Orang-orang Baik

1208 Kata
Ningsih kembali menghampiri ku dengan penuh tanya. Ia sekarang sedang duduk di atas kasur menghadap ke arahku. Tadi, begitu aku sampai aku segera mandi lalu melaksanakan salat ashar. Dan saat aku hendak merebahkan tubuh, Ningsih tiba-tiba datang mempertanyakan hal tadi. "Teh Queen kenapa? Ayo ih, cerita!" Entah dia peduli atau hanya ingin tahu saja. Tapi aku berterima kasih karena antusias menanggapi perubahan pada diriku. "Pacarku selingkuh, Ning," jawabku. Baiklah akan kucurkan semuanya saat ini pada Ningsih. Karena memang sejak tadi pagi aku lebih memilih memendam dari pada mengekspresikannya. Lebih tepatnya setelah aku menangis di depan Iqbal tadi, aku rasa Iqbal tak suka aku bersedih. "Apa? Ya ampun, Teteh udah pastikan itu beneran?" "Dia selingkuh di depan mataku sama temenku." "Wah, gelo eta mah! Terus tadi Teteh darimana?" "Aku jalan-jalan sama Iqbal. Terus HPku hilang." "Ya Allah, sabar ya, Teh." Ah, sebetulnya aku tak perlu kata-kata itu. Bahkan hatiku juga rasanya sudah mulai tenang tanpa harus berekspresi. Jangan deh, jangan sampai aku nangis lagi. Menceritakan semua itu hanya bikin mata panas. "Iya, Ning. Dan sekarang aku lelah banget pengen istirahat." "Tanggung, Teh. Jangan tidur sore katanya pamali, selain itu juga bikin vertigo." "Emmm ya udah, kamu temenin ya!" "Siap! Tapi Teteh udah makan belum?" "Belum sih, Ning. Tapi gampang lah nanti malam, lagian belum masak nasi." "Eh, jangan gitu! Aku ambilin ya!" "Gak usah, Ning. Ngerepotin!" tolakku tapi terlambat. Anak gadis Ibu kos itu telah melenggang ke luar kamar. Tak lama kemudian, ia datang dengan nampan berisi sepiring nasi dan bakwan udang serta semangkuk sup ayam yang masih panas mengepul. "Ayo makan dulu, Teh!" ajaknya seraya meletakkan nampan di atas lantai. Aku pun beringsut bangun mendekat. "Apa kata Ibumu, Ning, kamu bawakan makanan ke sini?" "Udah Teteh, tenang aja! Nggak apa-apa, kok." "Kamu sendiri udah makan?" "Udah, Teh. Tadi." "Ayo makan lagi. Aku jadi nggak enak." "Udah makan aja. Aku temenin sambil baca n****+, ya! Pinjam n****+, oke!" "Iya, sok ambil aja!" Ningsih mengambil satu n****+ dari tumpukan buku n****+ yang berjajar di mejaku. Aku sendiri menikmati makanan yang dibawakan Ningsih. Perut kosong ini sangat mendukung sehingga aku benar-benar menikmatinya. Aku senang kenal dengan orang seperti Ningsih. Walau kita masih terbilang baru kenal, tapi dia sangat baik padaku. Entah memang dia baik atau karena aku dekat dengan orang yang disukainya. Namun, tak masalah. Biar aku comblangin saja dia pada Iqbal karena sepertinya mereka cocok memiliki sifat peduli dan kepekaan yang sama. "Ah, kenyang. Makasih banyak ya, Ning." "Sama-sama, Teh." "Oh ya, aku sangat berterima kasih kamu sangat baik padaku. Tapi kalau boleh tahu, apa yang membuat kamu begitu baik padaku padahal kita baru kenal loh?" "Entah, saat pertama kali kita bertemu aku sangat ingin dekat dan akrab dengan Teh Queen. Dan sangat kebetulan saat tahu Teteh deket dengan A Iqbal jadi makin pengen lebih dekat lagi deh." "Apa kamu mendekatiku karena ingin dekat dengan Iqbal?" "Mungkin ya, tapi bukan alasan utama." "Eemmm, oke. Kamu sendiri gimana, sudah coba hubungi Iqbal?" "Belum, Teh. Aku bingung harus mulai dengan apa, lagian aku belum pernah deketin cowok." "Aih, terus ngapain minta nomor dia?" "Ya, itu … mana tau setelah aku semakin dewasa semakin berani ngungkapin perasaan sebetulnya." "Boleh juga pikiranmu. Tapi dari kapan kamu suka dia?" "Dari enam bulan ke belakang. Aku sering memperhatikan dia karena sikapnya yang sopan juga baik. Saat itu dia lagi ngobrol sama temennya, lalu ada nenek-nenek yang mau nyebrang. Dengan cekatan dia bantu nenek-nenek itu." Ningsih bercerita mengingat awal mula ia menyukai Iqbal. "Terus pernah juga aku satu angkot sama dia. Angkutan penuh saat di tengah jalan seorang ibu hamil menghentikan, tapi si supir tetap berhenti dan memaksakan agar penumpang memberi celah untuk duduk. Saat itu tak ada yang mau mengalah termasuk aku, hehe. Dan A Iqbal lah yang turun memberi tumpangan pada ibu hamil itu, sedangkan dia sendiri memilih untuk berdiri di pintu oplet." Aku mengangguk-angguk mendengar cerita Ningsih. Aku sendiri percaya sih, walau dia bukan orang yang taat beragama tapi sikap dan perilakunya memang baik. Tak jarang dia membantu dan menolong orang saat diminta bantuan. "Terus kamu tahu dari mana namanya Iqbal?" "Pernah aku lagi ngeliatin dari kejauhan dia dipanggil temennya. Di situ aku tahu namanya." "Hahaha. Unik juga cara kamu kenal dia. Selama ini kamu hanya pengagum dia dari kejauhan?" "Iya, Teh. Dan tak ada satu pun orang yang tahu kecuali, Teh Queen." "Kamu gak pernah curhat atau apa gitu?" "Curhat, tapi di buku diary." "Ya ampun, Ningsih. Lucu banget, hahaha. Masih zaman ya, sekarang buku diary?" "Haha masih lah, Teh. Buktinya aku masih pake!" "Apa kamu ada keinginan lebih?" "Keinginan sih ada. Tapi aku tidak terlalu berharap." "Nanti aku bantu kenalin mau?" "Sekedar ngenalin boleh lah, tapi Teteh jangan terlalu memaksakan A Iqbal, ya!" Aku hanya tersenyum. Tenang aja, Ning. Aku akan memberikan kamu kejutan dengan mengabulkan keinginan kamu. Tak terasa adzan magrib pun berkumandang. Ningsih pamit pulang dengan membawa nampan kembali setelah aku berterima kasih. Sebelumnya aku bilang akan mengantar piring bekas makan ke rumah Ningsih setelah aku mencucinya, tapi dia menolak dan menyuruhku untuk istirahat saja setelah melaksanakan shalat. Aku pun bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu kemudian segera melaksanakan shalat sendiri. Mata ini sudah sangat berat sehingga aku pun memutuskan untuk segera tidur selepas shalat. *** Aku terbangun saat suasana sudah sangat sepi. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Aku teringat belum melaksanakan shalat isya, maka aku segera melaksanakannya. Tetiba rasa sakit itu kembali terasa. Kejadian kemarin pagi kembali teringat. Aku tak habis pikir dan benar-benar kecewa pada dua orang itu. Bagaimana bisa mereka melakukan semua di belakang, padahal tak pernah terlintas hal itu di pikiranku. Aku pun jadi teringat. Bagaimana aku berjauhan dengan Iqbal karena menuduhnya membual. Bahkan saat semua telah terbukti Iqbal justru malah tak menyalahkanku dan justru berusaha menghibur. Ah, betapa bodohnya aku saat itu. Air mata yang kutahan sejak tadi siang, akhirnya jebol juga. Aku bukan menangisi pria macam Rival. Hanya saja, sebagai wanita harga diriku merasa terluka. Aku banyak melakukan hal bodoh hingga meminjamkannya uang. Dan sekarang malah aku yang tersakiti. Kutumpahkan semua air mata di atas sajadah. Malam ini aku merasa hampa. Namun, setelah itu aku sadar aku masih dikelilingi orang-orang baik. Iqbal dan Ningsih di antaranya. Setelah puas menangis, aku pun kembali melanjutkan tidur. *** Pagi ini seseorang datang mengetuk pintu kamar saat aku tengah membaca n****+. Aku enggan keluar kamar jadi kuputuskan mengurung diri dan menggunakan kekosongan waktu dengan membaca. Kubuka pintu, rupanya Teh Pibi yang datang dengan membawa kantong plastik hitam ukuran kecil. "Ini, Queen. Seorang laki-laki menitipkannya padaku tadi pas lagi sarapan." Ia menyodorkan kantong plastik itu padaku. "Oh iya, Teh. Makasih." Aku segera menerimanya karena kutahu ini pasti dari Iqbal. Satu porsi lontong sayur segera kutuangkan ke dalam mangkuk. Terdapat secarik kertas di dalam plastik itu. Jam delapan aku tunggu di depan, ya. Kamu bersiap kita pulang ke Purwakarta dulu. Alisku bertautan tentu saja heran. Namun, aku segera menghabiskan sarapan begitu melihat jam dinding menunjukkan pukul 07.00. Aku pun bergegas mandi dan segera bersiap. Iqbal sudah siap menunggu di atas motornya. Kemudian ia menyerahkan helm untuk segera kugunakan. Aku pun menurut dan segera duduk di belakangnya. "Ada apa pulang?" tanyaku setelah Iqbal mulai melajukan motornya. "Bunda menyuruh pulang." "Bunda? Kamu bilang aku hilang HP?" "Bunda yang tanya duluan, aku ceritakan yang sebenarnya. Pokoknya kita pulang aja." "Oke!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN