Ketika Melvin dan Lea tiba di rumah sakit, Darel sedang tidur, dan Tristan menunggui di sebelahnya. Kondisi Darel sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Luka-lukanya sudah dibersihkan dan diobati, namun ia masih lemas karena serangan yang dialami. Mereka juga menduga jika sejak ditangkap, Darel tidak diberi makan dan minum apa pun.
Melvin pun tidak ingin membangunkan sepupunya itu dan membiarkan saja Darel beristirahat sebanyak yang dia mau. Mereka bisa bicara nanti untuk membahas penyekapan yang terjadi.
"Tadi dia sempat bangun sebentar, dan gue sempat tanya-tanya apa dia liat pelakunya, terus mereka bilang apa aja. Tapi, Darel nggak jawab apa pun dan cuma melamun. He was like out of his mind." Tristan menjelaskan pada Melvin dan Lea tidak lama setelah mereka tiba di kamar perawatan Darel.
"Itu karena dia masih trauma," ujar Lea. "Kalau nanti dia bangun lagi, lebih baik jangan ditanya-tanya dulu sampai dia sendiri yang mau cerita. Pasti kejadian yang dialami Darel masih terbayang-bayang di pikirannya."
Tristan mengangguk paham. "Oke. Nanti gue nggak akan tanya-tanya dia dulu," katanya. "Terus pelakunya gimana? Apa udah ketemu?"
Melvin dan Lea pun berpandangan, kemudian napas Melvin terhela berat seiring dengan dirinya yang juga memberikan Tristan sebuah jawaban berupa gelengan kepala.
"Pelakunya belum ketemu. Mereka kayaknya udah lama pergi sebelum kita sampai di sana tadi, dan niat mereka cuma mau menjadikan Darel sebagai objek terror."
Tristan menggeram marah mendengarnya. "Demi apa pun, siapa sih yang ngirim terror begitu ke keluarga kita?! Emangnya kita salah apa?!"
"Gue juga nggak tau, tapi lo tenang aja. Gue bakal berusaha ngelakuin apa pun untuk mengungkap pelakunya."
"Dan kasih mereka hukuman setimpal."
"Of course." Melvin mengangguk. "And anyway, gue udah mempekerjakan orang-orang gue untuk melindungi lo dan keluarga lo. Jadi, sebaiknya untuk sekarang ini lo, Adsel, Darel, Om, dan Tante, jangan pernah kemana-mana sendiri dulu. Oke?"
Kepala Tristan kembali terangguk, kemudian ia melirik orang-orang yang berjaga di depan pintu kamar perawatan Darel ini. Orang-orang itu berasal dari The K dan Kahraman. Seperti yang sudah dikatakannya pada Tristan tadi, ia telah menugaskan mereka untuk menjaga keluarga Tristan. Demi menghindari hal terjadi pada Darel kembali terulang.
Selain itu, Melvin juga telah memperketat perlindungan untuk dirinya, Lea, Abby, dan juga ibunya. Ia tidak bisa untuk tidak merasa was-was jika mereka bisa saja menjadi sasaran empuk lagi setelah ini.
"Pokoknya, kalau lo butuh bantuan bilang aja ya, Melv. Sebisanya kita bakal bantu."
Melvin mengangguk. "Iya."
Lalu, tatapan Tristan beralih pada Lea yang berdiri di sebelah Melvin. Selama beberapa detik ia memandangi Lea, sampai-sampai Lea menautkan alias karena heran sendiri. Ia baru mau bertanya, namun Tristan sudah bicara terlebih dahulu.
"Take care of your wife too, Melv. Lea kan lagi hamil, gue khawatir dia bisa aja jadi sasaran juga."
Melvin dan Lea kembali berpandangan. Mereka agak terkejut karena Tristan menyebutkan bahwa Lea hamil. Konyolnya, mereka berdua sama-sama lupa tentang sandiwara mereka mengenai Lea yang dianggap hamil oleh beberapa orang tertentu, termasuk Tristan.
Namun, dengan cepat keduanya bisa menguasai diri agar Tristan juga tidak curiga.
"Of course I will."
Lea tertawa kecil untuk bersandiwara, tentu saja. "Kamu nggak tau aja gimana posesifnya Melvin sekarang."
"Oh ya?"
"He wouldn't even let me out of his sight."
Tristan tersenyum. "Bagus deh kalau gitu. Kamu emang perlu dijaga banget, Lea, especially in times like this."
Oh, Tristan tidak tahu saja bahwasanya Lea jauh lebih mampu untuk melindungi Melvin, daripada kebalikannya.
"Om sama Tante gimana? Belum lo kasih tau sama sekali tentang kondisi Darel ini?" Melvin memilih untuk mengalihkan pembicaraan mereka karena tidak ingin percakapan mengenai kehamilan Lea ini semakin menjalar kemana-mana dan akhirnya menimbulkan kecurigaan.
Perhatian Tristan pun kembali teralih pada Melvin, dan ia menggelengkan kepala.
"Gue cuma bilang kalau Darel masih wasted dan bilang kalau gue bakal ngurusin dia, jadi Mama sama Papa nggak perlu datang. Mungkin nanti kalau keadaan Darel udah lebih baik, gue bakal kerja sama dengan Darel buat bikin skenario kalau Darel berantem di kelab or something like that."
Melvin setuju pada ide Tristan itu. Meski jatuhnya mereka berbohong, namun akan lebih baik untuk para orang tua untuk tidak tahu hal-hal semacam ini agar mereka tidak stress. Terlebih lagi, orang tua Tristan gampang stress dan hal itu bisa memengaruhi kesehatan mereka.
Melvin pun melirik Darel yang masih berbaring pulas di atas brankar pasien. Terlihat tidak terganggu sama sekali, meski di dekatnya ada Melvin, Lea, dan Tristan yang sedari tadi mengobrol. Mungkin karena pengaruh obat juga, Darel jadi bisa tidur sepulas ini sekarang.
Ketika mendengar dering ponselnya, Melvin agak tersentak. Ia pun mengambil ponselnya dari saku dan mendapati jika yang menelepon adalah sekretarisnya di kantor. Lewat isyarat mata, Melvin meminta izin pada Tristan dan Lea untuk mengangkat teleponnya di sana. Begitu mereka menganggukkan kepala, ia pun langsung menerima panggilan telepon tersebut.
"Halo? Kenapa?"
Sang sekretaris menjelaskan bahwa ada sesuatu yang perlu diurus perihal pekerjaan.
"Saya lagi di luar sekarang, ada urusan penting. Kenapa nggak ke Savero aja? Biasanya juga kan kalau saya nggak ada di kantor, yang ngurus begituan bisa Savero."
"Loh? Bukannya Pak Savero juga pergi sama Bapak? Soalnya, dari jam makan siang tadi Pak Savero udah pergi, dan belum kembali sampai sekarang."
Penjelasan dari sang sekretaris cukup membuat Melvin tertegun.
Kemana Savero pergi? Dan berbeda dari biasanya, kenapa dia tidak bilang apa-apa pada Melvin?
***
Teleponnya dengan sang sekretaris tadi siang cukup membuat Melvin kepikiran. Namun, di depan Tristan, tentu saja ia harus tetap bersikap biasa saja agar sepupunya itu tidak curiga. Apa pun yang menyangkut Savero, jangan sampai membuat Tristan dan keluarganya merasa ada yang janggal. Jika sampai mereka merasa curiga pada Savero, maka semuanya akan jadi kacau.
Begitu pulang dari rumah sakit dan berpesan pada Tristan untuk selalu mengabarinya mengenai perkembangan Darel, Melvin langsung meminta Lea untuk menghubungi orang yang ditugaskan untuk mengawasi Savero, sementara Melvin menghubungi Savero sendiri.
Melvin menanyakan kenapa Savero tidak ada di kantor sehingga sekretaris Melvin langsung menghubunginya untuk mengurusi pekerjaan yang biasanya bisa diselesaikan oleh Savero langsung. Dan Savero bilang bahwa dia pulang ke apartemennya karena sedang merasa tidak enak badan.
Jawaban dari Savero itu pun dikonfirmasi oleh orang yang ditugaskan untuk mengawasi Savero. Ia membenarkan bahwa memang Savero pulang ke apartemennya dan tidak pergi kemana-mana lagi setelahnya.
Meski jawaban mereka cocok, Melvin tetap merasa jika ada yang janggal. Mungkin Melvin terlalu merasa was-was sehingga kebetulan timing antara perginya Savero dan pencarian terhadap Darel yang bersamaan membuatnya merasa terganggu. Dan meski pun orang yang mengawasi Savero pun bilang kalau tidak ada hal yang mencurigakan terjadi, Melvin tetap saja kepikiran.
Bahkan hingga ia tiba di rumah, makan malam, dan kini sudah bersiap untuk tidur, Melvin tetap memikirkan hal yang menurutnya janggal itu. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, Melvin merasa buruk akan hal itu, namun perasaan janggalnya juga tidak bisa hilang begitu saja.
Melvin yang sedari tadi duduk bersandar di tempat tidurnya dan melamun, baru terdistraksi ketika pintu kamarnya terbuka. Ia pun menoleh, melihat Lea yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Melihat penampilan Lea yang kini sudah terbalut night gown dress, seketika membuat pikiran mengenai Savero hilang sesaat.
Malam ini akan jadi malam pertama Lea secara resmi pindah ke kamar Melvin, setelah sebelumnya mereka masih pisah kamar, meski beberapa kali memutuskan untuk tidur di kamar yang sama. Namun, mulai malam ini dan seterusnya, mereka akan berada di kamar yang sama selayaknya pasangan suami-istri, karena mereka sudah sepakat untuk menjalani pernikahan ini secara sungguhan.
Lea berjalan mendekat sembari tersenyum pada Melvin. Not gonna lie, penampilan Lea yang apa adanya seperti ini, tanpa riasan apa pun di wajahnya, dan rambut yang tergerai tanpa ditata sedemikian rupa, menurut Melvin adalah penampilan terbaik perempuan itu. Dengan begini, Lea jadi tidak terlihat palsu seperti yang dulu selalu Melvin pikirkan, dan tidak pula terlihat mengintimidasi sebagaimana ia berpenampilan jika sedang dalam mode Kahraman.
Bukannya ingin bermaksud pervert atau semacamnya, tapi Melvin jadi tidak bisa melepaskan tatapannya. Padahal, gaun malam Lea juga merupakan gaun malam basic yang panjangnya selutut dan tali sejari di bagian bahu, dan bukannya gaun malam yang terlalu terbuka untuk tujuan yang berbeda.
"Hai," sapa Lea ketika ia sudah berdiri di sebelah sisi ranjang yang satunya.
Melvin balas tersenyum padanya. "Hai. Welcome to my room, which is our room now."
"Makasih penyambutannya. Semoga betah ya sekamar sama aku seumur hidup kamu."
"You too, babe."
Lea terkekeh sembari ia naik ke atas tempat tidur, menempati sisi kosong di sebelah Melvin. "Babe already?"
Melvin mengangkat bahu. "Biar terbiasa aja."
Lea jadi bergidik geli. "Aneh dengar kamu ngomong begitu. Padahal biasanya nggak jauh dari sinis dan sarkas."
Melvin melengos. Bukan karena omongan Lea itu, melainkan karena ia menyadari sesuatu. Malam ini Lea tidak mengenakan bra. Dan Melvin jadi membenci dirinya sendiri karena menyadari itu dan membuatnya canggung sendiri. For God's sake, why? Padahal itu seharusnya tidak jadi sebuah big deal buat Melvin. Melihat itu tidak akan membuat Melvin berdosa, sebab Lea adalah istrinya. Lagipula, seharusnya ia bersikap biasa saja karena tahu jika wanita pada umumnya memang tidur dengan tidak memakai bra.
"Masih mikirin Savero?" Tanya Lea kemudian. Ia sudah berbaring sekarang, dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Sesuatu yang sangat Melvin syukuri karena bisa membuatnya berhenti terdistrkasi.
"Tadinya iya," ujar Melvin jujur. "Sekarang udah enggak."
"Oh, sekarang udah mikirin yang lain?"
Melvin mendengus karena cara Lea yang bertanya dengan nada meledek begitu.
"Apa yang kamu duga, itu bukan yang aku pikirin."
Lea tertawa geli. "Aku nggak bilang apa-apa loh," ujarnya membela diri. "Tapi kalau mau jujur, malam ini juga nggak bisa, Melvin baby. I'm on my period."
"I didn't ask," sahut Melvin sebal.
Tawa Lea makin panjang. Sepertinya puas sekali karena berhasil menggoda Melvin. Sedari awal mereka saling mengenal, sepertinya menggoda Melvin adalah hal favorit Lea.
"Tapi serius nih, mending sekarang kamu istirahat. Tentang Savero dan yang lain bisa dipikirin besok."
"I know."
"Jangan I know I know aja. Sleep."
Lea menepuk bantal Melvin, menyuruhnya untuk ikut berbaring di sana. Akhirnya, Melvin pun menuruti perkataan sang istri, berbaring dan bersiap tidur, serta berhenti overthinking.
Kini keduanya sudah berbaring berdampingan. Tidak begitu dekat, namun cukup untuk membuat indera penciuman mereka digelitik oleh aroma tubuh satu sama lain. Seperti biasa jika tidur sekamar seperti ini, sebelum tidur mereka pasti selalu mengobrol. Pillow talk, istilahnya. Dan Melvin rasa, pillow talk ini lah yang mengakrabkan hubungan mereka belakangan ini.
"Aku penasaran sesuatu deh."
Merasakan Lea menghadapnya, Melvin pun melakukan hal yang sama sehingga keduanya saling berhadapan.
"Apa?" Tanya Melvin.
"Karena sekarang kamu sudah memutuskan untuk bertahan di pernikahan ini, perasaan kamu ke Gema gimana?"
Melvin cukup terkejut atas pertanyaan Lea. Bukan karena Lea menanyakan itu, tapi lebih karena mendengar nama Gema disebut. Rasanya sudah lama sekali ia tidak mendengar itu, dan sudah lama juga Gema tidak mampir ke pikirannya, karena segala macam kekacauan yang Melvin hadapi belakangan ini. Bahkan, ketika ayahnya meninggal saja, ia tidak terpikir untuk mengabari Gema sama sekali.
"Nggak tau." Melvin menggelengkan kepala. "Aku udah lama nggak mikirin Gema, karena kamu tau sendiri, ada banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirin. Lagian, dia juga udah bahagia sama kehidupannya. Mau lanjut atau enggaknya pernikahan kita, aku tetap nggak punya kesempatan lagi untuk sama dia."
"Ah, I see."
"Kenapa emangnya?"
"Cuma penasaran."
"Kamu sendiri gimana sama Selatan?"
"Ya sama aja. We stand no chance. Aku juga lebih sibuk mikirin yang lain, and that's the good thing, karena bikin aku jadi terdistraksi dan nggak mikirin dia lagi."
"Tapi kayaknya perasaan dia ke kamu masih sangat utuh. Dan dia benci aku."
"Itu sih karena kamu nyusahin dia mulu."
Melvin memutar bola mata, sedangkan Lea hanya tertawa.
Melihat perempuan itu tertawa dalam jarak sedekat ini, diam-diam Melvin mengakui bahwa Lea terlihat sangat cantik. Tiba-tiba saja terlintas di pikirannya, andai pertemuannya dan Lea terjadi secara normal selayaknya ia bertemu dengan Gema, tanpa ada perjodohan, tanpa ada perdramaan yang tidak masuk akal bagi orang awam ini, mungkin Melvin bisa tertarik pada Lea dengan sendirinya. Dan mungkin, kisah mereka juga bisa jadi lebih indah karena tidak ada kecurigaan yang menimbulkan rasa benci di awal hubungan ini.
Melvin tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, namun jika bisa, ia ingin menjalani hubungannya dan Lea dengan baik. Bahkan, jatuh cinta padanya sekalian, dan juga balas dicintai. Setelah hubungannya dengan Gema berakhir, rasanya Melvin sudah lupa bagaimana rasanya mencintai dan dicintai dalam sebuah hubungan. Entah ke depannya ia bisa merasakan itu lagi atau tidak, Melvin tidak tahu. Sebab masalah ini saja belum selesai.
"Lea."
"Hm?"
"Gimana kalau masalah ini nggak akan pernah selesai? Gimana kalau dalang dari semua ini nggak akan pernah ketemu, terus aku dan keluargaku bakal hidup dalam ancaman terus? Gimana kalau aku nggak akan bisa hidup normal lagi setelah ini? Dan gimana kalau keluarga kamu juga jadi ikut dalam bahaya gara-gara aku? Gimana--"
Lea menaruh jari telunjuknya di bibir Melvin, menyuruh sang suami untuk diam dan tidak lanjut menyebutkan kekhawatirannya lagi.
"Aku kan udah bilang ke kamu, stop overthinking. Kamu harus istirahat, harus tidur."
"Nggak bisa."
"Bisa. Sekarang tutup mata kamu."
Karena Melvin tak kunjung menutup matanya, jadi Lea yang melakukan itu. Menutup kedua mata Melvin dengan tangannya. Walau Lea melakukan itu, tetap saja Melvin tidak bisa langsung tidur. Ia masih terjaga.
"Kamu harus yakin, semuanya pasti bakal berlalu. Nanti, pelakunya pasti tertangkap, dan kamu nggak perlu merasa was-was lagi. You will get your normal life again. Ingat, kamu nggak sendirian, banyak yang bantu kamu. Karena itu, semua ini pasti selesai nanti, aku percaya itu."
Melvin menjauhkan tangan Lea dari kedua matanya agar ia bisa melihat Lea lagi. Sebuah senyum kecil terukir di bibirnya karena cara Lea menenangkannya barusan. Meski masih ada keraguan di dalam hati Melvin, namun ia jadi merasa sedikit lebih baik.
Dikecupnya lembut tangan Lea yang kini ada di genggamannya, lalu sebuah pertanyaan tiba-tiba meluncur keluar dari bibirnya. "Setelah ini semua selesai dan kita udah bisa hidup normal, will you love me, Lea?"
Lea tidak bisa menahan keterkejutannya, namun ia memilih menutupinya dengan tawa.
"Kenapa nanya begitu?"
"Because I will. I'll try to love you. So, will you?"