Setelah tiga hari, kondisi Darel sudah jauh lebih baik. Meski memar-memarnya masih ada, namun Darel sudah tidak selemas sebelumnya, serta post-traumatic yang dialaminya pun berangsur membaik dan tidak separah sebelumnya. Ia juga sudah mau bicara dan tidak sediam seperti ketika dirinya baru saja ditemukan.
Orang tua Darel sudah tahu bahwa anak sulungnya masuk rumah sakit dan mengalami banyak memar. Dan sesuai rencana, Tristan menjelaskan bahwa sang kakak terlibat sebuah perkelahian di sebuah kelab malam dengan orang tak dikenal, dan apa yang terjadi bukan lah sesuatu yang perlu dikhawatirkan berlebih. Syukurnya, orang tua mereka percaya itu dan berujung hanya menasehati Darel untuk tidak melakukan hal semacam itu lagi.
Mereka hanya sempat menyuruh Darel dan Tristan untuk melapor ke polisi saja, namun Tristan berhasil meyakinkan mereka bahwa kedua belah pihak sudah sepakat untuk menempuh jalan damai, karena yang berkelahi dengan Darel juga tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Yah, sebenarnya Tristan sendiri sempat terpikir untuk melapor ke polisi perihal apa yang terjadi pada kakaknya. Namun, Melvin secara khusus menjelaskan padanya untuk tidak melibatkan polisi dalam kasus ini. Selain agar mereka tidak menarik terlalu banyak perhatian, juga karena Melvin tidak yakin jika polisi bisa dipercaya. Di negara ini, ada banyak permainan yang bisa dilakukan oleh orang dengan uang dan power. Bukannya ingin berprasangka buruk, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa instansi di negara ini gampang menerima suap untuk meloloskan orang-orang yang memiliki tujuan khusus. Jadi, akan jauh lebih baik untuk tidak melibatkan mereka sama sekali.
Hari ini, Melvin kembali mengunjungi Darel di rumah sakit. Kali ini ia datang sendiri tanpa ditemani Lea, apa lagi Savero. Hanya para penjaganya seperti biasa, itu pun mereka menunggu di luar.
Berbeda dengan sebelumnya, kini Darel sudah bisa tersenyum melihat Melvin datang. Laki-laki itu sudah hampir kembali menjadi dirinya yang seperti biasa. Tristan masih menjadi in charge untuk menjaga Darel di rumah sakit. Selain karena hanya Tristan lah yang tahu kejadian sebenarnya, ia juga tidak mau merepotkan orang tua mereka, dan terlalu tidak percaya pada sang adik bungsu untuk menemani Darel di sini.
Melvin balas tersenyum pada Darel, lalu ia duduk di kursi samping ranjang pasien yang sebelumnya diduduki oleh Tristan. Sementara itu, Tristan memilih untuk pindah duduk ke sofa yang ada di ruang perawatan VVIP ini.
"Gimana kabar lo? Feeling better?"
Merespon pertanyaan Melvin tersebut, Darel mengangkat bahu.
"Lo liat sendiri, better but not really. Lukanya emang udah mulai sembuh, tapi badan gue masih sakit-sakit semua. Energi gue juga belum sepenuhnya pulih, but yah...better."
Melvin mengangguk. "Bagus deh kalau gitu."
"Bagus apanya, Melv? Setiap malam dia masih mimpi buruk." Tristan menambahkan dari tempatnya duduk.
"Itu mungkin karena PTSD. Setelah keluar dari rumah sakit, ada baiknya lo langsung ke psikiater supaya PTSD yang lo alami bisa teratasi dan nggak makin parah."
Tristan menyetujui saran dari Melvin itu, sementara Darel justru menghembuskan napas.
"Gue mau bilang kalau gue nggak perlu itu, tapi nggak bisa karena kenyataannya, gue rasa gue emang perlu. Tristan benerm setiap malam gue mimpi buruk, dan kadang juga masih suka flashback."
"It must be a terrifying experience for you."
"It is." Darel mengangguk.
Melvin memandang prihatin sepupunya itu. Meski perlahan sudah bisa bersikap biasa dan baik-baik saja, namun Melvin tahu jika sebenarnya Darel tidak benar-benar begitu. Terlihat jelas bahwa sepupunya itu masih terlihat tak nyaman membicarakan apa yang terjadi padanya kemarin.
Hingga sekarang, Darel pun belum menceritakan secara detail apa yang terjadi, termasuk pada Tristan. Namun, Melvin perlu mendengar cerita detailnya karena siapa tahu ada sebuah petunjuk yang mengarah kepada dalang ini semua. Dan itu lah tujuan Melvin ada di sini sekarang, yaitu untuk mengorek informasi dari Darel secara langsung.
"Rel, sorry, gue tau apa yang udah lo alami pasti buruk banget. Gue bahkan nggak bisa ngebayangin gimana jadinya kalau gue ada di posisi lo. Dan pastinya berat banget buat lo untuk mengingat itu semua sampai lo nggak bisa tidur dengan tenang beberapa hari ini. Gue nggak akan maksa lo untuk cerita tentang detail kejadian kemarin, but if you don't mind, please tell me what you know. Karena mungkin aja, apa yang lo kasih tau bisa jadi petunjuk untuk menangkap pelakunya."
Keceriaan di wajah Darel yang sebelumnya ia usahakan untuk ada, seketika langsung lenyap usai Melvin bicara begitu.
Melvin pun cepat-cepat menambahkan, "Gue nggak maksa kok, Rel. Kalau emang nggak mau, lo nggak perlu cerita."
Darel diam, sehingga Melvin dan Tristan pun jadi berpandangan. Tristan terlihat menghembuskan napas berat dan menggelengkan kepala, menyuruh Melvin untuk menyerah saja. Apa yang Melvin alami ini, sepertinya sudah dialami oleh Tristan. Sebab sampai detik ini, Darel memang masih belum mau bercerita apa-apa tentang kejadian penyekapan dan pengeroyokan yang dialaminya.
Namun, di saat Melvin sudah mau menyerah dan hendak berkata pada Darel untuk melupakan saja apa yang tadi dia sampaikan, Darel justru kembali bersuara.
"Gue nggak bisa kasih tau ceritanya secara detail karena waktu gue ditangkap di parkiran apartemen pas baru pulang, gue langsung pingsan. Dan saat gue sadar di dalam mobil pun, muka gue ditutupin, jadi gue nggak bisa liat gue dibawa ke mana," jelas Darel. "Penutup kepala gue baru dibuka waktu gue udah diikat di ruangan gelap dan ada banyak orang bertopeng di depan gue. Gue juga nggak tau tepatnya di mana tempat itu dan siapa aja orang-orang yang nyekap gue karena nggak satu pun dari muka mereka yang keliatan. Di ruangan itu, mereka mukulin gue. Setiap kali gue berontak atau teriak, pukulan yang mereka kasih makin parah. Sampai saat itu gue mikir...besar kemungkinan gue bakal mati di tangan mereka, di saat gue sendiri nggak tau masalahnya apa."
Tanpa sadar, kedua tangan Melvin sudah terkepal erat karena mendengar penjelasan dari Darel. Sementara itu, Tristan sudah melengos, tidak sanggup melihat ke arah sang kakak karena terlalu sakit membayangkan apa yang dialami olehnya.
"Rel...I'm so sorry to hear that," ujar Melvin prihatin. Ia pun bisa paham mengapa Darel sampai bisa mendapat mimpi buruk dan mengalami trauma.
Darel hanya tersenyum sedih dan mengangguk.
"Gue nggak liat apa-apa kecuali itu, Melv."
"It's okay. Yang terpenting adalah keselamatan lo."
"Tapi, gue rasa gue dengar sesuatu."
Sebelah alis Melvin pun terangkat mendengarnya, sebab ia merasa tertarik. "Lo dengar apa?"
Darel terlihat ragu. "Sebetulnya, gue agak ragu sama yang gue dengar ini, apa emang bener-bener gue denger atau cuma di bayangan gue aja. Karena gue dengernya di saat posisi gue udah hampir hilang kesadaran habis dipukulin sama mereka."
"Apa yang lo dengar?"
"Gue dengar mereka ngobrol. Salah satu di antara orang bertopeng itu bilang kalau mereka boleh bikin gue babak belur, tapi nggak boleh bikin gue sampai mati, karena itu permintaan dari bos mereka atau klien? Entah lah, gue lupa saat itu mereka menyebutnya apa. Tapi seingat gue, intinya mereka nggak dikasih perintah untuk ngebiarin gue tetap hidup, terlepas dari kenyataan kalau bos mereka sebenarnya benci sama gue."
"Bosnya alias orang yang nyuruh mereka untuk nyakitin lo itu, orang yang benci sama lo?"
Darel mengangguk. "Kalau dia nggak benci sama gue, ngapain dia repot-repot nyuruh orang untuk nyakitin gue, kan?" Tanya Darel retoris. "Tapi, kayaknya yang dia benci juga bukan cuma gue deh, melainkan satu keluarga kita."
Rasanya gejolak amarah Melvin kembali muncul karena ia teringat dengan tulisan di tempat Darel ditemukan tempo hari.
Di saat Melvin terdiam, Darel justru memandanginya dengan raut wajah tidak enak, dan Melvin menyadari itu. Masih ada sesuatu yang hendak disampaikannya.
"Terus? Apa lagi yang lo dengar, Rel?" Melvin bertanya untuk memancing Darel agar mau bicara lebih.
Raut tidak nyaman di wajah sepupunya itu pun kian terlihat jelas.
"Gue nggak tau ini betulan gue dengar atau cuma khayalan gue, karena rasanya samar-samar banget," ujarnya. "I'm sorry, Melv...tapi...gue rasa gue dengar kalau alasan lain kenapa mereka mau gue tetap hidup, karena...seharusnya gue bukan target utama yang harus dihabisin, tapi--"
"Gue, kan?" Melvin memotong perkataan Darel dengan menyebutkan namanya sendiri sebagai tebakan.
Dengan berat hati, Darel pun menganggukkan kepala. Membenarkan tebakan Melvin tersebut.
"Samar gue dengar mereka bilang, Melvin Wiratmaja target utama yang harus mereka...bunuh..."
"What the fuck." Tristan yang sedari tadi mendengar cerita Darel pun tidak bisa menahan umpatannya. "Melv...kalau gini caranya lo harus hati-hati banget."
Darel mengangguk setuju. "Gue nggak mau hal yang sama atau bahkan lebih buruk, terjadi sama lo."
Di saat kedua sepupunya merasa panik, Melvin justru hanya diam. Dia sudah tidak terkejut lagi jika memang dirinya ditargetkan untuk dibunuh oleh orang-orang Noir, serta dalang di balik ini semua. Mereka sudah hampir membunuhnya sekali, yang mana menyebabkan Lea celaka.
So, it's not something new for him. Dan Melvin juga tidak merasa takut lagi karena ia sudah bisa menerima kenyataan bahwa memang dirinya lah yang jadi target utama.
"Lo harus ngelakuin sesuatu untuk ngebongkar siapa dalang di balik ini semua, Melv..." ujar Darel lagi.
Kali ini, Melvin baru merespon. "Kalian tenang aja, gue bakal ngelakuin apa pun untuk ngebongkar siapa pelakunya, dan ngasih mereka hukuman yang setimpal. Gue janji, gue bakal nemuin mereka."
"Janji juga lo bakal baik-baik aja?"
"Sure. I'll take care of myself very well." Melvin berujar yakin. "Dan kalian juga harus ngelakuin hal yang sama. Jangan pernah pergi-pergi sendirian lagi setelah ini."
Baik Tristan mau pun Darel menganggukkan kepala mengerti.
Lalu, Melvin pun beranjak dari duduknya, bersiap untuk pergi dari sana.
Selesai mengorek informasi dari Darel, Melvin hendak mengorek informasi dari satu orang lagi. Satu sepupunya yang lain.