Bab 7

1187 Kata
“Ngapain kamu di sini?” Terdengar suara ngebas di belakang punggungku. Segera aku menoleh tersenyum menyambut kedatangan seorang teman SMA—ku yang sudah lama tidak bertemu. “Bayu.” “Azka.” Berpelukan hingga menepuk punggung masing-masing mengakhiri pelukan singkat itu. “Gimana, sehat? Lama banget kita gak ketemu.” Bayu memindai seluruh tubuhku. “Seperti yang kamu lihat. Kamu sendiri gimana? Kenapa tiba-tiba bisa muncul di sini?” Sedikit rasa penasaran membuatku bertanya padanya. “Biasalah, lagi patroli. Aku sekarang sudah jadi Pak RT di sini.” Dia terkekeh, lantas aku terkejut hingga tertawa kikuk. “Kamu sendiri ngapain di sini? Matanya tadi lihat rumah janda muda satu anak itu terus. Jangan bilang naksir?” Aku mengulum senyum menggeleng kepala. Berharap si mulut ember ini tidak mencurigai. “Aku sudah punya istri.” “Bro.” Dia merangkul pundakku, melangkah pergi. “Janda muda ini bukan janda kaleng-kaleng. Dia sangat cantik meskipun tanpa dandanan. Aku saja jatuh cinta sama dia. Andai biniku kasih izin nikah lagi, sudah kulamar dia.” Seketika senyum luntur di bibirku. Rona bahagia bertemu dengan teman lama hilang sudah. Bayu menargetkan Iza. Jika Bayu seorang RT, pasti punya banyak cara untuk saling bertemu. Andai dia bisa membujuk istrinya untuk poligami, artinya Iza akan menjadi istrinya dan anakku akan menjadi anaknya. Oh tidak, aku sama sekali tidak bisa membiarkan ini semua terjadi. * POV AUTHOR Sudah beberapa hari sejak pertemuan yang tak disengaja itu membuat Iza harus dihantui terus dengan Azka. Seorang pria yang sudah membuatnya jatuh cinta sekaligus sakit yang berbarengan. Lima tahun berlalu, rasa sakit yang sudah dicoba kubur masih saja bangkit dan mendera. Ditambah dengan rasa was-was andai dia mengetahui anaknya masih hidup. “Iza, ini ada titipan untukmu.” Iza terkejut melihat setumpuk uang yang dikasih padanya. Pecahan seratus dan lima puluh ribu. Tak tahu jumlahnya berapa tapi itu cukup banyak bagi mereka yang mengumpulkan satu juta setengah perbulan. “Ini dari siapa?” “Om gantengnya Puput.” Nini tersenyum menoleh ke arah Puput yang tengah menyisir rambut barbie. Lantas Iza tercengang. “Om ganteng? Om ganteng yang mana?” Ada rasa cemas, bingung, dan kaget. Iza benar-benar ingin mengetahui siapa yang memberikan uang begitu banyak padanya. “Pria itu yang selalu menemani Puput sebelum Ibu jemput. Dia cukup baik, bahkan Puput sangat senang bersama dengannya. Besok kalau Ibu bertemu lagi dengannya, Ibu akan tanyakan sudah punya istri atau belum. Kalau belum mungkin rezeki Puput punya ayah baru.” Nini berbicara panjang lebar dan pada akhirnya terkekeh menggoda Iza yang memijat pelipis menggelengkan kepala. “Iza sama sekali gak kenal sama pria itu. Jadi Ibu tolong kembalikan uang ini!” Iza menyerahkan kembali uang ke tangan Nini. Dia tidak ingin menerima belas kasih dari orang lain. Apapun yang terjadi tetap akan berusaha bangkit dan memberikan yang terbaik untuk anaknya. Sudah cukup air mata yang dia keluarkan untuk menangisi perbuatan keji Azka yang telah mencampakkannya di saat hamil. Luntang lantung di jalan, pindah dari satu tempat ke tempat lainnya karena dianggap aib—hamil di luar nikah. Padahal saat itu Iza sudah resmi bercerai, hanya saja akta cerai tak ada di tangannya sehingga tak dapat membuktikan bahwa dia sudah menjadi janda. Hanya di sini, Iza diterima dengan tulus, mereka berbelas kasih pada wanita yang berumur 20 tahun mengandung tanpa ada yang mendampingi. “Sebaiknya kamu simpan saja! Kalau dia datang ke sini baru kamu kembalikan.” Nini tak segan menolak karena tak mungkin dia mengembalikan uang itu. Iza menatap uang di tangannya dengan lekat lalu membawanya ke kamar. Menyimpan di tempat yang aman. Dia masih menerka-nerka siapa yang menyerahkan uang itu padanya. Sungguh ini sebuah misteri. “Aku harus tanyakan sama Puput.” Iza mengambil keputusan untuk menanyakan pada putri semata wayangnya. “Puput, Nini ke mana?” Iza hanya melihat Puput sendirian duduk di karpet, bermain dengan mainan lusuhnya. Hanya barbie yang paling bagus. “Udah keluar.” Iza paham apa yang dikatakan anaknya. Puput mengatakan Nini sudah pulang. Gadis kecil itu memang selalu saja salah dalam penempatan kata. “Puput, Bunda mau tanya, om ganteng itu siapa sih?” “Om ganteng itu yang beliin boneka balbi ini.” Puput menunjukkan boneka di tangannya. Iza mengerut kening, bertanya-tanya seberapa dekat anaknya dengan pria misterius itu. “Tadi Puput kasih nasi goleng. Ngomongnya enak. Telus ingat sama seseolah.” Iza terus menyimak ucapan Puput, seraya menerka-nerka orang yang sedang diceritakan itu. “Bunda, Puput mau punya ayah kaya om ganteng. Boleh ya!” Seketika Iza terpaku mendengar permintaan anaknya. Seorang ayah. Dari sejak awal Iza sudah memberi pemahaman ayahnya sudah tiada. Meskipun kerap menangis ketika pulang sekolah karena teman-temannya mengejek sebagai anak ayam yang lahir dari telur, tapi sebisa mungkin Iza menenangkan. Lantas sekarang, Puput memohon padanya untuk memberikan seorang ayah. Kepala Iza berdenyut, bayang-bayang Azka saat beberapa kali bertemu dengannya melintasi di kepala. Mantan suami yang mengejar hanya untuk mendapatkan anak yang sudah dibuang 5 tahun yang lalu. Tanpa sadar, air mata menguap begitu cepat dan jatuh di pipi putih bersih itu. Rasanya masih saja sangat sakit, Iza rela melepaskan semuanya demi menebus kesalahan karena sahabatnya meninggal, tapi apa yang terjadi? Beasiswa di perguruan tinggi dicabut saat tau dia sudah menikah. Masuk ke dalam keluarga kaya ternyata tak membuatnya bahagia, berbulan-bulan dia harus melewati dengan sikap dingin suaminya, kadang marah melampiaskan kesalahan padanya. Tapi tak membuat Iza patah semangat, dia terus berjuang menembus dinding keacuhan suaminya hingga cinta itu hadir. Hanya 6 bulan Iza dapat merasakan dilindungi dan diprioritaskan setelah itu dia dihempaskan begitu saja. Kabar kehamilan tak membuat Azka bertahan, pria itu lebih memilih kekasihnya daripada wanita yang sudah berusaha keras untuk duduk di sampingnya, melepaskan semuanya demi dia. Bahkan rela memutuskan pacar yang sudah berencana menikah kelak hanya demi pria yang pada akhirnya membuatnya jatuh tak berdaya. Iza tak tau harus bersandar di mana. Orangtuanya telah lama meninggal, sehingga dia dirawat di panti asuhan. Kini panti asuhan itu sudah tidak ada sehingga Iza tak tau arah jalan pulang. Kedinginan selalu menyelimuti hari-harinya, bahkan rasa sakit yang dirasa saat perutnya kinian membesar tak dapat di keluh. “Om Yuda.” Suara teriakan Puput membuat Iza tersentak. Segera menyeka wajahnya lalu tersenyum menyambut kedatangan tamu yang sudah lama tak berkunjung. “Ini oleh-oleh untuk Puput. Ada donat dan boneka.” Yuda menunduk menyerahkan dua kantong plastik pada Puput, lalu menoleh pada Iza yang sudah diketahui baru saja habis menangis. “Yeee … makasih, Om Yuda,” teriak Puput kegirangan. Dia langsung membawa masuk oleh-oleh yang didapat. Sementara Iza masih berhadap-hadapan dengan Yuda. Tersenyum menyembunyikan kesedihannya. “Sudah lima tahun berlalu, masih saja nangis.” “Kelilipan.” Dustanya terkekeh. Berjalan keluar lalu duduk di kursi yang ada di teras. “Aku akan coba percaya itu meskipun kamu berbohong.” “Iya ya ya, kamu memang paling tau tentangku. Oh ya, tumben pulang. Ada apa? Rindu mama?” Yuda menganggukkan kepala. “Aku sekarang sudah dipindah ke polda Bandung, gak lagi di Semarang.” “Alhamdulillah semakin dekat dengan tante Ina dan semakin cepat kamu dikawini,” kekeh Iza menggodanya. Yuda tersipu mengangguk pelan, sementara tak jauh dari sana seseorang sudah mengepal tangan dan menggertakkan gigi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN