yang merasa tidak enak dengan Halvir yang seolah tampak ketus pada Hans, ''Apa semua orang disini bisa berubah?''
''Apanya yang hebat?!'' tanya Hans heran dengan reaksi Anindira, ''Semua bisa melakukannya, memang kau tidak pernah melihatnya?''
Anindira menggelengkan kepala memperlihatkan wajah polosnya yang dengan jujur mengatakan kalau dia tidak tahu apa punj tentang hal seperti itu.
Hans sekali lagi di buat heran, dia melirik Halvir dengan sorot mata bertanya ''apa kau tahu tentang itu?'' dan Halvir menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan tidak terucap Hans.
''Bagaimana bisa kau tidak mengetahuinya?!''
''Aku memang tidak tahu. Aku hanya manusia biasa, aku tidak bisa berubah wujud seperti itu...''
Sekali lagi, ucapan Anindira barusan membuat mereka berdua saling pandang dengan wajah aneh.
''Anindira, tentu saja kau tidak bisa. Kau itu wanita...'' ujar Halvir sambil menepuk kepala lembut kepala Anindira.
Hans juga jadi terkekeh geli karena ucapan Anindira barusan.
''Anindira, apa kau pernah kehilangan pasangan?'' tanya Hans dengan lugasnya.
''Hans!'' panggil Halvir mememkik kesal menegurnya.
''Maaf Halvir, tapi kurasa kita harus mengerti dengan lebih jelas tentang masalah ini. Aku yakin hal ini juga mengganggumu...''
''Kalian berdua, tenanglah!'' seru Anindira yang bisa merasakan ketegangan di antara Halvir dan Hans, ''Maaf, Kak Hans. Aku kurang mengerti maksudmu...'' ujar Anindira setelah dengan tegas melerai mereka berdua. Ucapan Hans mengusik rasa penasaran Anindira apa lagi dengan jelas Hans mengatakan sesuatu yang berkaitan dengannya.
''Pasangan...?!'' jawab Hans yang juga bingung bagaimana menjelaskannya.
Anindira mengernyitkan dahi menyimak ucapan Hans. Dia tahu kata ''pasangan'' yang diucapkan Hans tapi entah kenapa dia merasa aneh. Karenanya dia tidak langsung menjawab karena masih bingung.
''Apa kaitannya denganku? Kehilangan pasangan... sepertinya tidak kalau itu seperti yang aku pikirkan. Karena aku tidak pernah punya, jadi tentu saja aku tidak kehilangan.''
''Anindira, seorang wanita yang belum pernah punya pasangan. Jati diri ayah pasti akan ada padanya. Kami para pria bisa mencium aromanya dengan sangat jelas. Aroma dari jati diri ayah, akan memudar ketika wanita berpasangan. Meski kalian para wanita berpasangan dengan pria dari Klan yang sama, aroma jati diri ayah dengan aroma pasangan tetap bisa dibedakan. Hal itu adalah pengetahuan yang umum di ketahui. Lalu, bagaimana bisa kau tidak tahu apa-apa tentang hal itu?!''
''Hans!''
''Ayolah Halvir, seperti apa pun diriku. Kau tahu kalau aku tidak bermaksud buruk dalam hal ini...''
''Aku tahu, karena itu aku berani membawanya kemari. Karena aku tahu kau bisa mempercayaimu...''
''Terima kasih... Kau sudah mendengar itu Anindira. Halvir mempercayaiku...''