Akhirnya, Melvin dan Lea terpaksa harus menjalani hubungan jarak jauh selama beberapa hari. Melvin pergi ke Melbourne untuk mengantar ibu dan adiknya, sementara Lea pergi ke Singapura bersama Poppy, untuk menemani sang adik yang memintanya begitu.
Melvin dan Lea pun berpisah di rumah orang tua Melvin. Koper berisi barang-barang Lea yang sudah disiapkannya untuk pergi ke Melbourne, pada akhirnya berakhir dia bawa untuk pergi bersama adiknya.
Mayana dan Abby pun mengerti dengan alasan Lea yang tiba-tiba tidak jadi ikut. Jika Poppy memang membutuhkan kehadiran Lea, maka mereka tidak bisa bilang apa-apa lagi, kan? Mereka hanya bisa berpamitan dengan baik pada Lea, karena setelah ini, akan sulit bagi mereka untuk kembali bertemu lagi.
"Have a safe flight ya kalian." Lea berujar setelah memeluk adik ipar dan ibu mertuanya satu per satu untuk waktu yang lama. "Sekali lagi, maaf karena aku nggak jadi ikut."
Mayana tersenyum dan mengusap lembut kepala Lea. "Nggak apa-apa, Sayang. Poppy kan lebih butuh kamu. Nanti, kapan-kapan kamu bisa main ke sana."
"Iya, santai aja." Abby menambahkan.
Lea tersenyum penuh terima kasih pada mereka. "I'll miss you guys."
"We'll miss you too, Lea. Take care ya?"
Lea menganggukkan kepala. "Kalian juga. Nanti aku sering-sering telepon Mami sama Abby."
Keduanya mengacungkan ibu jari pada Lea, lalu masuk ke dalam mobil yang akan membawa mereka ke bandara, menyisakan Melvin dan Lea yang masih berada di luar. Sedari awal Lea dan keluarganya berpamitan, Melvin hanya diam saja. Membiarkan momen mereka terlewati hingga gilirannya tiba.
Tepat setelah Abby dan Mayana masuk ke dalam mobil, Melvin menarik Lea ke dalam pelukan, dan menciumi puncak kepalanya.
"See you in five days, okay?"
Lea mengangguk. "Kamu hati-hati ya."
Melvin mendengus. "Harusnya aku yang bilang begitu. Kamu hati-hati karena mau pergi bedua sama Poppy doang."
"Tenang aja, aku bakal jaga diri baik-baik."
"Kalau ada apa-apa langsung kabarin aku."
"Iya, Melvin baby."
Keduanya melepas pelukan, lalu Lea berjinjit untuk memberikan satu kecupan singkat di bibir Melvin.
"Bye, have a safe flight."
Dengan berat hati, Melvin balas tersenyum dan mengangguk. "You too."
Lalu, Melvin ikut masuk ke dalam mobil, bersama dengan Abby dan Mayana. Dan tidak lama kemudian, mobil itu melaju meninggalkan rumah. Lea hanya bisa melambaikan tangan hingga mobil itu tidak terlihat lagi dalam pandangannya.
Selama lima hari ke depan, Melvin dan Lea akan terpisah oleh jarak yang sangat jauh.
Dan semoga saja, memang benar hanya lima hari.
***
Poppy minta dijemput oleh Lea di apartemen keluarga mereka yang ada di Jakarta, tempat yang pernah Lea tinggali waktu itu. Apartemen tersebut memang apartemen bersama mereka. Bisa dibilang juga sebagai safe place ketika mereka tidak tahu harus pergi kemana.
Lea cukup kaget melihat kondisi sang adik yang bisa dibilang kacau ketika ia sampai di sana. Wajahnya pucat, kantung matanya menghitam, dan kedua matanya membengkak karena terlalu banyak menangis.
Padahal, Lea bisa bilang kalau mereka berempat, para Sadajiwa bersama, sangat jarang menangis. Mereka sungguh tangguh dan tegar menghadapi apapun karena sedari kecil, mereka sudah ditinggal oleh ibu mereka. Belum lagi, mereka juga pernah melalui masa pelatihan keanggotaan Kahraman yang mengharuskan mereka untuk kuat, dan mengesampingkan rasa sedih. Karena itu, jika mereka sudah menangis, itu berarti apa yang dihadapi benar-benar buruk. Worst things.
Poppy tidak langsung bercerita pada Lea mengenai duduk perkaranya. Setelah Lea datang, ia langsung memakai kacamata hitam, lalu menggeret koper yang sudah disiapkannya. Lea bahkan tidak sempat masuk ke dalam apartemen lagi karena Poppy mengajaknya untuk langsung pergi.
Satu jam kemudian, mereka sudah berada di pesawat yang akan menerbangkan keduanya ke Singapura. Selama di perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam itu, Poppy juga belum mau menceritakan apapun pada Lea, dan hanya diam saja. Lea pun tidak memaksa sang adik untuk bercerita. Membiarkannya saja untuk bercerita ketika dirinya sudah siap. Tentu tidak mudah untuk berbagi cerita yang menyakiti hati, dan Lea paham itu.
Begitu tiba di Singapura, mereka langsung menuju Marina Bay Sands Singapore, tempat mereka akan menginap selama beberapa hari di sana. Poppy sendiri sudah memesan kamar sehingga mereka hanya perlu check in dan meminta kunci kamarnya.
"Selatan mau batalin pertunangan aku sama dia."
Lea baru saja menutup pintu kamar mereka dan keduanya pun masih berdiri di dekat pintu itu, ketika Poppy menyebutkan masalah yang dimilikinya. Dan masalah tersebut bagai sebuah bom meledak yang membuat Lea terkejut bukan main.
Poppy tidak menangis lagi ketika menyampaikan itu, namun nada suaranya sarat akan kesedihan.
Lea membiarkan saja koper-koper mereka tergeletak di dekat pintu, sementara ia menarik Poppy untuk duduk bersamanya di tepi tempat tidur. Ia menyerong duduknya hingga bisa melihat Poppy dengan baik. Sang adik sudah melepaskan kacamata hitam yang sejak tadi bertengger di hidungnya, sehingga sepasang mata Poppy yang bengkak kembali terlihat.
Kini Lea mengerti. Wajar saja jika Poppy menangis separah itu.
"Apa masalahnya? Kenapa dia bilang begitu?" Lea bertanya hati-hati.
Poppy terlebih dahulu menengadah, menarik napas dalam, dan menghembuskannya. Jelas sekali bahwa ia sedang berusaha keras untuk menahan tangis. Begitu sudah berhasil menguasai diri, baru lah Poppy menjelaskan perlahan.
"Karena Kak Ella sebentar lagi menikah, aku tanya ke Selatan kapan maunya dia untuk menikah juga. Selatan bilang, dia nggak mau terlalu cepat, dan maunya tiga atau empat tahun lagi. Of course I was upset, karena itu kelamaan. Aku maunya tahun depan, dan Selatan bilang dia nggak bisa secepat itu. Setelahnya kita berdebat dan mempertahankan pendapat masing-masing."
Lea hanya diam dan menyimak cerita Poppy dengan baik.
"Selatan marah banget sama aku dan menganggap aku nggak bisa ngerti posisi dia. Dan tiba-tiba, dia justru bilang kalau...dia sebenarnya nggak mau lanjutin pertunangan ini lagi. And then he left." Setetes airmata jatuh membasahi pipi Poppy, namun ia cepat-cepat menghapusnya. "Aku cuma bisa ngomongin ini ke kamu, Kak. Karena kalau sampai Papa atau Kak Ella tau, mereka pasti marah besar, dan Selatan yang akan kena imbasnya. Sementra Kak Letta punya masalahnya sendiri yang harus dia urus."
Lea mengangguk paham. Keadaannya akan jadi sangat kacau jika sampai kabar ini terdengar oleh ayah mereka dan Ella. Lea pun membawa Poppy ke dalam pelukan, mendekapnya hangat sembari mengusap-usap punggungnya lembut.
"Aku yakin kalau Selatan nggak benar-benar bermaksud bilang begitu," ujar Lea menenangkan. "Dia mungkin cuma emosi sesaat yang dipengaruhi sama kesibukan dia. Kamu sendiri yang bilang kalau dia belakangan ini lagi sibuk, kan?"
Poppy melepaskan pelukannya dan menggelengkan kepala. Airmata sudah menggenak di pelupuk matanya.
"I know he meant it." Poppy berujar yakin. Ia terlebih dahulu menghembuskan napas sebelum melanjutkan, "Because he still loves you."
Lea terdiam. Tidak menyangka Poppy akan mengatakan itu, pun tidak menyangka jika Poppy tahu mengenai masa lalunya dan Selatan. Lea pikir, selama ini ia telah berhasil menutupi semuanya dengan baik.
Seolah bisa membaca pikiran Lea, Poppy pun berkata lagi, "Selama ini aku memang tau hubungan antara kamu dan Selatan."
"I'm sorry." Hanya itu yang mampu diberikan Lea sebagai respon.
Poppy menggelengkan kepala. "Harusnya aku yang minta maaf karena sudah menghancurkan hubungan kalian. Aku yang minta Papa untuk menjodohkan aku dengan Selatan, walau tahu saat itu kalian diam-diam pacaran. Aku terlalu suka sama Selatan sampai tega ngelakuin itu ke kamu. Maafin aku, Kak."
Kali ini Poppy sudah tidak bisa menahan airmatanya untuk turun lagi. Airmatanya jatuh dengan deras, bahkan ia pun mulai terisak.
"Ini semua salahku...ini pasti karma...karena aku udah jahat..."
Lea memegangi kedua bahu Poppy, menyuruh sang adik untuk menatapnya lurus.
"Hey, look at me," pintanya. "Aku nggak pernah menganggap kamu salah. Selama ini aku selalu ngerasa kalau memang sudah takdirnya begitu. Dan itu semua sudah lewat, Poppy...nothing to worry about that anymore. Aku sudah bahagia sama kehidupanku yang sekarang dan nggak ada perasaan yang tersisa untuk Selatan lagi."
Poppy hanya diam dan memandang Lea dengan kedua matanya yang sudah basah dan memerah.
"Aku yakin, Selatan juga sayang sama kamu dan dia sangat peduli ke kamu. Saat itu, dia pasti cuma emosi sesaat. Merasa burn out karena pekerjaan, dan akhirnya secara nggak sengaja dilampiaskan ke kamu. I'll talk to him later and trust me, everything is going to be okay."
Lea kembali memeluk Poppy dan Poppy pun tidak menolaknya. Selama beberapa saat, mereka tidak bicara dan hanya diam dalam posisi berpelukan seperti itu.
Sebuah beban seolah baru saja terangkat dari pundak Lea karena pembicaraan dengan Poppy ini. Ia lega karena setelah lama, akhirnya mereka membahas masalah yang membuatnya merasa begitu bersalah terhadap Poppy selama ini. Kini mereka tahu kalau mereka sama-sama bersalah. Dan mengakui kesalahan itu pun terasa begitu melegakan.
"Tapi...kamu sekarang betulan bahagia kan, Kak?" Poppy akhirnya membisikkan itu pada Lea, memecah hening di antara mereka.
Lea menganggukkan kepala tanpa ragu. "Lebih dari bahagia."
"Sama Melvin?"
"Iya."
"Do you love him already?"
Lea tak lekas menjawab dan berpikir sejenak. Does she?
Banyak yang sudah terjadi di antara mereka selama beberapa bulan ini. Lea peduli pada Melvin, begitu pun sebaliknya. Lea senang berada di dekat Melvin, dan Lea rasa juga Melvin merasakan hal yang sama. They also attracted physically to each other. Dan harus Lea akui, ada kalanya, ada desiran yang ia rasakan di jantung dan perutnya atas beberapa hal yang Melvin lakukan padanya.
Apa hal itu sudah cukup mendeskripsikan sebuah cinta?
"Well, I don't know yet." Akhirnya Lea menjawab jujur. "But I love having him around me. Dan aku nggak suka kalau harus membayangkan hidupku tanpa dia lagi."
Tanpa sepengetahuan Lea, Poppy tersenyum. Dan ia berbisik di telinga sang kakak, "I think that's love, sist."
"Apa mungkin? Secepat itu?"
"Mungkin aja. Your husband is hot."
Lea tertawa mendengarnya, begitu juga dengan Poppy.
***
Tiga hari sudah berlalu sejak Lea dan Poppy tiba di Singapura. Poppy sudah jauh merasa lebih baik dan tidak lagi menangis karena ada Lea yang menghiburnya, menemani Poppy untuk melakukan apa saja yang diinginkannya untuk healing dalam short escape mereka kali ini.
Sudah lama sekali keduanya tidak menghabiskan waktu bersama sepertinya, sehingga rasanya begitu menyenangkan. Poppy pun memilih untuk tidak ingin menghubungi dan dihubungi oleh Selatan dulu karena hendak menenangkan diri.
Ayah mereka dan juga Ella pun sudah tahu kalau Poppy berada di Singapura bersama Lea. Sang ayah tidak keberatan meski Poppy pergi tiba-tiba sehingga pekerjaannya jadi terbengkalai. Sementara Ella protes berat karena dirinya tidak diajak dalam sisters' time Lea dan Poppy. Ia pun mengomel karena terus-terusan diajak bertemu oleh Pandu yang kini sudah resmi jadi calon suaminya.
Selama di Singapura, Lea dan Poppy sibuk menghabiskan waktu mereka untuk bersenang-senang. Mereka puas berbelanja, makan makanan enak, atau sekedar jalan-jalan di Merlion Park. Rasanya menyenangkan dan Lea jadi merasa lebih dekat lagi dengan Poppy karena short escape mereka di Singapura ini.
Hanya saja, tiga hari berada di sini, itu artinya sudah tiga hari pula Melvin dan Lea jauh dari satu sama lain. Dan karena tidak ingin membuat Poppy merasa sedih karena tidak bisa menghubungi Selatan, Lea pun harus curi-curi waktu untuk menghubungi sang suami. Seringnya ketika Poppy sedang mandi atau ketika Poppy sudah tidur. Karena waktu Australia yang tiga jam lebih dulu, maka Melvin kerap harus begadang hanya untuk menelepon atau video call dengan Lea.
Kali ini, Poppy sedang keluar sendirian. Katanya ingin ke mini market di dekat hotel untuk membeli sesuatu dan tidak ingin ditemani. Kesempatan ini pun dimanfaatkan Lea untuk menghubungi Melvin. Ia menelepon sang suami dengan panggilan video.
Tanpa perlu menunggu lama, panggilan video itu pun diangkat.
"Hey, babe. Masih ingat punya suami?" Ledek Melvin tepat setelah video call mereka tersambung.
Lea tertawa kecil. "Sebenarnya nggak ingat sih. Tadi aja aku tukeran nomor sama bule di Merlion Park."
"Not funny," ujar Melvin sambil merengut. Ia tahu kalau Lea hanya bicara.
Lea tertawa-tawa saja melihat wajah merajuk suaminya.
"Kamu habis ngapain?" Tanya Lea kemudian.
"Habis temenin Mami belanja perabotan buat ngisi penthouse di sini. Mami bilang, nggak suka sama desain bekas aku dulu, jadi mau dirombak semuanya. Biasa lah, ibu-ibu rempong," jelas Melvin. "Sebentar lagi kami mau keluar makan malam. Kamu sendiri habis ngapain? Si Poppy mana?"
"Biasa, tadi kita habis belanja lagi. Si Poppy lagi keluar, katanya mau beli sesuatu di mini market bawah."
"Oh okay." Melvin mengangguk paham. Selama beberapa detik ia hanya diam dan memandangi Lea lewat layar. Lantas ia berujar, "I miss you a lot anyway."
Lea nyengir. "Padahal baru tiga hari," ujarnya. "But I miss you too, Melvin baby."
"Kalau kerjaan aku selesai besok siang, malamnya aku langsung pulang. Kamu jadi pulang besok pagi, kan?"
"Iya."
"Ajak Poppy nginep di rumah aja, biar nggak sendirian di rumah."
Lea hanya mengacungkan ibu jari karena tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu. Karena tidak ingin membuat Melvin khawatir, ia pun pura-pura melihat ke arah pintu kamar hotelnya.
"Eh, kayaknya Poppy udah pulang tuh," ujarnya cepat. "Talk to you later, okay?"
Melvin mengangguk. "Okay. See you, Sayang."
Lea hanya tersenyum, lalu mengakhiri video call-nya dengan Melvin, kemudian melemparkan ponselnya asal ke atas kasur sementara dirinya berlari menuju kamar mandi. Begitu sudah mencapai westafel, Lea yang tiba-tiba merasa mual pun langsung memuntahkan isi perutnya di bak westafel. Saat melirik cermin di depannya, Lea bisa melihat wajahnya yang seketika memucat setelah ia berhasil muntah.
Ketika sedang berkumur dan membasuh wajahnya, Lea mendengar pintu kunci kamarnya dibuka, dan langkah kaki mendekat. Lalu, Poppy muncul di hadapan Lea, dan menyerahkan sekotak test pack.
"Aku capek dengerin kamu muntah-muntah terus dari kemarin, Kak. Jadi, nih buruan tes. I'm think you're pregnant. Kamu juga emang udah telat datang bulan, kan?"
Lea melongo sebentar memandang test pack yang diserahkan sang adik. "Kamu ke bawah cuma beli ini?"
Poppy mengangguk. Karena Lea tak kunjung bergerak, maka ia pun menarik sang kakak dan mendorongnya untuk masuk ke bilik toilet, dan tidak lupa juga menyerahkan kotak test pack-nya.
"Make it quick ya. Aku juga penasaran sama hasilnya!"
Karena sudah dipaksa oleh Poppy dan mustahil baginya untuk menolak lagi, Lea pun membuka kotak test pack itu dan menggunakannya. Jantungnya berdegup kencang melakukan itu semua, karena tiba-tiba saja ia merasa gugup.
Di saat hasil di test pack belum keluar, Lea sudah memutuskan untuk keluar dan kembali menemui Poppy. Sang adik memandangnya dengan sepasang mata yang berbinar penasaran.
"Gimana hasilnya?" Tanya Poppy bersemangat.
"Kita tunggu sama-sama aja," ujar Lea.
Berdiri di dalam kamar mandi, keduanya pun memandangi test pack yang tergenggam erat di tangan Lea. Poppy yang ikut gugup pun memegangi tangan Lea yang dingin. Dan setelah lima menit menunggu, perlahan mereka melihat dua garis merah muncul di sana.
Poppy berteriak heboh. "OH MY GOD!!!! YOU'RE PREGNANT!!!"
Sementara Lea hanya bisa melongo tidak percaya memandangi hasil dua garis merah yang dia lihat.
Oh my God...she's pregnant.