Pertemuan

1050 Kata
Rasa takut terus menghantui Anindira, tapi, pada akhirnya dia menyadarkan dirinya sendiri bahwa ketakutan itu harus dilawan atau kalau tidak, dia akan terus terjebak di situ. Pada akhirnya keberanian, walau hanya sedikit kembali mendatanginya. Kakinya kembali mendapatkan pijakan, walau ketidaktahuan membuatnya berjalan bolak-balik. Otaknya sibuk berdebat, antara perasaan takut di hatinya dan fakta bahwa ada air di depan sana, yang bisa jadi kemungkinan bahwa akan ada pemukiman penduduk atau kalaupun tidak ada, dia bisa menyusurinya mencari jalan lain. Setidaknya, dia harus menemukan minimal satu saja petunjuk yang bisa menuntunnya untuk mencari bantuan. Semakin merinding Anindira dibuatnya, hutan di depanya terasa sunyi senyap. Padahal matahari masih terlihat menyala terang, {ini adalah musim panas di dunia tempat Anindira berpijak sekarang} tapi hutan itu terasa gelap penuh kesuraman. ''Apa ini? Kenapa tampak seperti hutan angker di depan sana?'' ''Tunggu Dira! Hentikan pikiran konyolmu itu!'' ''Ayolah, jangan menakuti dirimu sendiri!'' Anindira terus berseru dan bergumam dalam kecemasan di dalam hatinya. Perasaan horor yang membuat bulu kuduknya berdiri, terus menyelimuti pikiran Anindira. Dia memang gadis tomboy yang tangguh dan pemberani, tapi, bukan berarti dia tanpa kelemahan. Anindira tetaplah gadis remaja yang masih sangat belia. Usianya pun, baru menginjak 16 tahun. Anindira tidur dengan lampu mati, tapi, itu di kamarnya. Tempat yang dia tahu dengan jelas kalau dia akan aman dan nyaman. Ketika dia di kampung atau di hutan belantara. Anindira tidak akan mau berjalan sendirian tanpa ditemani keluarganya, jika hari sudah gelap. Dia tidak membenci kegelapan, tapi, dia takut pada suasana suram di tempat asing dan tidak dikenal. Apa lagi tempat berbahaya seperti hutan belantara. Hal itu wajar terjadi pada gadis pemberani sepertinya sekali pun. Karena dalam keadaan gelap Anindira tidak bisa melihat dengan jelas walau ada cahaya temaram dari senter. Hal itu akan terus membuatnya waspada dan membuatnya tidak nyaman pada akhirnya. Karena dia tidak akan bisa mewaspadai apapun yang ada di sekitarnya mengakibatkan perasaan terancam. Hal itulah yang tidak disukai oleh Anindira. Sebagai seorang gadis muda, dia punya selera tidak biasa. Anindira sangat menyukai film horor dengan tema mencekam, dia sangat tidak suka film dengan alur mellow. Tapi, itu di televisi atau pun bioskop. Seseram apa pun, dia tahu kalau itu hanyalah rekayasa. Lain halnya di kehidupan nyata seperti ini, sesungguhnya Anindira itu penakut, sangat penakut, super penakut. Tapi, dia sangat suka hal yang menantang seperti naik Roller coaster bahkan Bungee jumping pun dia berani mainkan. Anindira dan ketiga kakak laki-lakinya juga sangat menyukai kegiatan panjat tebing yang menantang adrenalin di ketinggian. ** Saat ini di dalam otaknya tengah terjadi perdebatan seru, saraf takutnya dengan tegas mengatakan ... ''Jangan pergi ke sana!'' ''Itu menakutkan'' ''Itu suram dan gelap kau tidak tahu apa yang sedang menantimu di sana?!'' Tapi, salah satu sifat petualangnya menentang keras hal itu. Anindira bingung memikirkan antara naluri di hatinya dan logika di otaknya, keduanya beradu argumen di dalam kepalanya, tapi jiwa petualangnya akhirnya memenangkan perdebatan keras di dalam pikirannya. ''Tahu apa? Kalau bahkan tidak dicoba?! Jangan jadi penakut! Pengalaman adalah guru terbaik untuk mengajarimu...'' ''Sudah jelas petunjuk adanya air di depan sana, kenapa harus menyusahkan diri dengan sesuatu yang bahkan tidak jelas apa itu?!'' ''Come on Dira be brave! Don't be a spoiled child…'' seru Anindira memekik pada dirinya sendiri di dalam hati. Anindira masih berusaha menyemangati hatinya agar tidak putus harapan. Anindira harus memutuskan apa yang akan dilakukannya? Tapi, akhirnya dia telah membuat keputusannya. Dia lebih memilih yang menurutnya lebih jelas menurut logikanya. Kemungkinan besar akan ada air di depan sana, sedangkan jika dia berbalik ke belakang, belum tentu dia akan segera menemukan sesuatu. Entah sudah berapa lama dia berjalan sejak tadi? Sudah banyak waktu terbuang sejak dia tiba di hutan itu. Hari pun akan semakin gelap karena akan segera berganti menjadi malam mencekam. Saat itu terjadi, dia akan buta tanpa adanya penerangan, dia akan jadi target mudah predator penguasa kegelapan malam. "Maju kena... Mundur juga nggak jelas!" seru Anindira, "Maju terus pantang mundur!" seru Anindira lagi, dia masih tidak putus harapan menyemangati dirinya sendiri Beberapa menit dia berjalan dengan langkah stabil dari tempatnya mondar-mandir seperti setrikaan tadi. Ternyata memang betul naluri yang menuntunnya, memang ada sungai di situ. Sungai yang sangat besar dan berarus deras dengan suara deru aliran arusnya yang nyaring terdengar, membuat pekatnya hutan suram memiliki alunan melodi suara yang konsisten. Sungai yang teramat lebar dan dalam, bahkan sebuah kapal besar bisa dengan mudah berjalan di atasnya. Tapi, karena pandangan Anindira terhalang kabut, matanya tidak bisa menjangkau hal yang mengerikan dan berbahaya di seberang sungai itu. Suhu di tempat itu luar biasa dingin, berbeda dengan tempat sebelumnya, suhu dingin di sini terasa menusuk sampai ke tulang-tulang Anindira. Terasa sangat menyakitkan, giginya terus saja bergemeretak, dia menggigil kedinginan. Anindira mulai kesulitan bernafas, tubuhnya sulit beradaptasi, terbiasa dengan suhu tropis di negaranya yang panas. Masih sekitar tiga puluh sampai lima puluh meter lagi jaraknya dengan sungai, tiba-tiba Anindira dikejutkan oleh suara seseorang dari arah belakangnya. "BERHENTI!'' seru seorang pria. Suaranya terdengar tidak sedang berteriak, tapi terasa seperti memekik dengan tajam kepadanya. "Kau akan mati jika terus maju. Sebaiknya kau kembali ke tempat dari mana kau datang sebelumnya..." ujarnya melanjutkannya lagi. Anindira terkejut sekaligus gembira, d**a yang tadi terasa sesak sekarang seperti mengembang, hatinya serasa ingin melompat-lompat saking bahagianya. ''Suara orang!'' Seru Anindira memekik di dalam hati sambil menengok ke belakang, bersiap lari hendak menghampirinya. "Tuan, tolong aku...'' panggil Anindira pada sosok pria di belakangnya. ''AH! HAH..." seru Anindira terkejut, kaki yang sudah siap berlari kapan saja langsung membeku, mulutnya menganga dan matanya terbelalak kaget. Dia merasa ngeri dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang. Sebetulnya tidak ada yang aneh dengan apa yang dilihat Anindira. Dia melihat sosok seorang pemuda gagah dengan tinggi nyaris dua meter. Berambut hitam, lurus, panjang sampai sedikit di bawah bahunya. Kakinya panjang, seimbang dengan badan besarnya yang berotot bak binaraga. Wajahnya tak terlihat, karena dia lebih tinggi dari Anindira dan juga ada kabut tipis yang menghalangi pandangan mata, hingga hanya terlihat siluetnya saja. Tapi, yang membuat Anindira lebih kaget adalah aura yang dikeluarkan pemuda itu. Ada semacam aura kuat yang mengelilinginya, memberi pesan seolah kita melihat benteng besar nan kokoh dengan senjata siap meluncur kapan pun jika ada yang mengganggu ketenangan benteng ini. Bertambah sangar pemandangan sosok pemuda asing di hadapan Anindira, karena tubuh bagian atasnya yang tidak tertutup pakaian, memperlihatkan d**a bidang dan perut eight-packnya yang berhias bekas-bekas luka malang melintang di sana-sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN