Savero kabur.
Bukan hanya Melvin yang merasa tidak senang akan kabar itu, tapi juga seluruh anggota Kahraman, terutama Selatan merasakan hal yang sama. Jelas saja, mereka sudah sangat bekerja keras untuk mengungkap bukti-bukti kejahatan Savero. Dan di saat semua bukti itu sudah mereka kantongi, laki-laki itu justru menghilang begitu saja.
Orang-orang yang ditugaskan Melvin untuk pergi bersama Savero memberitahu bahwa Savero menghilang di toilet. Di tengah event yang Melvin minta untuk Savero hadiri, laki-laki itu berkata pada Tasha untuk pergi ke toilet. Anggota Kahraman yang bertugas untuk mengawasi Savero pun melihatnya dengan jelas masuk ke dalam toilet. Namun, hingga berpuluh-puluh menit kemudian, Savero tak kunjung kembali dari sana. Ia bahkan tidak terlihat keluar dari toilet itu.
Benar-benar menghilang begitu saja.
Bahkan ketika toilet di sana diperiksa, kondisinya sudah kosong, dan Savero tidak terlihat dimana-mana. Asumsinya, Savero kabur lewat jendela ventilasi yang muat untuk dilewati satu orang. Dan karena mereka baru memeriksa toilet itu cukup lama setelah Savero tak kunjung keluar dari dalam toilet, maka mereka pun kehilangan track Savero.
It's like he was vanished into thin air.
Benar-benar tidak terdeteksi kemana perginya, pun tidak juga terlihat apakah ia kabur sendirian atau ada yang membantunya.
Semua orang menduga jika Savero sudah menyadari bahwa kejahatannya telah diketahui. Oleh sebab itu ia kabur, dan pergi tanpa menghilangkan jejak sama sekali, karena tidak mau bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya pada Melvin dan anggota keluarga Wiratmaja yang lain.
Setelah mengetahui kabar itu dari Lea, Melvin kembali mencoba untuk menghubungi Savero. Namun, nomor laki-laki itu sudah tidak aktif lagi. Jelas sudah, Savero menghindarinya. Dan jelas sudah pula, lewat sikap Savero yang seperti ini, menunjukkan bahwa memang dia lah pelakunya.
Lea pun berpikiran yang sama.
"Kita harus tangkap dia, Melvin. Dengan semua bukti yang ada dan sikap dia yang tiba-tiba kabur begini, semuanya udah jelas, kan? I'm sorry to say this, tapi memang Savero pelakunya."
Melvin tahu, Lea sangat merasa tidak enak hati untuk mengatakan ini pada Melvin. Berbeda dengan Lea yang dulu yang sama sekali tidak peduli pada perasaan Melvin, Lea yang sekarang sudah sangat aware atas apa yang Melvin rasakan. Karena itu, ia mencoba untuk bicara dengan hati-hati pada Melvin soal ini, agar tidak membuat Melvin semakin merasa buruk.
"Sekarang Selatan udah siap membentuk tim untuk cari Savero. Aku sengaja nggak biarin dia yang bicara sama kamu karena nggak mau ujung-ujungnya kalian makin ribut dan berdebat. Jadi, mewakili Selatan, aku mau tanya ke kamu, kamu setuju kan dengan rencana pencarian dan penangkapan ini? Dan kalau iya, apa yang harus dilakukan setelah Savero berhasil ditangkap? You want him alive or...dead?"
Seumur hidup, sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Melvin jika ia akan mendapat pertanyaan seperti ini. Nyawa Savero seolah ada di tangannya sekarang, dan itu membuat Melvin merasa sangat buruk.
Sebuah tawa pun lolos dari bibir Melvin. Oh tidak, bukan karena Melvin merasa lucu dengan ini semua, melainkan karena ia merasa miris. Sangat miris dengan hidupnya yang tiba-tiba jadi seperti ini. Orang-orang yang semula dianggapnya sebagai musuh, ternyata adalah orang-orang di pihaknya, seperti keluarga Sadajiwa dan Kahraman. Lalu, seseorang yang sangat dia percaya dan dianggapnya sebagai teman, turned out betraying him and being the shadow enemy all this time.
"Aku nggak tau lagi harus apa, Lea..." Melvin menggelengkan kepala dan memijat pelipisnya sendiri. "Mau gimana pun, ujungnya nggak akan merubah kenyataan kalau Savero udah berkhianat dari aku, kan?"
Lea mengangguk.
"Iya," ujarnya jujur. Tidak berniat sama sekali untuk sugar coating perkataannya. Melvin pun tidak butuh itu. Ia pun berjalan mendekati Melvin hingga berada di sebelah sang suami yang masih duduk di kursi kerjanya. "Apapun langkah selanjutnya yang diambil, memang nggak akan mengubah kenyataan bahwa Savero sudah mengkhianati kamu. Aku tau, rasanya pasti sulit. Tapi, itu kenyataan pahit yang harus kamu terima."
Ditangkupnya wajah Melvin dengan kedua tangan agar Melvin bisa memandang lurus tepat pada semasang mata Lea yang menyorotnya teduh. Ia mengusap lembut pipi Melvin seraya berujar, "No matter how hard it is, you still need to do something. Setidaknya, pikirin anggota keluarga kamu yang lain. Dan anggap aja, apa yang kamu lakukan nanti, hal itu nggak lebih untuk melindungi mereka semua."
Di momen terendah hidupnya sekarang ini, Melvin merasa kalau dirinya sangat plin-plan. Sebelumnya, ia mendorong Lea menjauh dengan memintanya untuk keluar dan pergi meninggalkannya sendiri. Tapi sekarang, usai Lea mengatakan itu semua padanya, Melvin justru menarik Lea mendekat agar ia bisa memeluknya.
Dengan posisi Melvin yang duduk, sementara Lea berdiri, Melvin melingkarkan lengannya pada pinggang ramping Lea dan membenamkan wajahnya di tubuh sang istri. Lea pun balas memeluk Melvin, dan meletakkan pipinya di pucuk kepala laki-laki itu.
"I don't want him dead," gumam Melvin. "Masih banyak hal yang mau aku dengar dari dia."
Lea menganggukkan kepala. "Aku tau."
"Tapi...aku juga mau dia ngerasain sakit yang sama dengan yang aku rasain selama ini."
"..."
"Bilang Selatan, setelah Savero tertangkap, mereka bebas mau ngelakuin apa aja ke dia. Beat him up, make him scream in pain, or whatever. Tapi...aku mau Savero tetap hidup."
Mengatakan itu membuat Melvin merasa menjadi seseorang yang sangat jahat. Namun, ia teringat bahwa apa yang dilakukan oleh Savero jauh lebih jahat lagi daripada apa yang akan terjadi padanya nanti.
Sekali lagi, Lea menganggukkan kepala.
"That's fair enough," ujarnya.
Dan untuk yang ke sekian kalinya, Melvin merasa sedikit lebih baik karena ada Lea di sisinya. Dalam hati Melvin berjanji, ia tidak akan pernah menyuruh Lea pergi meninggalkannya sendirian lagi.
He needs her to keep him sane.
***
Berhubung bukti-bukti kuat mengenai Savero sebagai sang pelaku sudah dikantongi, dan Savero pun melarikan diri entah kemana, Melvin merasa jika sudah waktunya ia mengatakan hal sebenarnya pada anggota keluarganya yang lain. Mereka perlu tahu ini, dan Melvin pun tidak sanggup jika harus menyimpan semua ini sendiri lebih lama lagi.
Malam harinya, Melvin mengundang Abby dan Tristan untuk datang ke rumahnya guna menceritakan apa yang terjadi pada mereka. Lea pun sudah mengizinkan Melvin untuk memberitahu mereka karena memang sudah waktunya untuk begitu.
Namun, untuk saat ini Melvin merasa akan lebih aman jika ia memberitahu mereka berdua saja, dan belum melibatkan para orang tua. Melvin merasa hanya mereka lah yang mampu untuk menerima informasi mengenai Savero, sementara Melvin tidak ingin membuat stress para orang tua. Ia juga tidak ingin melibatkan sepupunya yang lain karena Darel yang masih dirawat di rumah sakit, sementara Adsel masih terlalu muda untuk mengetahui ini. Dan Melvin juga tidak ingin melibatkan keluarga Savero, baik itu Hanna, serta Larissa. Sebab hingga sekarang belum pasti apakah mereka juga terlibat dalam ini semua atau tidak. Ada sedikit kecurigaan pada Hanna Wiratmaja yang bercokol di hati Melvin setelah melihatnya begitu akrab dengan Brian Wangsa.
So, Abby and Tristan are his safest bet.
Meski Melvin sendiri tahu jika Tristan akan sangat meledak begitu mendengar semua cerita Melvin tentang Savero, sementara Abby kemungkinannya akan tetap merasa tidak percaya jika Savero adalah sang pelaku. Terlebih lagi, untuk sekarang Savero masih juga belum ditemukan. Jejaknya benar-benar hilang bagai ditelan bumi. Dan Selatan serta para anak buahnya masih berusaha keras untuk mencari Savero.
"Are you nervous?" Tanya Lea pada Melvin di saat mereka masih menunggu Abby dan Tristan sampai.
Melvin memang terlihat tegang sekali. Wajahnya bahkan sampai memucat dan kedua tangannya berkeringat. Lea tidak salah, Melvin memang gugup karena harus menjelaskan semuanya pada sang adik dan sepupunya.
Ia pun menganggukkan kepala. "Mereka pasti nggak akan bereaksi dengan baik."
"Itu wajar. Siapa yang bisa bereaksi dengan baik setelah tau tentang Savero? Bahkan kamu juga nggak bereaksi dengan baik."
"Aku tau."
"Kalau kamu mau, aku bisa ngewakilin kamu untuk ceritain semuanya ke mereka."
Melvin menggelengkan kepala, menolak bantuan yang ditawarkan oleh Lea. "Lebih baik kalau aku sendiri yang jelasin ke mereka."
"Okay."
Tidak lama kemudian, Abby dan Tristan pun datang. Keduanya sama-sama terlihat begitu serius dan tegang, sebab mereka mengerti jika maksud dan tujuan Melvin meminta mereka untuk tiba-tiba datang ke rumahnya di malam hari seperti ini tidak menandakan sesuatu yang baik. Di telepon saat Melvin meminta mereka datang pun, Melvin tidak menjelaskan apa-apa dan bilang bahwa ia akan menjelaskan semuanya setelah mereka berhadapan secara langsung.
"Kenapa, Melv? Lo udah ketemu siapa pelakunya?"
Itu yang pertama kali ditanyakan oleh Tristan begitu mereka semua sudah berkumpul di ruang tamu rumah Melvin dan Lea. Pertanyaan Tristan itu pun sontak membuat Abby mendelik pada sang kakak, memberinya tatapan penuh arti.
Perdebatan mereka soal Savero sebagai pelaku dari semua kasus ini memang belum selesai karena waktu itu fokus mereka berpindah pada kabar Darel yang menghilang. Dan sejak saat itu, mereka belum memiliki waktu untuk membahas soal itu lagi.
"Well...gue minta kalian datang ke sini malam ini memang mau membahas soal itu."
Keseriusan di wajah Abby dan Tristan pun kian bertambah. Mereka bahkan terlihat duduk dengan tidak nyaman karena merasa gelisah atas apa yang akan disampaikan oleh Melvin. Terutama Abby.
Dan adik perempuan Melvin itu pada akhirnya tidak tahan untuk bicara.
"Kalau yang mau kamu bahas ini sama dengan yang kita bahas waktu itu, aku tetap nggak akan berubah pikiran. Aku nggak percaya sama tuduhan kamu, dan aku masih percaya sama dia."
Tristan menautkan alias. "Please elaborate me," ujarnya. "Maksud Abby tuduhan apa? Dan siapa yang masih dia percaya."
Abby melengos, memilih untuk tidak melihat ke arah Tristan. Keberadaan sepupunya itu sedikit banyak membuat Abby merasa terancam. Bukan karena Abby merasa bersalah, tapi karena Abby tahu, jika Melvin sampai menjelaskan hal yang sama pada Tristan seperti apa yang dijelaskannya pada Abby tempo hari, maka Tristan akan menelan itu semua bulat-bulat. Tristan akan percaya, dan Tristan akan murka.
"Nggak perlu basa-basi lagi, Melv. Jelasin semuanya sekarang," pinta Tristan kemudian.
Melvin menganggukkan kepala. Ia juga tidak ingin menghabiskan waktu dengan basa-basi. Tatapan peringatan dari Abby pun diabaikannya, dan ia memberikan tab yang sama seperti yang diberikan Selatan padanya tadi, kepada dua orang di hadapannya.
Tristan yang mengambil tab tersebut dari tangan Melvin, membuat Abby harus meringsut mendekat padanya untuk melihat apa yang ada dalam tab itu.
"Di sana ada foto bukti-bukti yang udah berhasil didapat oleh orang-orang gue. Dan semua bukti itu asalnya dari apartemen seseorang yang semula cuma gue curigai sebagai pelaku. Turned out, he's the culprit."
Tristan langsung sibuk menggeser-geser layar tab untuk melihat semua foto yang ada di dalam sana, sementara Abby kembali memandang Melvin tidak terima.
"Seriously, Melv?" Tanyanya. "You gotta be kidding me, right?"
"Sorry, Abby. Lebih baik kamu liat sendiri semuanya, supaya kamu tau kalau sekarang aku nggak cuma asal menuduh."
Abby pun mengalihkan pandangannya pada Lea yang sedari tadi duduk di sebelah Melvin. Untuk yang pertama kalinya, ia merasa marah pada Lea.
"Apa yang udah kamu perbuat sampai Melvin jadi segininya dan menuduh orang yang paling dia percaya sebagai pelakunya?"
Lea menggelengkan kepala. "Aku nggak ngelakuin apa-apa, Abby. Kamu harus liat semuanya sendiri supaya kamu bisa berhenti."
"Kamu nggak bisa denial selamanya." Melvin menambahkan.
Ketiganya pun tersentak ketika tiba-tiba saja Selatan membanting tab tersebut ke atas meja. Dirinya memang belum selesai melihat semua foto bukti yang ada dalam tab itu. Namun, menemukan nama Savero dalam kontrak kesepakatan Noir sudah cukup untuk menyulut emosinya.
"Jadi, pelakunya Savero?! What the actual f**k?! It's that bastard all along?!"
Sesuai dugaan, Tristan marah besar.
"Gue nggak tau apa itu Noir, tapi jelas di sana tertera kalau Savero menggunakan jasa Noir ini untuk nyakitin keluarga kita? Ngebunuh bokap lo? Bikin nyokap lo kecelakaan? Nyerang lo? Nerror Abby? Dan gebukin Darel? Udah gila! DIMANA DIA SEKARANG?! GUE MAU KETEMU SAMA DIA!"
Seruan marah Tristan pada akhirnya membuat Abby mau mengambil tab yang sudah dibanting ke atas meja itu. Begitu ia mengetuk layarnya hingga menyala, foto sebuah kontrak kesepakatan pun langsung terlihat. Tristan sama sekali tidak berbohong. Memang benar, ada nama Savero di sana, begitu pun dengan kesepakatan yang dibuat oleh Savero dan Noir.
Lengkap dengan tanda tangan Savero pun tertera di sana. Abby sudah sangat mengenali tanda tangan Savero. Sehingga satu bukti itu sudah cukup untuk menggoyahkan kepercayaannya pada Savero yang masih tersisa.
"Savero nggak ada di sini sekarang. Nggak lama setelah gue dapat bukti-bukti ini, dia kabur, dan sekarang nggak tau ada dimana. Nomornya juga nggak bisa dihubungi."
"Fuck." Tristan kembali mengumpat. "f**k. f**k. f**k. Ini lah kenapa gue nggak pernah suka sama Savero. Menjadikan anak haram itu sebagai bagian dari keluarga kita nggak akan jadi suatu hal yang bagus. Dengan nggak tau dirinya, dia nyakitin keluarga kita!"
Biasanya, Melvin dan Abby akan jadi yang pertama kali membela jika Tristan maupun anggota keluarganya yang lain sudah menyematkan label itu pada Savero. Namun, kali ini mereka hanya diam. Bahkan Abby terlalu shock dan tidak benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh Tristan barusan. Sama seperti Melvin, Abby jadi yang paling kecewa. Ia sudah sangat percaya pada Savero, namun semuanya malah berakhir sepert ini.
Melvin pun menjelaskan tentang Noir yang berkemungkinan besar membantu Savero untuk kabur, karena sampai sekarang jejaknya tidak berhasil ditemukan. Karena tahu jika Tristan bisa sangat gegabah karena sedang dipengaruhi oleh emosi sekarang, ia pun mengingatkan Tristan untuk tetap berhati-hati.
Savero boleh saja sudah ketahuan sebagai sang dalang, tapi bukan berarti Noir akan langsung berhenti pada misinya untuk menyakiti keluarga Wiratmaja. Bisa saja, kekacauan yang terjadi pada mereka sekarang akan dimanfaatkan untuk menyakiti mereka.
"Karena itu, gue nggak mau kalian berdua berbuat macam-macam," pesan Melvin. "Orang-orang gue sekarang lagi nyari Savero. Dan begitu dia tertangkap nanti, gue akan langsung ngasih tau kalian."
"Apa kita harus lapor polisi?" Tanya Abby.
Tristan tertawa. "Abby, nggak ada gunanya lapor polisi untuk masalah begini," ujarnya. "Lagipula, cuma dihukum penjara nggak akan setimpal sama apa yang udah b******n itu lakuin!"
"Terus, kamu mau apa? Bunuh Savero?"
"Iya." Tristan cepat menjawab pertanyaan Abby itu tanpa berkedip. "Dia pantas buat mati."
"Gila kamu..."
"Apanya yang gila, Abby? Dia udah ngelakuin banyak hal buruk ke keluarga kita! Terutama ke keluarga kamu! Dan aku yakin, tujuannya pasti karena dia mau menguasai harta keluarga kita! Dia pasti dendam karena selama ini nggak pernah dianggap sebagai anggota keluarga Wiratmaja!"
Abby sudah menangis sekarang, sementara Tristan yang masih dalam keadaan marah pun meraih kunci mobilnya yang ada di atas meja, dan beranjak dari duduknya.
"Lo mau kemana?" Tanya Melvin. Ikut berdiri dan menghadang jalan Tristan untuk pergi. "Udah gue bilang, jangan gegabah."
"Nggak bisa, Melv." Tristan menggelengkan kepala. "I'll find him myself. Lo ingat kan gue pernah bilang kalau gue bakal bunuh sendiri pelaku yang udah nyakitin Darel? Gue bakal panggil orang-orang gue untuk nyari dia. Dan kalau sampai ketemu, gue yang bakal bunuh dia dengan tangan gue sendiri. Persetan dengan hukum, that jerk needs to die."
"Tristan--"
"Kalau lo nggak mau dia mati, ada baiknya orang-orang lo yang berhasil nemuin dia lebih dulu daripada gue."