004 Percakapan pertama
DEG DEG DEG
Degup jantung Anindira berpacu merasakan kecemasan hingga membuatnya diam terpaku sambil terus melihat ke arah tangan pemuda di hadapannya.
''Bisakah... aku mempercayainya?'' tanya Anindira di dalam hatinya, ''Haruskah aku mengikutinya?''
''Wanita!'' panggil pria itu dengan nada datar, ''Aku mendengar suara jantungmu dengan sangat jelas... aku tahu kau takut tapi kurasa kau tak punya pilihan selain mengikutiku sekarang!''
SREK
Anindira bingung tapi kewaspadaannya membuatnya tidak bisa menerima uluran tangan pemuda itu begitu saja.
Dahi pemuda itu mengernyit manakala dia melihat Anindira justru mundur memperlihatkan penolakannya atas bantuan yang di tawarkan oleh pemuda itu.
ROARRRR
Baru saja kaki Anindira hendak mundur lagi selangkah, dia dikejutkan oleh suara aneh yang terdengar seperti sebuah raungan. Segera setelahnya, tiba-tiba raungan itu bergema saling bersahut-sahutan seolah memberitahu kalau di belakang Anindira akan ada suasana yang lebih mencekam dari sekarang.
BRAK DRAG BRUK
Kali ini suara raungan beriringan dengan suara menggelegar yang memekakkan telinga. Bahkan tanah tempat Anindira berpijak seolah terasa seperti bergetar.
Tubuh Anindira gemetar, ingin rasanya dia menjerit ketakutan, tapi suaranya seperti tertahan di kerongkongan tidak bisa keluar.
Anindira menahan sebak di dadanya menahan rasa ngeri luar biasa. Mendengar suara entah makhluk apa atau apa yang terjadi di dalam hutan di belakangnya. Hal-hal yang tak diketahuinya itu terasa sangat menakutkan, hingga membuat Anindira memikirkan semua itu, beberapa hal terlintas di benaknya.
''Apa itu barusan... bukan hanya satu... ada beragam hal di belakang yang aku tidak tahu apa... Tapi, yang jelas aku tahu saat ini. Tidak peduli bagaimana tampilannya... makhluk di hadapanku jelas adalah manusia. Setidaknya, yang satu ini bisa di ajak diskusi meski aku tidak mengerti apa yang di katakan olehnya sejak tadi...''
Baik logika atau nalurinya kompak mengatakan hal yang sama di dalam hatinya saat itu. Antara menenangkan dirinya dari ketakutan yang amat sangat yang sedang mendera dadanya. Tapi, juga menahan perasaan ngeri dari sosok pemuda asing di hadapannya yang tidak kalah membuatnya tegang sampai kakinya terasa kaku tidak bisa bergerak melangkah.
"Bagiku dia mirip seperti grim reaper, tapi setidaknya aku dan dia bisa saling berkomunikasi. Minimal itu dulu, lainnya terserah, lihat bagaimana nanti saja!" seru Anindira di dalam hatinya, tiba-tiba kakinya serasa dapat tenaga baru, melangkah maju.
Anindira segera memegang tangan pria di hadapannya yang kekar berotot berlindung di belakangnya.
"Tuan!'' panggil Anindira, ''Tolong..." ujar Anindira dengan nada memelas.
Pemuda itu sempat tersentak kaget ketika Anindira ketika merengkuh tangannya dan menggenggamnya dengan sangat erat. Tapi sesaat kemudian akhirnya pemuda itu membungkukkan tubuhnya, setengah berlutut di hadapan Anindira.
Pemuda itu melihat ekspresi Anindira dengan wajahnya yang tampak pucat. Matanya memelas, mirip mata anak kucing yang dibuang di jalan yang sedang minta dipungut.
Salah satu tangan pemuda itu mengusap lembut kedua tangan Anindira yang sedang memegang erat jari-jarinya. Anindira bisa dengan jelas merasakan betapa kasar permukaan telapak tangan pemuda yang seperti amplas memegang punggung Anindira. Tapi, hati Anindira merasa kalau tangan besar yang sedang membelai punggung tangannya terasa tulus.
Pemuda itu bangun dan dengan lembut menggandeng tangan Anindira menuntunnya melangkah pergi dari tempat yang pemuda itu tahu akan sangat berbahaya bagi Anindira.
''Kurasa, kau sudah cukup tenang sekarang...'' ujar pemuda itu setelah beberapa waktu mereka berjalan beriringan sambil terus bergandengan tangan.
Anindira hanya bisa melihat ke arah pemuda itu dengan bingung. Dia dengan jelas mendengar pemuda itu bicara tapi tiodak mengerti dengan apa yang dikatakannya.
Akhirnya pemuda itu menghentikan langkahnya karena dia tahu kalau Anindira sedang melihat kearahnya tapi tidak menjawab ucapannya, sejak awal pertemuan mereka tadi.
''Siapa namamu?'' tanya pemuda itu, ''Dari desa mana kau berasal?'' tanya pemuda itu lagi dengan wajah datar sorot matanya tajam mel;ihat ke arah Anindira meski terkesan seperti menghindari bertemu mata dengan Anindira, ''Aku akan mengantarmu ke sana...''
Anindira masih tidak mengerti dengan apa yang di katakan pemuda itu tapi pemuda yang menghindari kontak mata dengannya itu bisa dirasakan Anindira dengan sangat jelas.
Anindira masih takut kepada pemuda itu tapi gelagat pemuda itu yang menghindari kontak mata dengan Anindira justru membuatnya penasaran.
''Ada apa dengannya?'' tanya Anindira di dalam hati, ''Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya tapi kenapa dia selalu mengalihkan pandangan matanya? Ayolah, kelakuan itu tidak sopan dilakukan saat bicara dengan orang lain!''
Meski pemuda itu menghindari kontak mata dengan Anindira tapi dia bisa merasakan kalau Anindira sedang menilainya sekarang.
''Aku bertanya padamu,'' ujar pemuda itu masih dengan nada datarnya, ''Bisakah kau menjawab agar kita terlalu lama membuang waktu.''
Seperti bagaimana sebelumnya, Anindira masih melihat pemuda itu dengan ekspresi bingung. Meski begitu, sorot mata Anindira tajam menyelidik gestur pemuda di hadapannya.
"A-anu... Maaf tuan, aku... aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan?" tanya Anindira pada pemuda itu.
''Apa yang kau katakan?'' tanya pemuda itu.
Kali ini pemuda itu yang terkejut. Ini adalah pertama kali Anindira memberikan respon secara gamblang dari beberapa kali pemuda itu mencoba bicara padanya.
Anindira memiringkan sedikit kepalanya, merespon pertanyaan pemuda itu dengan ekspresi bingung.
"Kau... dari mana asalmu, aku sama sekali tidak mengerti ucapanmu?!'' tanya pemuda itu sambil memiringkan kepalanya memperhatikan Anindira, ''Bukan hanya aku... tapi kau juga tidak mengerti dengan apa yang aku katakan bukan?!"
Anindira masih memberikan respon yang sama. Bingung tapi tetap waspada memperhatikan pemuda di hadapannya.
''Tuan, aku sama sekali tidak tahu apa yang kau katakan... tapi, aku menbak kau sama bingungnya denganku sekarang.''
Keduanya saling menatap, pemuda yang sejak tadi selalu mengalihkan pandangannya. Dia lengah, karena penasaran dia menatap Anindira, melihat langsung ke dalam bola mata hitam Anindira yang jeli.
Di saat yang sama, Anindira juga terpaku melihat betapa indahnya bola mata unik berwarna biru safir yang indah berkelip meski suasana saat ini redup karena telah senja.
DEGGG
Tiba-tiba saja pemuda itu terhenyak, jelas terlihat kalau dia terkesiap bahkan oleh Anindira.
''Gawat!!!'' pekik pemuda itu di dalam hati, ''Bodohnya aku. Aku lengah!''
Di saat yang bersamaan, Anindira memegang dadanya. Dia merasakan seperti ada sesuatu yang tiba-tiba masuk ke dalam relung sanubarinya tapi tidak tahu apa.
Lain halnya dengan Anindira. Pemuda di hadapanhya tahu betul apa yang terjadi. Apa lagi melihat respon Anindira, meski tidak yakin tapi bisa menebak kalau gadis belia di hadapannya juga merasakan hal yang sama dengannya.
''Wanita, apa kau tahu pa yang baru saja kau lakukan padaku?'' tanya pemuda itu tegas, ''Aku seorang safir, aku tidak akan melepaskanmu!''
Anindira masih tidak mengerti dengan ucapan pemuda di hadapannya tapi kesan yang ditunjukkan pemuda itu paxda Anindira kali ini berbeda dengan bagaimana saat dia bicara sebelumnya. Anindira tidak memahami apa yang terjadi tapi dia merasakan kalau pemuda itu memberikan peringatan kepadanya. Dan, entahh kenapa Anindira tidak merasa kalau dia tidak menyukai peringatan dari pemuda itu.
''Kakimu terluka, sebaiknya aku menggendongmu!'' seru pemuda itu lalu segera mengangkat tubuh mungil Anindira, ''Malam akan segera datang, kita harus cepat!''
"Ahh!... Tu-tuan apa yang kau lakukan?!" seru Anindira panik.
Anindira bertanya dengan wajah cemas karena terkejut, dan juga merasa risi.
"Tuan... tolong turunkan aku!" seru Anindira terus meronta-ronta di gendongannya, tapi pemuda itu tidak mendengarnya dan terus saja berjalan, mengacuhkannya.
*****