62. Bukti

2133 Kata
Melvin dan Lea hanya bisa mengamati ketika Brian Wangsa mendekat ke meja mereka, lalu Hanna bangkit dari duduknya untuk menyambut pria itu dengan hangat. Mereka bahkan berpelukan dan terlihat begitu akrab, yang mana hal itu cukup membuat Melvin merasa heran. Dari sekian banyak waktu dan tempat, ia tidak menyangka sama sekali jika akan bertemu dengan Brian di kafe milik tantenya dan di waktu sekarang, saat Melvin memiliki agenda tersembunyinya sendiri. Ia tidak tahu apakah ini hanya kebetulan semata atau...kehadiran Brian di sini memang sudah direncanakan karena dia tahu bahwa Melvin dan Lea akan datang ke sini. Dibanding pertemuan mereka sebelum-sebelumnya, kali ini Melvin sudah tidak bisa melihat Brian dengan cara yang sama lagi. Di mata Melvin sekarang, Brian bukan hanya putra mahkota dai keluarga Wangsa saja, tapi juga seorang pembunuh. Sulit sekali bagi Melvin untuk bersikap biasa saja di saat ia tahu semuanya, dan tahu bahwa pria yang ada di dekatnya sekarang ini, terlibat betul dengan semua masalah yang terjadi padanya. Rasanya Melvin sangat ingin menerjang ke arah Brian, menyakiti pria itu sebagaimana ia telah menyuruh orang-orangnya untuk menyakiti keluarga Melvin. Satu-satunya hal yang mencegah Melvin untuk melakukan itu adalah Lea yang menggenggam erat tangannya. Meski tidak mengatakan apapun karena memang tidak bisa, namun Melvin sadar jika Lea sedang berusaha menjaga kewarasan Melvin sekarang. Mengingatkan Melvin untuk tidak gegabah. Stick to the plans. Mereka harus tetap berpura-pura tidak tahu, meski mungkin saja, Brian sendiri sudah sadar kalau Melvin telah mengetahui keterlibatannya selaku pimpinan Noir. "Long time no see, Brian! Kayaknya hari ini benar-benar jadi hari spesial untuk kafe ini karena secara kebetulan, orang-orang penting datang ke sini. Pertama, Melvin dan Lea. Sekarang, kamu." Hanna berujar ramah setelah melepas pelukannya dengan Brian. Tawa pun lepas dari bibir pria, yang mana melihatnya membuat Melvin langsung melengos. Rasanya muak sekali melihat Brian tertawa seperti itu, menyaksikan bagaimana dari luar ia terlihat begitu harmless. Padahal, pria itu tak lebih dari seorang pimpinan sebuah organisasi yang menawarkan jasa untuk menyakiti orang lain. Meski bukan Brian langsung yang melakukan pekerjaan keji itu, entah sudah berapa banyak darah yang tumpah di tangannya. "Aku tiba-tiba kangen sama carbonara fettucine dan creme brulee di sini, makanya mampir ke sini." "Let me cook it for you myself then." "Wah, Tante harusnya nggak perlu repot-repot." "Mana ada repot." Hanna mengibaskan tangannya dan tertawa. Lalu, ia melirik Melvin dan Lea yang sedari tadi hanya diam di tempat mereka duduk. Brian pun mengikuti arah pandangan Hanna, sehingga kontak mata terjadi antara dirinya dan Lea. "Kamu gabung di meja ini aja, Brian. Udah tau dong pasti sama Melvin dan Lea?" Brian menyunggingkan senyum. "Of course," katanya sembari tidak melepaskan sedikit pun tatapannya dari Melvin. "They're a popular couple in our circle. Gimana bisa nggak tau?" Hanna tersenyum. "Okay. Tante tinggal dulu ya." Ketiganya hanya menganggukkan kepala saja, dan membiarkan Hanna meninggalkan meja mereka untuk pergi menuju dapur kafe ini. "Nggak keberatan kan kalau saya gabung di sini?" Tanya Brian pada pasangan yang ada di hadapannya. "It's a pleasure to meet you guys, anyway." Melvin tidak sanggup untuk mengatakan apapun sebab ia takut, jika membuka mulut, yang akan dikatakannya justru sesuatu yang tidak enak untuk didengar. Paham dengan situasi, Lea pun merespon Brian dengan senyuman dan anggukan kepala. "Nggak sama sekali. And it's a pleasure to meet you too, Brian." "Well...thank you, Azalea." Brian pun menarik kursi yang letaknya persis di depan kursi Melvin dan duduk di sana, sehingga mereka jadi duduk berhadapan. Melvin yang sedari tadi hanya diam pun diam-diam memerhatikan Brian dari atas sampai bawah. Penampilan pria itu bisa dibilang mengintimidasi dengan postur tubuhnya yang tinggi dan kekar. Brian juga memiliki garis wajah yang tegas dengan tatapan mata tajam sehingga tak sedikit yang mungkin takut berhadapan dengan pria itu, dan tak sedikit juga yang mungkin terpesona akan parasnya. Melvin tidak merasakan dua-duanya karena yang dirasakannya justru muak terhadap laki-laki di hadapannya ini. Jika ditanya siapa yang paling gugup atas pertemuan tidak terduga ini, jawabannya adalah Lea. Ia takut jika Melvin tiba-tiba meledak karena Brian. Dan sepanjang yang Lea tahu, Brian Wangsa memiliki keahlian yang baik untuk memprovokasi seseorang. "Aku dengar kalian sebentar lagi mau jadi orang tua," ujar Brian kemudian. Senyuman lebar masih menggantung di bibir pria itu. Senyum yang menurut Melvin sangat lah palsu. "Selamat ya." Melvin tidak bisa menahan kekehannya. "Thank you, Brian," ujarnya berusaha ramah. "Tapi saya rasa, ini adalah kali pertama kita bertemu dan berbincang face to face seperti ini. Karena itu, saya agak heran, kenapa kamu bisa tau istri saya lagi hamil? Padahal, kami belum mengumumkannya secara resmi dan hanya beberapa orang tertentu saja yang tau soal itu." "Saya kebetulan diberitahu seseorang soal itu." "Oh ya? Siapa?" Ganti Brian yang terkekeh. "Kamu nggak benar-benar berpikir kalau orang-orang yang kamu undang di pesta itu bakal tutup mulut semuanya, kan? Naif banget kalau memang kamu mikirnya begitu." Meski tidak tahu dengan jelas apa tujuan Brian datang ke sini, namun saat ini Lea tahu kalau Brian sedang memprovokasi Melvin. Mencoba untuk membuat emosi Melvin tersulut. Dan usaha Brian itu pun bisa dibilang berhasil. Dari genggaman tangan Melvin yang mengerat di tangannya, Lea tahu betul jika Melvin sedang menahan emosi sekarang. Dan Brian pun menyadari itu. "No offense ya, Melvin." Melvin menggelengkan kepala. "None taken. Mungkin kamu emang benar, terlalu naif kalau saya berpikir semua orang bisa jaga rahasia. Saya cuma merasa nggak nyaman aja kalau ada yang tau soal itu, padahal saya nggak mau orang itu tau. Nggak ada salahnya kan ya menjaga berita kehamilan istri saya untuk jagain dia? Saya takut terjadi apa-apa kalau terlalu banyak yang tau." "Oh, saya rasa nggak akan ada yang berani macam-macam sama istri kamu juga. I mean, she's the wife of Melvin Wiratmaja. Siapa yang berani?" "Yah, lebih baik mencegah, kan? Kita nggak pernah tau apa yang bisa terjadi. Siapa tau, ada yang diam-diam nggak suka sama keluarga kami, dan akhirnya menyerang istri saya saat dia lagi sendirian, begitu tau dia lagi hamil anak saya." Brian tertawa dan dengan tengil berujar, "Right. You better protect your pretty wife, Melvin." Melvin hanya menanggapinya dengan senyum tidak ikhlas yang bahkan tidak sampai ke matanya. Di telinga Melvin, yang dikatakan oleh Brian tadi terdengar seperti sebuah ancaman, bahkan sebuah peringatan. Melvin bersumpah, ia tidak akan membiarkan sesuatu terjadi lagi pada Lea, terutama jika Noir yang menjadi dalangnya. Jelas sekali bahwa Melvin dan Brian baru saja menyindir satu sama lain secara halus. Mereka sama-sama berpura-pura tidak tahu apa-apa, di saat sebenarnya sudah tahu semuanya.  Lea memutuskan untuk kembali menengahi. Ramah ia bertanya pada Brian, "Kamu kok bisa kenal sama Tante Hanna sih? Dan kayaknya udah akrab banget pula." Brian memindahkan fokusnya pada Lea. "Saya udah lama kenal sama Tante Hanna, bahkan sama satu keluarganya juga. Saya sama Larissa satu almamater, dia junior saya. Dan saya juga pernah bekerja sama dengan suaminya Tante Hanna. Karena itu, kami akrab," jelas Brian. "Kalau bisa sih, saya juga mau mengakrabkan diri sama kalian. It would be such a good thing, kalau saya punya relasi yang bagus dengan keluarga utama Wiratmaja. Iya, kan?" "Oh, sure. Dengan senang hati kita mau mengakrabkan diri sama kamu. Siapa tau, nanti kita saling ada perlu dan bisa kerja sama. Right?" "Right, Azalea. Tapi, sepertinya Melvin nggak terlalu suka sama gagasan itu ya?" Fuck Brian Wangsa. "Oh, siapa bilang? It's such an honor kalau seorang Brian Wangsa mau mengakrabkan diri dengan saya. Don't worry, we can be friends." "Really?" "Of course." Brian pun mengulurkan tangannya pada Melvin, hendak mengajaknya untuk berjabat tangan. Dengan sangat berat hati, Melvin menjabat tangan pria itu. Jabatan tangan Brian tegas dan erat. Bahkan, Melvin rasa terlalu erat daripada seharusnya. "Senang bisa bertemu kamu di sini, Melvin. Dan senang karena akhirnya, saya bisa mengakrabkan diri secara langsung dengan kamu." Melvin hanya mengangguk saja menanggapinya dan ia buru-buru melepaskan tangannya dari jabatan tangan Brian. "Omong-omong kamu ada perlu apa di sini?" Tanya Melvin kemudian. "Bukannya tadi saya udah jelasin ke Tante Hanna? Saya datang ke sini karena mau makan carbonara fettucine dan creme brulee yang ada di kafe ini. Apa jawaban saya tadi kurang jelas?" Sebelah alis Melvin terangkat. "Cuma itu? Siapa tau kamu ada urusan lain?" Brian tersenyum miring. "Kalau pun ada, saya nggak wajib untuk memberitahu kamu, kan? Itu urusan saya sama Tante Hanna," ujarnya. "Tapi, kamu nggak salah sih. Saya memang ada urusan lain. Singkatnya sih, saya mau menagih hutang ke Tante Hanna dan keluarganya atas sesuatu yang sudah saya kasih ke mereka." "Apa?" "Guess what, Melvin?" Di balik meja, Lea mencengkeram erat lengan Melvin hingga kuku-kukunya menancap di sana, semata untuk menahan Melvin menyerang Brian, setelah apa yang diucapkan oleh pria itu barusan. Sudah Lea duga, Brian memang sangat pandai memprovokasi seseorang. Andai Lea tidak berada di sisi Melvin saat ini, sebuah masalah baru pasti akan muncul. *** Selama berada di kafe itu, Melvin benar-benar menahan emosinya, dan ia berusaha keras agar tidak meledak dan memukuli pria bernama Brian Wangsa itu. Jika Melvin dianalogikan sebagai sebuah pedang, maka Lea adalah sarung pedangnya, yang menahan Melvin untuk menghunuskan pedang itu dengan cara yang salah. Berhadapan dengan Brian hanya membuat Melvin merasa marah. Dari cara laki-laki itu bicara padanya sungguh menunjukkan bahwa ia hanya ingin memprovokasi Melvin dan membuatnya marah. Entah apa tujuannya. Mungkin Brian hanya sebatas senang karena tahu Melvin tidak bisa berkutik di saat ia sudah tahu semuanya. Karena emosi Melvin, mereka sampai harus meninggalkan kafe itu lebih cepat daripada seharusnya. Mengakhiri misi mereka untuk mengorek informasi dari Hanna Wiratmaja, di saat mereka bahkan belum mendapat informasi apa-apa. Lea lah yang sebenarnya mencari aman dengan membawa Melvin pergi dari sana lebih cepat, dan beralasan bahwa Melvin harus kembali ke kantor karena ada meeting. Satu hal lagi yang membuat Melvin ingin meledak, ketika dirinya basa-basi berpamitan dengan Brian sebelum pulang, pria itu berbisik, "Take care of yourself, your wife, and your whole family, Melvin. Kita nggak tau apa yang bisa terjadi di masa depan, kan?" Andai Melvin tidak tahu bahwa Brian merupakan pimpinan Noir, apa yang dikatakannya itu saja sudah sangat aneh. Terlebih lagi di saat Melvin sudah tahu siapa laki-laki itu sebenarnya, apa yang dikatakannya betul-betul terasa seperti sebuah ancaman yang sengaja disampaikannya. Sebuah peringatakan atas apa yang akan terjadi di masa depan. Saat mereka sudah berada di mobil yang membawa mereka pergi dari kafe Hanna, Melvin masih diam dan menahan emosinya. Lea berinisiatif untuk merangkul pinggang Melvin dan mengusap-usap punggungnya, mencoba menenangkan suaminya itu. "Nggak usah dengerin apa kata Brian. Aku yakin banget, dia tadi cuma mau memprovokasi kamu untuk mastiin sebanyak apa yang kamu tau tentang dia." "That man is a complete asshole." Lea mengangguk setuju. "Aku tau." "Dia jelas-jelas mengancam aku di sana tadi! Berapa kali dia bilang supaya aku hati-hati? Entah apa yang udah dia rencanain diam-diam." "Kamu harus tenang. Jangan biarin kata-kata Brian tadi menguasai pikiran kamu, karena itu yang dia mau. Nggak usah pikirin apa yang dia bilang." Bagaimana bisa? Semua yang dikatakan oleh Brian tadi, dari A sampai Z, Melvin ingat semuanya. Dan ia tidak bisa untuk tidak memikirkannya. Namun, Melvin memilih diam selama beberapa saat untuk menenangkan emosinya. Lea ada benarnya, ia tidak boleh membiarkan Brian menguasai kepalanya sekarang. He's not worth it. Selain itu, Melvin juga tidak mau melampiaskan emosinya pada Lea. Setelah merasa lebih tenang dan sudah bisa berpikir jernih, Melvin teringat akan masalah antara Hanna dan Savero yang tidak ingin diberitahunya pada Melvin. Serta fakta bahwa Brian sudah lama mengenal keluarga Hanna Wiratmaja, dan berkata bahwa mereka berhutang sesuatu dengannya. Fakta itu sama sekali tidak membuat Melvin nyaman. "Menurut kamu, apa yang Brian bilang tadi benar atau cuma dibuat-buat untuk memprovokasi aku aja? Tentang Tante Hanna dan keluarganya yang berhutang sama dia?" Pertanyaan Melvin itu dijawab oleh Lea dengan gelengan kepala. "Aku nggak tau, Melvin." "Dan tentang dia yang ternyata sudah lama kenal dengan keluarga Tante Hanna, bisa jadi berarti sesuatu kan?" Kali ini, Lea mengangguk. Itu sudah jelas. Relasi antara keluarga Hanna Wiratmaja dan Brian, hanya semakin memperkuat tuduhan terhadap Savero. Nggak. Nggak mungkin. Belum tentu. Dalam hati, Melvin masih berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri, meski keyakinan itu hanya tersisa sedikit. Dan pada akhirnya, sedikit keyakinan yang tersisa itu pun lenyap secara tiba-tiba ketika telepon dari Selatan datang. Cukup lama Melvin memandangi layar ponselnya yang menunjukkan kontak Selatan meneleponnya. Terasa berat baginya untuk mengetahui apa yang mereka temukan di apartemen Savero. Akhirnya, Lea mengambil ponsel dari genggaman Melvin, karena tau Melvin tidak sampai hati untuk mengangkat telepon itu. Dan Melvin pun membiarkan Lea saja melakukan itu. "Halo? Gimana? Kalian nemuin sesuatu?" Jantung Melvin bertalu-talu cepat, hingga rasanya ia bisa mendengar detakan itu dengan telinganya sendiri. Lalu berdetak semakin cepat lagi hingga sugesti rasa sakit muncul ketika ia menyadari raut wajah Lea yang perlahan berubah. Lea bahkan tidak sempat berpamitan pada Selatan setelah mendengar semua penjelasannya, dan langsung memberitahu Melvin inti dari penjelasan Selatan tadi. "Mereka ketemu banyak bukti yang menunjukkan...kalau memang Savero dalangnya." Di detik itu, rasanya sebagian dunia Melvin runtuh.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN