Lima

1011 Kata
“Papa dan mama kangen. Lo nggak niat pulang?” Satria berdecih mendengar hal yang dirasanya mustahil itu. "Mereka nggak bakalan kangen gue, kan ada elo anak emasnya." Dua cowok sedang duduk di pinggir danau Ranu Kumbolo, mereka adalah Satria dan Guntur. Dua orang itu adalah kakak beradik, namun jarang akur. "Mereka berdua nggak pernah pilih kasih, perasaan lo aja kali.” "Lo bisa mendapatkan apa yang lo mau. Lo selalu jadi kebanggaan, beda sama gue.” "Tapi gue iri sama lo, Sat! Lo hidup mandiri tanpa mau dibantu sama sekali sama kedua orang tua kita.” Satria tersenyum sinis. Dia tau apa yang dikatakan kakaknya tersebut cuma omongan kosong belaka. Bukan yang sebenarnya. Iri katanya? Mana mungkin? Seorang Guntur selalu ingin terlihat lebih menonjol dibandingkan adiknya itu. Dia bisa mendapatkan apa yang dia mau tanpa harus berusaha keras. Mereka berdua adik kakak yang selisih umurnya hanya satu tahun, Guntur kakaknya. Sejak lulus SMA, Satria memutuskan untuk tidak tinggal bersama keluarganya. Dia memilih tinggal di sebuah apartemen. Walaupun baru lulus SMA, dia sudah memiliki cukup tabungan untuk membeli apartemen. Uang yang diberikan oleh orang tuanya sewaktu sekolah yang nominalnya lumayan besar, ditabung olehnya. Belum lagi sejak kelas 2 SMA, dia membuka usaha distro bersama tiga orang temannya. Sekarang, malah bertambah lagi usahanya. Dia menjual dan menyewakan perlengkapan outdoor, yang ini cuma miliknya sendiri. Makanya, dia menolak bantuan dari orang tuanya untuk biaya kuliah dan kehidupannya sehari-hari. Setelah larut dalam keheningan, akhirnya Satria mulai bangkit dari duduknya. "Duduk dulu, gue belum selesai bicara!" titah Guntur. "Mau ngomong apa lagi emangnya?” "Gue harap lo sempatin pulang ke rumah!" "Nggak janji!" jawab Satria santai. Kembali ke rumah dan hampir selalu dibanding-bandingkan dengan sang kakak? Satria jengah sekali rasanya. “Udah nggak ada yang mau diomongin lagi, ‘kan? Gue capek, mau tidur.” "Tunggu dulu!" "Apa lagi?” Satria terlihat mulai kesal, namun berusaha tetap tenang menahan emosinya. Sang kakak yang hobi sekali memancing emosinya. "Jangan dekat-dekat, Shasa! Dia gebetan gue!" Satria tertawa sinis. Dia yang sudah melangkahkan kaki, kembali berbalik badan. Dia berjalan kembali mendekati cowok itu. "Kalau nanti dia suka gue gimana?" tanyanya sengaja memancing emosi sang kakak. "Jangan mimpi! Lo itu nggak ada apa-apanya dibanding gue. Lihat nanti siapa yang bakal dia pilih." Guntur tak terima rasanya melihat Shasa yang summit bersama adiknya itu. Rahang Satria mengeras, tapi dia berusaha untuk tidak emosi. Kakaknya itu masih menyombongkan diri seperti biasanya, Satria paham betul wataknya. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia melangkahkan kembali kakinya menuju tenda. Memang banyak sisi menonjol dari kakaknya itu dibandingkan dirinya. Namun dari segi fisik, mereka berdua sama-sama memiliki wajah yang tampan. Hanya saja tak ada yang tahu jika Guntur adalah seorang player, berbeda dengan Satria yang dingin—tak mudah jatuh cinta. *** Guntur tampak fasih berbicara dengan dua orang bule yang akan menggunakan jasa jeep juga turun dari Ranu Pani ke Pasar Tumpang. Cowok itu memang cerdas. Bule itu mengangguk tanda setuju, mereka semua akan menaikin jeep yang sama termasuk Satria. Biar tidak terlalu banyak di bagian belakang, maka kedua bule itu duduk berdua di depan. Tiba di Pasar Tumpang, Shasa langsung mengeluarkan ponselnya. Setelah nyala, ada beberapa notifikasi. Ada banyak dari cowok dan kedua sahabatnya. Shasa hanya membuka roomchat bersama temannya. BFF Dian Hallo Sharaza cuantikkk, pulang kapan? Rania (2) Dian Gak kreatif banget lo, Ran. Ikut2an aja Rania Bomat! Dian Ishh!! Btw Shasa lama juga yah, udah turun belum tuh anak. Jgn2 ada apa2 lagi! Rania Husshh, sembarangan!! Mungkin dia lelah. Shasa tersenyum membaca roomchat sahabatnya itu. Pesan tersebut sudah dari 2 hari yang lalu. Berarti sewaktu dia masih berada di atas gunung. Ponselnya sengaja dia matikan supaya hemat baterainya dan juga tidak ada sinyal sama sekali. Tidak hanya Shasa, saat ini yang lainnya juga sibuk dengan ponselnya masing-masing. Maklum saja, mereka beberapa hari tidak mendapatkan sinyal. Mungkin hanya Satria, si cowok dingin satu itu tengah duduk santai di sebuah jeep yang terparkir yang tidak sibuk dengan ponsel. Melainkan dengan sebatang rokok di di tangannya. Shasa mendengkus, jelas dia tidak suka sekali sama asap rokok. Nothing's gonna changed my love for you, You oughta know by now how much I love you.... Lagu jaman old milik westlife, tanda adanya panggilan masuk ke ponsel Shasa. Cewek itu itu langsung mengalihkan pandangan dari Satria ke ponselnya. Revan is calling..... Shasa menekan tombol tanda hijau dan mengarahkan ponsel ke telinganya. "Hallo?" "Gimana keadaan lo, Sha? Baik-baik aja kan?" "Alhamdulillah baik." "Syukur kalau gitu. Lo udah dimana sekarang?" "Masih di Malang, baru turun." "Oh, ya udah. Pulang kapan?" "Nanti, naik kereta sore." "Berarti nyampe stasiun nya besok pagi, ya? Gue jemput, mau nggak?" Shasa berpikir sejenak. Dia melihat ke arah Satria, ternyata cowok itu tengah memandangnya juga. Shasa langsung membuang mukanya. "Sha, hallo??? "Eh, iya Van. Mm... maksud gue nggak usah jemput! Gue naik taxi online aja." "Sekali ini aja, Sha." "Hmmm... terserah lo deh." "Ya udah, sampe ketemu besok cantik!" "Iya." Setelah semuanya selesai dan membersihkan diri di kamar mandi area stasiun Malang, mereka semua bersiap untuk kembali ke Jakarta menggunakan kereta pukul 18:00. "Kita jodoh kali, ya? Bisa dapet tempat duduk hadap-hadapan lagi," ujar Guntur menyengir—sengaja agak mengeraskan volume suaranya karena melihat sang adik yang duduk di kursi seberang, yang berarti sejajar dengan Shasa dan Rini. Sementara Guntur duduk bersama Adli, teman kuliahnya. Cewek itu cuma tersenyum menanggapi perkataan Guntur. Dia menoleh ke arah Satria, cowok itu sedang melihat ke arah jendela. Sedangkan Rini dan Adli langsung terkekeh mendengar gombalan Guntur. Guntur terlihat kesal saat tahu ke mana arah pandangan Shasa. "Ngeliatin apa, Sha?" "Eung.. itu di sana, ada sawah. Aku jarang ngeliat sawah," ujar Shasa mengelak saat Guntur bertanya. "Ooh. Bagusnya kalau pagi ngeliat pemandangan sawah. Ada sunrise yang bikin lebih indah dilihat." Shasa mengangguk setuju. Dia tahu karena waktu berangkat dari arah Jakarta menuju Malang, keesokan harinya dia melihat pemandangan hamparan sawah disaat matahari mulai terbit. Yang lain, rata-rata masih pada tidur. Mungkin karena tidak begitu nyenyak tidur di kereta pada malam hari, jadi paginya masih tidur nyenyak. Jam 8 baru rata-rata baru bangun, 1 jam sebelum tiba di stasiun Malang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN