"Kamu tuh gak ada kerjaan ya? Ngintilin cewek mulu."
Caitlyn itu tipe cewek yang blak-blakan dan juga judes. Ya ia bersikap begitu juga karena tak suka pada Arya sih. Hahahaa. Sebenarnya mau pada lelaki manapun, sikapnya sama. Intinya ia memang tak punya niatan untuk menikah. Ya kan tahu sendiri bagaimana latar belakang keluarganya yang menurutnya tidak bagus untuk dialami. Tidak bagus untuk diingat juga sih. Apalagi hanya hal buruk yang ia ingat. Walau setidaknya, ia menjadi punya saudara. Meski tidak sedarah.
"Ya ngejar jodoh juga prioritas dong, Cait. Kerjaan juga penting. Tapi jodoh juga harus."
"Jadi maksud kamu, kamu nganggap aku ini jodoh kamu gitu?"
"Ya kan namanya juga usaha."
Arya memang terus menempelinya. Hahaha. Bahkan sekalipun berada di dalam pesawat. Ada saja caranya untuk mempengaruhi pramugari agar mau membiarkannya duduk di sini. Ya tadi bertukar tempat memang.
Omong-omong, ia memang tipe cowok yang agak ngeyel sih. Hahaha. Kalau dibilang playboy? Wah mungkin ia memang suka sama beberapa perempuan tapi tidak dalam waktu yang sama ya. Bukan seperti Ferril. Tapi kalau untuk perempuan.....heumm....jika dibandingkan dengan Ardan ya berbeda juga sih. Hahaha. Karena kalau ia, masih ada beberapa cewek yang mau meski terkadang ya ia juga tak bisa menyeleksi yang mana yabg benar-benar tulus. Ini yang membuatnya terkadang ditipu. Tapi ada juga beberapa perempuan yang benar-benar sayang padanya. Hanya saja ada saja hal yang membuat hubungannya kandas. Entah ketidakrestuan kedua orangtuanya lah. Entah ada sesuatu hal yang perempuan itu buat dan bagi Arya sangat fatal. Misalnya? Salah satu mantannya dulu pernah ketahuan tidur dengan seorang lelaki. Ya ia syok lah. Lalu ada juga yang gagal gara-gara kan keluarganya memang Jawa banget ya. Jadi ada semacam pantangan lah yang membuat keliarganya melarang jika ia menikah dengan perempua itu. Ya berhubung ia adalah anak yang sangat patuh, ia manut saja. Kalau disuruh putus ya langsung diputuskan. Kalau urusannya sudah keluarga, ia sudah tak bisa apa-apa. Karena yang ia tahu juga untuk kebaikannya. Lalu bagaimana dengan perempuan ini?
Ia sudah mencoba mencari banyak informasi tentangnya dulu dengan bantuan Ferril. Lalu memberikan informasi itu pada mamanya dan neneknya untuk dijadikan pertimbangan. Ya sampai melibatkan penilaian dari sukunya terutama dari tetua. Begitu oke, ia baru berani mendekati. Karena gak mau mengulang kesalahan yang sama. Nanti susah memutuskannya karena sudsh terlanjur sayang. Iya kan?
Arya meliriknya karena tak ada lagi ucapan darinya. Caitlyn memilih sibuk dengan majalah yang disediakan oleh pihak pesawat. Ya dari pada meladeni Arya yang menurutnya tak penting dan hanya membuang-buang waktu. Hahaha.
"Jennie bilang kalo kamu gak tertarik sama cowok, boleh nanya gak?"
"Enggak."
Hahahaha. Arya menggaruk tengkuknya. Harusnya ia tak perlu meminta persetujuan begitu. Hahaha. Walau ya namanya juga Arya. Kan orangnya agak-agak bebal dan ngototan. Ia nekat saja tuh mendekati telinga Caitlyn lalu membisikan sesuatu. Apa yang ia bisikkan?
"Kamu bukan lesbi kan?"
Ia hanya memastikan. Hahahaha. Tapi malah mendapatkan sebuah tamparan dari Caitlyn. Hahahaha. Hal yang membuatnya menjadi pusat perhatian seketika.
Ia kan cuma nanya ya? Di mana salahnya coba? Hahahaha.
@@@
"Lo mau pergi?"
"Iya, bang. Mau nongkrong bentar sih abis itu ada kepentingan lah."
"Dia masih di apartemen lo?"
Ia mengangguk. Keduanya berjalan masuk ke apartemen. Aidan memang menunggu suami kakak sepupunya ini di lobi tadi. Ia sampai menyusul loh meski baru bisa sepagi ini. Ya namanya juga orang sibuk ya? Pekerjaannya banyak. Mencari uang harus tetap jalan karena si tukang menghabiskan uangnya harus tetap hidup. Hahahaha.
"Nanti pintu apartemennya ditutup aja, bang. Itu udah otomatis terkunci kok."
Ia hanya ingin memberitahu itu. Si suami kakak sepupunya ini mengangguk. Aidan memimpin jalan menuju apartemennya. Tiba di depan apartemennya, ia membuka pintunya lebih dulu lalu mengintip ke dalam. Tentu saja mencari keberadaan kakak sepupunya. Apakah ketemu?
Ya. Ia mendengar suara air di dalam kamar mandi. Kakak sepupunya mandi. Jadi Aidan meninggalkan lelaki itu di situ. Ya terserah lah kalau setelah ini mau terjadi peperangan di apartemennya. Ia sudah berserah diri kepada Allah. Nanti kalau ada yang pecah atau hancur, ia akan kirim tagihannya pada suami kakak sepupunya ini. Hahahaha.
Ia kabur dan bertemu Niko di depan lift. Niko, salah satu tetangga apartemennya juga, yang tentunya satu kampus dengannya.
"Ke mana lo?"
"Biasa lah. Nongkrong bentar."
"Di kafe lo?"
Aidan mengangguk. Teman-teman satu gengnya akan ke sana. Niko mengangguk-angguk.
"Lo kumpul juga?"
"Ya biasa lah. Sama Peter dan yang lain."
Tentu saja Aidan tahu kalau Niko ini adalah teman SMA-nya Niko.
"Lo gak ada niatan buat ngejar Nayla lagi, Dan?"
Ia malah ditanya begitu saat masuk ke dalam lift.
"Lo mau lihat gue dipermaluin lagi kayak waktu itu?"
Niko terkekeh. Bukan begitu. Ia hanya merasa kalau akan lebih baik jika Nayla bersama Aidan dibandingkan dengan teman dekatnya sendiri sejak SMA. Ia tahu persis Peter seperti apa. Walau dulu juga ia sudah pernah memperingatkan Nayla soal ini sih. Tapi apa kata Nayla?
"Semua orang bisa berubah, Nik. Aku yakin kok kalo Niko kurang baik sekarang, nantinya akan menjadi lebih baik. Asal ketemu sama orang yang tepat."
Bagi Niko, kata-kata itu sangat klise. Ya lihat saja bagaimana tak nyamannya Nayla sekarang tiap bersama Peter. Ia tentu sangat tahu.
"Ya lo tahu Peter kayak apa. Gue kasihan aja sama dia. Lo gak ada ngehubungi dia?"
Aidan menggelengkan kepala. Sebagai teman mungkin masih bisa. Tapi ia tak yakin kalau Nayla masih mau berteman dengannya. Apapagi Nayla dulu yang terang-terangan mengusirnya. Ia sebagai lelaki kan harus punya harga diri juga. Masa sudah diinjak-injak begitu masih mau balikan sih? Dan lagi, perasaan itu juga dengan perlahan memudar sih. Ia juga sudah bisa menjalankan hidupnya dengan kesendirian seperti sekarang kan? Jadi untuk apa kembali berdua kalau sendiri saja sudah bahagia? Eaaak.
"Peter ngelakuin apa sama dia?"
"Ya kayak orang pacaran lah, Dan."
Dalam artian ya pelukan dan ciuman. Walau ia tahu pasti Peter melakukan lebih dari itu. Ia mengira Aidan juga melakukan hal semacam itu. Karena ya dari penampilannya kan, Aidan memang bukan orang yang agamis. Orang yang sangat lurus di rumah itu ya a'aknya. Ia dan yang lain masuk kategori cowok rata-rata lah. Tapi biar pun pemahamannya mungkin kurang soal agama, ia punya prinsip kok. Kan abi dan umminya yang mengajarkan kalau ada aturan di dalam agama. Meski ia juga belum bisa menerapkannya secara penuh.
"Ya terus lo ngapain ngomong begitu?"
Niko tertawa. Ia hanya berpikir kalau ada pilihan yang lebih baik ya mending memilih Aidan dibandingkan dengan Peter. Dan lagi, sebenarnya Aidan malas berurusan dengan Peter. Ia dulu kan pernah dihajar oleh Peter dan kawan-kawannya. Mau sejago apapun bela dirinya kalau dikeroyok dengan cara picik ya terkapar lah. Lalu? Ya dilarikan ke rumah sakit. Hingga saat ini, ummi dan abinya tka pernah tahu soal kejadian yang sudah berlalu itu. Ia tak mau membuat mereka khawatir. Dan lagi, ia bisa mengurus sendiri kala itu. Dibantu pula kok oleh teman-temannya yang secara bergilir menjaganya. Soal biaya rumah sakit kan, ia punya. Asuransi juga ada. Jadi aman lah.
@@@
Nayla sebetulnya ketakutan. Tapi lagi-lagi ia tak berani mengatakannya pada siapapun. Sore ini sebetulnya sedang berlangsung acara penyambutan anggota BEM baru. Ia sudah datang tapi memilih untuk menyembunyikan diri di dalam sebuah ruangan dari pada bergabung di aula bersama yang lain. Walau ia juga bisa mendengar suara keseruan dari aula itu. Mungkin akan seru kalau ia juga ikut bergabung. Tapi ia tak berminat. Tak ada mood. Mau pulang tapi galau dan takut. Ya lebih tepatnya memang sedang sangat rakut sih.
Peter akan menjemputnya sore nanti begitu selesai acara. Tapi ia tak mau ikut. Ia sudah tahu akan dibawa ke mana. Lelaki itu kalau ada waktu untuknya maka isi otaknya tak akan jauh-jauh dari kemesuman. Ia memeluk kedua kakinya. Hanha bisa menangis dalam diamnya.
Pertama kali kejadian semacam itu menimpanya saat Peter datang ke kosnya. Biasanya ia tak pernah membawa lelaki sampai ke kamar kosnya. Apalagi memang dilarang oleh ibu kos. Namun berhubung penjaganya memang tak ada, ini menjadi kesempatan yang selalu dilanggar oleh para penghuni kos. Ia yang awalnya tak berani akhirnya jadi berani. Dan karena waktu itu sedang bucin-bucinnya, ia tak tahu kalau Peter datang dengan maksud. Karena ya jujur saja, Aidan tak pernah mengajaknya untuk melakukan hal semacam itu. Paling mentok ya hanya berpegangan tangan dengan Aidan. Pelukan? Aidan tak pernah melakukannya. Kalau pun ia yang tak sengaja menyosor duluan, Aidan melepaskannya lalu akan memberitahu kalau akan bahaya jika sampai pelukan. Lelaki itu sudah memberikan batasan sendiri. Namun semua itu tak berlaku ketika ia berpacaran dengan Peter. Semuanya bablas dimulai dari kejadian hari itu yang masih ia ingat sekali. Karena ia memang tak pernah bisa melupakannya. Hal yang sangat ia sesali karena Peter tak pernah bisa lepas dari itu.
"Aku butuh bukti kalo memang kamu bener-bener sayang sama aku."
Hal bodohnya kala itu, ia benar-benar menuruti kemauan Peter. Lalu tentu saja menyesal. Baru berani menangis ketika Peter telah pergi. Ia tak pernah menyangka akan mengalami hal semacam itu. Itu baru kejadian pertama yang akhirnya memang berulang terjadi. Awal mungkin hanya di kosnya lalu sesekali di rumah kontrakan Peter. Sekalipun rumah kontrakan Peter tak sepi, cowok itu tak akan perduli. Akan tetap membawanya masuk ke dalam kamar. Yang tentu saja teman-teman Peter juga sudah tahu apa yang mereka lakukan.
Berkali-kali melakukan, Nayla sempat hilang rasa sih. Hilang rasa takut akan dosa. Ya ia sempat berada di tahap itu setelah mendengar kalau beberapa orang yang ia kenal juga melakukan itu dengan pacarnya. Ia akhirnya menganggap itu normal. Namun semakin lama semakin tak wajar. Karena Peter mulai semakin liar. Maksudnya? Sudah tak melakukannya di tempat tertutup lagi tapi di tempat terbuka. Bahkan mereka pernah melakukannya di bioskop. Mengerikan? Ya.
Nayla pucat pasi dan penuh keringat kala itu. Beberapa kali juga di toilet mall dijam-jam sepi. Ia benar-benar lemas kala itu. Semakin ke sini akhirnya rasa takut yang berusaha ia sangkal dan ia simpan dalam-dalam itu, semakin menggumpal dan mendesak untuk naik ke atas. Apalagi Peter juga semakin gila. Terlebih ketika ia baru tahu kalau cowok itu diam-diam merekam beberapa aksi mereka. Terutama ya yang terjadi di kamar kontrakannya Peter. Yang tentu saja sudah direncanakan oleh Peter. Itu yang membuat Nayla tak bisa lepas darinya. Karena Peter bukan sekedar mengancamnya. Satu video mereka pernah Peter unggah di situ p***o. Meski setelah itu dihapus namun ia tetap histeris. Ia masih trauma sampai sekarang karena yakin kalau Peter pasti berani melakukan hal segila itu.
Menjelang magrib, ia baru berani keluar. Suasana memang sudah agak sepi. Wakau ia masih melihat beberapa orang yang ada di sekitar sini. Ia menghindari keramaian. Ia berjalan mengendap-endap menuju ke tempat parkir untuk apa? Ia tak membawa motor tentunya. Tapi ia berencana untuk berjalan ke arah sana demi melihat keberadaan Peter. Ia sudah mematikan ponselnya untuk berjaga-jaga. Kalau Oeter marah, ia hanya perlu bilang kalau lupa ngecas. Persetan soal ia percaya ayau tidak.
Tapi baru saja berbelok, tahu-tahu ada yang muncul dari depannya secara tiba-tiba. Ia berteriak, mundur beberapa langkah hingga terduduk di lantai.
"Kenapa, Nay?"
Fathur kaget lah. Nayla menarik nafas. Ia sungguh cemas. Ia mengira yang muncil Peter meski Fathur jelas tak mirip dengan Peter. Tapi ia sungguh ketakutan melihat ada orang yang mendadak muncul di sepannya.
@@@
Pada akhirnya kabar Arya ditampar Caitlyn gara-gara pertanyaan itu ya jadi pembicaraan utama di antara teman-temannya. Ferril bahkan sampai memegangi perutnya. Karena pipi Arya tampak memerah. Masih ada bekas tamparan Caitlyn.
"Lagian lo nanya kayak begitu."
Mereka bukan sedang nongkrong sih. Tapi tadi memang baru saja selesai rapat dan akhirnya malah makan siang bersama.
"Ya kan abisnya si Jennie bilang begitu."
"Tapi gak lesbi juga, Yaaak!"
Ia ditoyor oleh mereka semua kecuali Farrel. Hahaha. Farrel hanya geleng-geleng kepala. Ia juga tak paham sih dengan isi kepala Arya. Kok bisa-bisanya berkesimpulan seperti itu? Hahahaa.
"Lo harusnya nanya alasan kenapa dia gak tertarik sama cowok. Ada trauma atau apa gitu. Harusnya gitu, Yak. Ya kalau udah ditabok begitu sih udah susah deh."
Yang lain mengangguk-angfuk. Makin kecil harapannya untuk bisa bersama Caitlyn. Cewek itu sih sudah kembali sibuk di runah sakit. Nanti mungkin akan terbang ke Jogja untuk membawa beberapa tas yang hendak Diana beli. Berhubung modalnya pun susah ya, ia tak bisa memberikan secara cuma-cuma. Mungkin hanya disko secujupnya untuk keluarga sendiri.
Sementara itu, Darren tak mau dong mengalami kejadian yang sama dengan Arya. Hahahaha. Ia hendak mendekati satu-satunya perempuan yang berhijab di antara Jennie, Hyun A, dan Caitlyn. Siapa? Tentu saja Ellery. Gadis itu menarik hatinya juga ketika tak sengaja bertemu di salah satu gedung kementerian. Gadis itu datang sebagai perwakilan kampusnya. Sementara ia datang sebagai perwakilan pengusaha kala itu. Pertemuan tak sengaja yang membuahkan cinta. Sayangnya ya nasibnya tak berbeda jauh dari Arya. Ya dicueki. Hahaha.
Maka kini ia mendatangi Jennie. Tentu saja tak sendiri. Ia ditemani Vania yang sednag tak sibuk juga Ferril usai nongkrong tadi. Ia dan Ferril kan tak punya koneksi ke Jennie. Tapi kalau Arya sih ada. Karena memang pernah bekerja sama dengan Jennie. Berhubung Vania yang mengenal Jennie ya akhirnya meminta tolong pada Vania.
"Pokoknya nanti mingkem aja. Urusan nanya serahkan sama Vani oke?"
Dua lelaki yang datang bersamanya ini mengangguk. Hahahaha. Gadis ini baru beberapa tahun berkarir di Indonesia tapi koneksinya luas sekali. Ia juga semakin populer. Meski tetap membawa nama mamanya yang dulu hits pada zamannya. Tapi tentu saja ia berbeda bukan? Karena ya kalau mamanya tampil agak kalem di depan kamera. Kalau ia sih agak bawel. Hahaha. Turunan siapa?
Apa perlu ditanya? Karena jawabannya sudah sangat jelas. Fisiknya boleh seperti maminya tapi kepribadiannya? Persis papinya dong. Hahaha.
@@@
Ia pulang nonkrong tadi sore. Harusnya sih check up lagi tadi. Ia juga sudah berangkat ke kliniknya di mana Diana bekerja. Tapi ternyata belum jadwalnya Diana. Katanya baru malam ini. Jadi lah ia mau datang usai magrib ini. Jadi ia pulang dulu ke apartemennya dan mendapati apartemennya sudah kosong. Ya ia tak tahu lah itu bagaimana urusan runah tangga keduanya. Yang jelas nih ya, ia tak mau ikut campur. Hahaha.
Ia mengecek seisi apartemennya. Setidaknya tidak ada yang pecah lah. Jadi ia tak perlu membuat tagihan. Hahaha. Ia segera berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Lalu bersiap untuk masjid dulu. Ya solat magrib lah. Kemudian ganti baju lagi dengan rapi hingga tak sadar kalau tampaknya berlebihan. Hahaha. Ia bergerak menuju parkiran mobil lalu mengendarai mobilnya menuju klinik Diana untuk check up telinganya. Walau ia merasa sudah ada perubahan dibandingkan yang terakhir. Karena sudah tak berdarah.
Ia tiba kurang dari dua puluh menit. Hanya sedikit macet di jalan karena mungkin searah dengan Malioboro. Banyak yang mungkin ke sana. Ia berhenti di depan klinik. Persiapan sudah lengkap. Apa saja persiapannya?
Ia bahkan membawa bunga segala. Ahahaha. Kali ini ia bawa dengan tangan. Hal yang tentu saja mengundang perhatian ketika masuk. Ia mau menyatakan cinta ayau mau check up sebenarnya. Beberapa staf klinik yang masih ingat wajahnya tentu saja berbisik-bisik. Ya soal bunga yang sanbat besar dan pernah dikirim Aidan ke sini. Bagi mereka itu sangat menghebohkan. Kini Aidan juga menjadi pusat perhatian mereka. Hanha penasaran. Apalagi Aidan tampaknya berasal dari keluarga yang tak sembarang.
"Bapak Aidan!"
Namanya dipanggil. Ia segera berdiri. Tentu dengan bunganya. Si perawat yang menunggu di depan pintu ruang pemeriksaan tampak mengulum senyum melihatnya datang bersama bunga. Diana tak memerhatikan karena sibuk membaca ulang rekam medisnya. Sudah seminggu tak bertemu, tentu saja ia sudah lupa. Pasiennya kan ada banyak bukan hanya Aidan.
Aidan berdeham ketika masuk. Ia dipersilahkan duduk di depan Diana yang masih tak menoleh ke arahnya. Dan kesempatan itu digunakan Aidan untuk menaruh bunga di atas mejanya. Hahahaa. Lalu apa reaksi Diana?
@@@