Empat

1090 Kata
Ternyata jika ingin mendaki gunung itu butuh modal yang lumayan besar. Dulunya sempat berpikir kalau anak-anak gunung yang sering terlihat di stasiun, terminal ataupun bandara memakai ransel gede itu biasa saja. Malah ada yang terlihat seperti gembel. Padahal, biaya untuk naik gunung itu tidak lah murah. Mulai dari carrier hingga sepatu. Walaupun baru pertama kali naik gunung, Shasa tidak mau asal-asalan. Seminggu sebelum berangkat, waktu itu dia nyempatin buat belanja perlengkapan gunung di toko outdoor. Dia membeli daypack ukuran 30 liter, sleeping bag, sepatu, sarung tangan tebal, jaket dan celana gunung. Untuk semua itu barang itu merk consina. Tidak lupa juga dia membeli matras untuk alas tidur. Total belanjaannya hampir 3 juta-an. Karena saran dari Zio, dia tidak perlu membeli carrier yang ukurannya lebih besar. Semakin besar ukurannya, harganya pun semakin mahal. Shasa dan Satria saat ini sedang turun dari puncak gunung. "Pelan-pelan dong, Sat. Tungguin gue!" Satria berdecak. Dia berhenti dan membalikkan badannya menghadap Shasa yang tertinggal di belakang. Setelah cewek itu sejajar dengannya, Satria menahan tangannya. "Tunggu, jangan jalan dulu!" "Kenapa?" tanya Shasa heran. Cowok itu melepaskan tangannya. "Kalau turun gunung itu ada tekniknya. Jangan asal, yang ada lo bakalan jatoh," ujar Satria. "Gimana emang?" tanya Shasa mengernyit. "Usahain tumit kaki lo yang nginjek duluan, jangan jalan lurus, agak menyamping gitu, kurang lebih kayak main sepatu roda. Nih gue contohin!" Satria memberikan contoh melangkah begitu cepat sampai lumayan jauh ke bawah. Shasa yang paham langsung segera mencoba seperti apa yang Satria lakuin. Sangat menyenangkan. Begitu cepat dia turun sampai di sebelah Satria yang berhenti sambil menunggu cewek itu. Kurang dari 1 jam, mereka sudah berhasil turun melewati pasir kerikil tersebut. Padahal waktu naik butuh waktu berjam-jam lamanya. Dari tengah malam hingga pagi hari, terutama bagi Shasa. Karena Satria summit paling belakangan dan santai, banyak istirahat. Bahkan di sempat rebahan santai di sebuah batu besar. "Lo yakin lewat sini ke tenda kita di Kalimati?" tanya Shasa ragu. "Hmmm." "Perasaan semalam nggak lewat sini deh." Shasa mencoba mengingat jalan yang ditempuhnya semalam. "Bawel." "Sat, gue takut. Nanti kalau kita nyasar gimana?" Suara Shasa mulai bergetar. Mendengar suara Shasa yang sudah mulai begetar, Satria langsung menoleh. Dilihatnya mata cewek itu nampak berkaca-kaca. Satria menghela nafasnya kasar. Dia paling malas sebenarnya berurusan dengan cewek, suka bikin ribet dan juga cengeng! "Nggak bakalan nyasar, percaya sama gue. Jangan takut, ada gue!" Dia berusaha menenangkan Shasa. Bukannya tenang, Shasa malah menangis. "Gu-e takut nanti kita nggak bisa pulang.” Satria bingung, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia paling tidak bisa berurusan dengan perempuan yang menangis. Satria mengangkat tangannya hendak menyentuh bahu Shasa, seketika dia mengurungkannya. "Udah, lo jangan nangis. Gue udah pernah ke sini. Lo tenang aja, oke?" Shasa menahan isakan tangisnya. "Benar?" "Terserah kalau nggak percaya. "Shasa menatap mata Satria, mencari kebenaran omongan cowok itu. "Kenapa lihatin gue kayak gitu?” Satri membuang pandangan ke sembarang arah. "Nggak kenapa-napa. Yuk jalan!" seru Shasa. Satria tahu, Shasa keliatannya masih takut. Digenggamnya tangan cewek itu tanpa menoleh ke arahnya. Pipi Shasa merona seketika melihat tangannya yang digenggam oleh Satria. Kemudian, dia menggelengkan kepala. Dia tersenyum mengikuti jejak langkah kaki cowok itu. Lima belas menit kemudian, Shasa langsung mengembangkan senyumnya ketika melihat tenda rombongannya di balik celah beberapa semak belukar. Dia melirik Satria yang masih mengenggam tangannya. Keluar dari semak, Satria langsung melepas genggamannya. "Makasih, Sat." "Hmmm." Dasar kulkas, ngomong irit bener. Emang situ oke? cibir Shasa dalam hati. Kemudian dia cekikikan sendiri. "Kesambet lo?" "Enggak. Emang kenapa?” "Cekikikan sendiri." Satria menggelengkan kepalanya. Gue ngetawain lo kali, dasar cowok galak! "Tenda gue udah dekat tuh. Dah Satria!" Shasa berlari kecil ke arah tendanya. Sedangkan Satria masih terdiam mengamati tingkah Shasa. Kayak bocah! Belum lari begitu jauh, Shasa tiba-tiba berbalik menoleh Satria. "Oh ya, sekali lagi makasih buat semuanya." Shasa tersenyum, sangat cantik. Tanpa menunggu jawaban Satria, Shasa langsung balik badan kembali. ”Hmmm.” Tanpa mereka berdua sadari, ada seorang cowok yang mengepalkan tangannya saat melihat mereka yang baru saja keluar dari semak. Dia dari tadi tidak tenang karena Shasa belum turun juga. *** "Coba aja boleh dipetik ini bunga, pasti gue udah ambil nih buat dua sahabat gue," gumam Shasa pelan. "Lo kira itu bunga mawar yang bisa seenaknya dipetik?” Shasa mendongak mendengar suara itu. Si cowok kulkas ternyata tiba-tiba muncul tak jauh darinya. "Gue tahu kalau nggak boleh dipetik," jawab Shasa tanpa menoleh lagi ke sumber suara tersebut. "Iya, awas aja lo kalau sampai metikin!" ”Gue bukan anak kecil yang harus dibilangin berkali-kali,” sahut Shasa memutar bola matanya malas. "Lo nggak rapihin barang buat turun? Jangan bikin ribet, teman lo nanti lama lagi nungguin.” Nah, mulai banyak omong lagi nih cowok. Ah tapi kan jarang, momen langka. "Udah barusan." Satria melangkah menjauh dari sana tanpa menyahut lagi. Masih asik menikmati keindahan bunga abadi itu, tanpa disadarinya ada cowok sedang memotonya. Pas sekali, cowok itu menangkap gambar disaat Shasa tersenyum memegang bunga itu. Sore hari, mereka tiba kembali di Ranu Kumbolo. Mereka mendirikan tenda kembali dan bermalam lagi di sana. Satria, cowok itu ternyata sudah mendirikan tenda terlebih dahulu. Dia sedikit agak jauh dari beberapa tenda orang yang lainnya. Selesai makan malam, Shasa dan kedua teman ceweknya duduk di pinggir danau Ranu Kumbolo. Mereka bertukar cerita mengenai pengalaman konyol selama naik gunung. Shasa tersenyum, namun kemudian matanya menangkap sosok cowok yang baru saja keluar dari tendanya di pinggir danau dekat batang kayu yang roboh. Cowok itu duduk diatas batang kayu sambil merokok. Kok dia ngerokok sih, gue kan nggak suka cowok yang ngerokok. Eh, ngapain juga sih gue ngurusin dia. Itu kan haknya dia, emang gue siapanya? Tapi kan gue sebal, pokoknya nggak suka sama cowok perokok!! "Mega, Rini, gue duluan ke tendanya. Udah ngantuk banget ini!" ujar Shasa bangkit dari duduknya. "Ya udah, duluan aja. Nanti kita nyusul, masih pengen di sini soalnya," sahut Rini, yang diangguki juga oleh Mega. Sebenarnya Shasa belum begitu ngantuk. Entah kenapa, melihat Satria yang merokok mendadak dia jadi badmood. "Dari mana?" tanya Guntur ketika Shasa akan memasuki tenda. "Pinggir danau." "Sendirian?" "Enggak, sama Rini dan Mega. Mereka masih betah disana." Guntur manggut-manggut. “Sha, foto-foto yuk!" Shasa mengernyit. "Malam-malam begini?" "Iya, bagus tahu! Coba lihat bintang di atas sana. Bagus tuh, serasa berada di atas bukit itu!" tunjuk Guntur ke bukit yang berada di seberang danau. "Yuk!!!" "Maaf, Tur. Gue udah ngantuk banget. Ini mau tidur," tolak Shasa halus. "Ya udah deh, sana tidur. Mimpi indah yah!" Shasa tersenyum dan mengangguk. Gagal deh pendekatan gue malam ini, batin Guntur. Saat menuju pinggir danau, dia tidak sengaja menyenggol lengan seseorang. "Lo- “
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN