"Ke Bandung? Hari ini banget?"
"Sekarang sih, tepatnya."
Melvin tahu, dari raut wajah Savero sekarang, terlihat jelas bahwa ia terkejut bukan main dengan perintah yang baru saja Melvin berikan untuknya. Dan tidak hanya terkejut, Savero juga nampak sedikit kesal karena Melvin yang secara tiba-tiba menyuruhnya untuk pergi ke luar kota. Tanpa ada pemberitahuan sejak kemarin-kemarin, dan ia memerintahkan Savero untuk pergi tepat setelah Melvin memberitahunya.
"Nggak biasanya banget lo nyuruh gue untuk tugas ke luar kota tiba-tiba begini, biasanya lo udah bilang at least sehari sebelumnya."
Melvin mengangkat bahu santai, mencoba bersikap biasa saja di depan Savero. Padahal, diam-diam Melvin merasa cukup tegang dan gugup karena yang dilakukannya saat ini adalah membuat Savero pergi ke luar kota agar para anggota Kahraman punya banyak waktu untuk menyelidiki apartemen Savero.
"Gue juga baru dapat kabar ini tadi. Ada event di kantor cabang Bandung yang harusnya gue datangi, tapi karena hari ini gue harus nemenin Lea check up ke rumah sakit untuk kontrol kehamilannya, gue nggak bisa datang ke sana. Lea lagi grumpy dan super sensitif akhir-akhir ini, dan kalau gue batal nemenin dia check up, dia pasti marah ke gue. Jadi, gue ngutus lo buat datang ke sana."
Another lie that he just said. Tentu saja Melvin tidak memiliki agenda untuk menemani Lea ke rumah sakit hari ini. Kontrol kehamilan apanya? Mereka saja baru berhubungan untuk yang pertama kalinya semalam. Dan seseorang tidak bisa langsung hamil dalam semalam, bukan?
Savero menghembuskan napas, dan Melvin tahu bahwa Savero tidak akan bisa menolak tugas yang diberikannya itu.
"Sorry, Ro. Tapi lo beneran harus datang sebagai perwakilan gue. Di bawah supir udah siap dan lo bakal pergi ke sana bareng Tasha." Melvin menyebutkan nama sekretarisnya. "Lagian, lo sendiri yang bilang kalau akhir-akhir ini gabut karena udah lama nggak gue kasih tugas tambahan tiba-tiba. And yep, gue kasih apa yang lo mau."
"Oke." Kepala Savero terangguk pasrah. "Jangan lupa bonusnya, Bos."
Melvin tersenyum. "Sure. Pasti gue bakal kasih bonus dengan nominal yang lo suka."
"Gue pergi dulu kalau gitu."
"Take care."
Savero hanya menjawabnya dengan gumaman, kemudian ia keluar dari ruangan Melvin untuk menjalankan tugas yang baru saja diberikan untuknya. Bersama Tasha, sekretaris Melvin, ia akan pergi menuju Bandung diantar oleh supir yang telah menunggu di bawah. Dan supir yang Melvin utus merupakan seseorang dari Kahraman, yang tugasnya tidak hanya mengantarkan Savero dengan selamat ke tempat tujuan, tapi juga untuk memastikan Savero baru kembali ketika urusan di sini sudah selesai.
Selepas Savero pergi, Melvin memijat pelipisnya sendiri. Perasaannya betul-betul campur aduk sekarang, antara takut, merasa bersalah, serta tidak sabar untu menunggu hasil dari penyelidikan Kahraman di apartemen Savero yang akan dilakukan hari ini.
Begitu tahu bahwa semalam Brian Wangsa mendatangi apartemen Savero, Melvin rasa ia tidak bisa menduga rencana yang didiskusikannya dengan Lea semalam. Karena itu, ia langsung mengutus Savero keluar kota hari ini juga, sementara nantinya apartemen laki-laki itu akan digeledah. Melvin gugup bukan main akan rencana ini. Tidak sanggup membayangkan apa yang nantinya akan ditemukan di unit apartemen itu.
Bahkan sejak Lea selesai menelepon Selatan pun, Melvin sudah gugup, sehingga baik dirinya dan Lea langsung kehilangan mood untuk melanjutkan apa yang sebelumnya mereka lakukan. They little heaven ended like that. Bahkan kini kepala Melvin sudah didesaki oleh pikiran lain, sehingga tidak ada ruang lagi baginya untuk mengingat how great it was last night.
Tidak lama setelah Savero pergi meninggalkan ruangannya, Melvin beranjak dari kursi kerjanya dan berjalan mendekati jendela besar yang ada di belakang kursinya. Meski ruang kerja Melvin terletak di lantai tertinggi gedung ini, namun ia masih bisa melihat keadaan di bawah. Melvin memerhatikan mobil-mobil yang lewat di bawah dan menunggu hingga mobil yang dikenalinya melaju meninggalkan gedung.
Setelah mobil itu pergi, Melvin pun mengambil ponselnya untuk menghubungi sebuah nomor. Tanpa perlu menunggu terlalu lama, telepon Melvin pun langsung diangkat.
"Dia baru aja pergi. Kalian bisa mulai sekarang."
Melvin hanya perlu mengatakan itu, dan rencana mereka untuk menggeledah apartemen Savero hari ini pun dimulai.
Bagi Melvin, rasanya begitu salah melakukan ini. Namun, untuk menguak sebuah kebenaran, ada kalanya melanggar peraturan dibutuhkan.
***
Melvin tidak sepenuhnya berbohong tentang dirinya yang akan bertemu dengan Lea hari ini. Bedanya, ia tidak bertemu Lea untuk menemaninya check up ke rumah sakit. Melainkan, Lea akan menemani Melvin untuk menemui seseorang.
Lea bilang, ada baiknya jika mereka turut mengorek informasi dari orang terdekat Savero. Melvin sendiri tidak tahu siapa orang terdekat Savero selain dirinya dan Abby, karena memang sepengetahuan Melvin, Savero tidak dekat dengan siapa-siapa. Ia merupakan seseorang yang sangat tertutup, bahkan tidak banyak berintaksi dengan orang lain, dan selama ini hanya sibuk bekerja saja.
Ketika Lea menyebutkan jika ada baiknya mereka mencoba mengorek informasi dari Hanna Wiratmaja, alias ibu kandung Savero, Melvin sempat merasa sangsi. Yang selama ini Melvin tahu, mereka tidak dekat sama sekali. Apa yang sekirannya bisa diketahui oleh wanita itu?
"Who knows, Melvin baby? Bisa aja dia ikut terlibat. Di keluarga kamu, nggak hanya Savero yang dikucilkan, tapi keluarga Tante Hanna juga, kan?"
"Padahal, kamu dulu pernah bilang kalau Tante Hanna dan Larissa adalah dua orang yang paling kamu suka di keluargaku. Aku ingat banget, kamu bilang mereka the realest ones among the family."
"Aku masih berpikir begitu kok. Tapi, bukan berarti mereka nggak patut untuk dicurigai, kan? Mereka punya koneksi sama Savero. Dan kalau Savero memang terbukti terlibat, nggak menutup kemungkinan kalau mereka juga terlibat."
Percakapannya dan Lea tadi pagi itu pun akhirnya meyakinkan Melvin untuk menemui Hanna Wiratmaja siang ini, di saat Savero sedang dalam perjalanannya menuju Bandung, sementara para anggota Kahraman sedang berusaha berburu bukti di apartemen laki-laki itu.
Di jam istirahatnya, Lea yang pergi dengan supirnya menjemput Melvin di kantor. Tidak bisa dipungkiri, begitu masuk ke dalam mobil dan melihat Lea, rasanya Melvin seperti mendapat sedikit angin segar usai kegusaran yang dia rasakan setelah menjebak Savero untuk pergi.
Kemungkinan besarnya karena apa yang terjadi semalam, namun sekarang bukan saatnya bagi Melvin maupun Lea untuk memikirkan soal itu, apa lagi membahasnya. Timing-nya tentu tidak tepat.
Berbeda dengan anggota keluarga Wiratmaja lain yang fokus pada bisnis real estate warisan keluarga mereka, Hanna Wiratmaja justru lebih fokus pada bisnis kuliner yang dimilikinya. Tante Melvin itu memiliki restoran, kafe, dan toko roti yang diurus sendiri olehnya. Sementara suaminya yang sekarang mengurusi bisnis yang lain.
Karena itu, tujuan Melvin dan Lea hari ini adalah kafe milik Hanna. Yang Melvin tahu, sang tante paling sering berada di kafe itu setiap harinya, dibanding dengan tempat usahanya yang lain.
Dalam agenda mereka hari ini, Lea sengaja mengenakan pakaian yang longgar agar perutnya yang rata tidak begitu terlihat dengan jelas. Hanna merupakan salah satu yang datang ke pesta waktu itu, jadi kemungkinan besarnya ia akan bertanya mengenai kehamilan Lea.
Sesampainya mereka di kafe bertema klasik itu, keadaannya cukup sepi meski sudah memasuki jam makan siang. Melvin dan Lea masuk ke dalam kafe itu sembari bergandengan tangan. Tentu saja untuk menunjukkan betapa harmonisnya mereka sebagai pasangan di depan Hanna. Well, walau bisa dibilang kali ini mereka tidak lagi berakting, karena memang betul-betul sedang memiliki fase hubungan yang harmonis.
Dugaan Melvin pun tidak salah, Hanna memang ada di kafe ini. Ketika Melvin dan Lea masuk, bahkan di saat mereka belum sempat memilih tempat duduk, Hanna yang mulanya berada di ruang khusus staff pun tiba-tiba saja muncul dan langsung menghampiri mereka berdua.
"Wow...liat siapa yang datang!" Hanna menyambut kehadiran Melvin dan Lea dengan ceria. Ia tersenyum lebar, lalu memeluk mereka satu per satu.
Baik Melvin dan Lea pun balas tersenyum dengan cara yang sama padanya.
"It must be a special day karena Melvin dan Lea datang ke sini!" Goda Hanna setelah selesai menyapa dengan pelukan hangatnya. "Udah lama banget sejak kamu datang ke sini, Melvin."
"Tadi kita nggak sengaja lewat, Tante. Dan akhirnya mampir ke sini karena Melvin bilang kafe ini punya Tante. Aku penasaran dan agak kesel juga sih sama Melvin karena baru bilang kalau Tante punya kafe sebagus ini. Such a lovely place!"
Senyuman Hanna kian terkembang lebar mendengar pujian yang diberikan oleh Lea padanya. Lalu, ia mengarahkan pasangan itu untuk menempati sebuah meja kosong di sudut dekat jendela, yang menurut Lea adalah spot terbaik di kafe ini.
"Thank you for coming, you guys. Silahkan nikmati waktu kalian di sini ya, Tante panggilin waitress-nya dulu."
Hanna hendak beranjak pergi meninggalkan meja yang ditempati oleh Melvin dan Lea, namun Lea menahan wanita itu.
"Tante di sini aja, biar kita bisa ngobrol-ngobrol bareng. Kan kita udah lama kita nggak ketemu."
Melvin agak takjub melihat bagaimana Lea dengan mudahnya bisa berbaur dengan seseorang dan membuat orang itu nyaman dengannya. Sebab Hanna sama sekali tidak menolak permintaan Lea itu dan dengan senang hati bergabung dengan mereka di meja itu setelah memanggilkan pelayan. Semua karena cara Lea yang terkesan menyenangkan dan sangat welcome. Selain itu, sepertinya Hanna juga tengah merasa bosan karena kafenya sedang cukup sepi sekarang, sehingga kemungkinan tidak banyak yang bisa dilakukannya di sini.
Setelah Melvin dan Lea memesan makanan dan minuman untuk mereka, obrolan pun langsung terjadi di antara ketiganya. Sesuai dugaan, yang pertama kali dibawa Hanna ke dalam topik pembicaraan mereka adalah kehamilan Lea. Ia pun bertanya bagaimana perkembangan kehamilannya dan Lea menjawab itu semua dengan mudah meski semua jawabannya dibuat-buat. Lea tidak gugup, juga tidak terlihat berbohong sama sekali.
"Tapi kamu keren ya, Lea, masih nggak kelihatan kalau kamu lagi hamil. Badan kamu masih in shape banget."
Melvin justru yang gugup karena Hanna sempat bilang begitu.
Sementara Lea masih santai dan ia menanggapinya dengan tawa. "Mungkin karena badan aku kecil, Tante. Papa juga bilang kalau mendiang Mama dulu pas hamil juga badannya nggak banyak berubah karena udah dari sananya kecil. Mungkin udah keturunannya begitu."
"Ah you're so lucky. Kamu juga jadi tambah cantik banget karena efek pregnancy glow ya?"
Lebih tepatnya after-s*x glow, Melvin mengoreksi dalam hati. Dan ia yakin jika Lea pun diam-diam melakukan hal yang sama, namun hanya mengangguk saja menanggapi Hanna.
"Anyway, Savero mana ya, Melvin? Tumben dia nggak ngintilin kamu? Apa karena dia tau kamu mau ke sini?"
"Enggak kok, Tante. Dia lagi di Bandung sekarang, ngurusin kerjaan."
Hanna menghela napas. "Sampai sekarang Tante tuh susah banget mau ketemu sama dia. Selalu aja menghindar."
Melvin jadi tertarik. Karena Hanna membawa topik pembicaraan mengenai Savero, maka ini adalah waktu yang tepat untuknya mengorek informasi.
"Padahal aku udah bilang ke dia untuk sering-sering nemuin Tante karena Tante juga kesepian kan, soalnya Larissa nggak di sini," ujar Melvin. Lalu dilanjut dengan sebuah pertanyaan, "Tante...emang lagi berantem ya sama Savero?"
"Emangnya dia nggak cerita apa-apa sama kamu?"
Melvin menggelengkan kepala. "Cerita apa emangnya?"
Hanna tidak langsung menjawab dan terdiam selama beberapa saat. Terlihat sekali bahwa wanita itu tengah menimbang-nimbang, apakah harus menceritakan yang diketahuinya pada Melvin atau tidak.
"Tante bisa cerit sama aku. Kalau memang ada masalah, siapa tau aku bisa bantu."
"Thank you, Melvin. Dari dulu kamu selalu baik sama Savero dan keluarga Tante. Dan Tante makasih banget untuk itu, terutama karena kamu yang memperlakukan Savero seperti saudara kamu sendiri."
"We are family, so it's not a big deal."
Hanna tersenyum dan mengangguk. "Yeah, we are family," gumamnya. "Please always take care of him ya, Melvin."
Melvin benar-benar merasa munafik sekarang. Di saat tantenya meminta itu, yang sedang ia lakukan sekarang justru menginvansi privasi Savero.
"Pasti Melvin bakal ngelakuin itu, Tante. They're so much like brothers." Lea kembali bersuara, menggantikan Melvin yang diasadarinya jadi terdiam karena Hanna bilang begitu. Lea pun lanjut bertanya, "Jadi, Tante sama Savero sebenarnya ada masalah apa?"
Hanna menggelengkan kepala. "Bukan apa-apa kok," ujarnya sembari mengibaskan tangan, memberi kesan bahwa masalahnya sepele. "Biasa lah, Tante sama Savero memang sering bertengkar karena sering nggak setuju akan suatu hal. Dari dulu sudah begitu."
Melvin dan Lea secara otomatis langsung berpandangan. Keduanya sama-sama tahu jika ada sesuatu yang disembunyikan oleh Hanna Wiratmaja mengenai Savero. Dan menurut mereka, itu cukup mencurigakan.
Melvin sudah hendak mengajukan pertanyaan lagi pada Hanna, belum menyerah untuk mengorek informasi lebih darinya. Namun, tiba-tiba saja fokus Hanna berpindah. Dari Melvin dan Lea, jadi ke arah pintu masuk kafe. Lalu, wanita itu pun tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke arah pintu.
"Brian!" Sapanya pada seseorang yang baru saja datang.
Mendengar nama itu lolos dari bibir Hanna, baik Melvin maupun Lea langsung menoleh ke belakang mereka, dan keduanya pun spontan menegang melihat jika yang baru saja masuk ke dalam kafe ini adalah Brian Wangsa. Dan pria itu tenah berjalan ke arah meja mereka sekarang dengan senyum penuh arti menggantung di bibirnya.
Di balik meja, Lea meraih tangan Melvin untuk menggenggamnya erat.
"It's him," bisik Lea yang hanya bisa didengar oleh Melvin.
"I know," balas Melvin.
Pertanyaannya, apa urusan Brian Wangsa ada di sini sekarang?