Dua puluh dua

1585 Kata
”Gue cari ke mana-mana, ternyata lo di sini. Nggak capek nangisin gue?" Shasa membalikkan badannya, menatap orang yang juga tengah menatapnya hangat. "Satria," cicit Shasa pelan. Dia segera menghapus air matanya. Cowok itu berjalan mendekati Shasa. "Lo ngapain di sini?" "Kenapa? Nggak boleh? Ya udah, gue balik lagi kalau gitu.” "Hmm. Maksud gue, acara tunangan lo gimana? Udah selesai?” Shasa tersenyum getir, menahan sesak di dadanya. "Nggak ada yang tunangan," potong Satria. Shasa mengernyit tidak mengerti apa maksud perkataan Satria. Jelas-jelas dia tadi melihat Satria akan menyematkan cincin ke jarinya Shilla. "Maksud lo?" "Batal.” "Lah kok? Gue nggak ngerti.” Satria menghela napasnya pelan. Kemudian dia menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya kepada Shasa. Cewek itu terkejut. Tidak menyangka sepupunya berbuat hal licik seperti itu. "Aku nggak nyangka Shilla tega melakukan itu. Lo yakin?” ”Udah jelas-jelas ada buktinya.” Satria mengedikkan bahunya. "Lo ngapain di sini sendirian? Segalau ini sampe nangisin gue?" "Pede banget! Gue cuma pengen ngerasain suasana malam aja kok," elak Shasa. Satria mencebikkan bibirnya, tahu jika Shasa berbohong. Merasa semilir angin yang cukup dingin saat ini, Satria melepaskan jas yang dipakainya. Dipakaikannya jas itu ke pundak Shasa. Dia tahu cewek itu berusaha menahan kedinginan. "Nanti masuk angin," bisiknya di dekat telinga Shasa. "Makasih," kata Shasa pelan, berusaha menetralkan detak jantungnya. Pipinya bersemu, untung saja cahaya malam ini di atas rooftop tidak begitu terang, jadi Satria tidak akan melihat itu. "Gue suka menatap bintang di tempat ketinggian seperti saat ini," ujar Satria. Shasa pun memandang langit malam ini, sungguh indah. "Kapan-kapan, gue mau ajakin lo naik gunung. Mau nggak? Apa trauma balik dari Semeru waktu itu?” Shasa menoleh. Cowok itu kembali menatapnya hangat. "Enggak trauma, kok. Malah pengen lagi, cuma belum ada kesempatan aja.” ”So?” ”Boleh. Gue mau.” Tak lama mengobrol di atas sana, mereka pun turun dan Satria menawarkan diri untuk mengantarkan Shasa pulang. Mereka menuju mobil Satria yang terparkir di di dekat lobi hotel. Shilla menatap nanar ke arah lobi hotel. Dari balkon di depan kamar hotelnya yang terletak di bagian pinggir hotel yang membentuk huruf L, dia melihat dua orang yang sangat dikenalinya. Hatinya teriris, dia cemburu, namun tidak bisa berbuat apapun. Dia sadar, kalau kesalahan yang diperbuatnya membuat cowok yang masih dicintainya itu—semakin menjauh dari jangkauannya. Mereka nampak serasi, batin Shilla. Dia terus memandangi ke arah tersebut sampai keduanya masuk ke dalam mobil yang sama. Shilla meraih ponsel dari saku piyamanya. Habis ditinggal oleh Satria tadi, mamanya segera membawanya ke kamar hotel. Dia berkata kepada mamanya bahwa ingin langsung tidur saja, istirahat. Mamanya pun percaya, karena dia mengganti dress yang digunakannya dengan piyama. Namun setelah sang mama keluar kamar, dia bangkit dari kasur dan menuju balkon kamar untuk menghirup angin malam. Melihat nama orang yang tertera pada layar ponselnya, Shilla tersenyum getir. Tanpa ragu, dia menekan tanda merah. "Cewek sialan! Berani-beraninya lo menolak telpon dari gue!" umpat seseorang di tempat lain. Dia frustasi saat ini, rencana yang telah disusunnya serapih mungkin, hancur begitu saja. Dia tidak bisa menerimanya. Gue harus menyusun rencana baru. Cewek bodoh itu sepertinya tidak bisa diandalin lagi. "Mau langsung pulang?" tanya Satria kepada Shasa ketika mereka berdua berada di dalam mobil. Shasa memegang perutnya. "Lapar. Makan dulu gimana?" Dia meringis pelan saat cacing di perutnya konser dadakan hingga bunyinya terdengar oleh Satria. "Gue belum makan dari pagi," ungkapnya dengan pipi memerah karena malu perutnya yang berbunyi terdengar oleh Satria. "Kita cari tempat makan terdekat aja," ujar Satria. Sepuluh menit kemudian, Satria menghentikan mobilnya di tempat makan. "Mau pesan apa?" tanya Satria. "Spaghetti carbonara, crispy steak sirloin, french-fries, choco cheese pancake, terus minumnya mango float dan satu air mineral.” Satria melongo mendengar pesanan Shasa. "Kenapa?" tanya Shasa melihat tatapan heran dari cowok itu. "Yakin habis semua yang lo pesan?" tanya Satria. Shasa mengangguk yakin. Badan kecil tapi makannya banyak. "Lo mau pesan apa?" tanya Shasa balik. "Tambahin satu lagi aja crispy steak sirloin buat gue, dan minumnya ice lemon tea aja.” "Oke." Begitu pesanan datang, tanpa rasa jaimnya Shasa langsung menyantap makanannya dengan cepat. Predikat anggun yang menempel pada dirinya selama ini, malam ini tidak tampak sama sekali. Dia makan dengan lahap tanpa memperdulikan tatapan heran dari cowok di depannya. Memang sejak pagi perutnya belum keiisi makanan, dia tidak mood makan. Hari-hari sebelumnya pun—mendekati hari pertunangan Shilla, dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar sepulang kuliah. Jadwal makan siang dan malamnya sering kali lewat, dia lebih banyak melamun. "Pelan-pelan makannya," ucap Satria sambil mengelap saos yang yang sedikit berlepotan di dekat mulut Shasa. Cewek itu meringis malu. "Iya, makasih.” Sementara itu, Shilla keluar dari hotel sendirian. Dia berjalan kaki hingga tiba di cafe yang letaknya kira-kira sepuluh menit-an dari hotel. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam cafe tersebut. Dia ingin menikmati secangkir kopi malam ini. Sambil menunggu pesanannya datang, Shilla memainkan ponselnya. "Hai, boleh duduk di sini?" tanya seseorang. Shilla mendongakkan kepalanya melihat wajah orang yang menyapanya. "Elo... cowok yang tadi?" tanya Shilla. Cowok itu mengangguk sambil tersenyum. Tanpa dipersilahkan dia sudah duduk di depan cewek itu. Sejak keluar dari hotel tadi, dia duduk di cafe ini sendiri. Membiarkan Satria sendirian mencari Shasa. Hingga saat dia melihat Shilla masuk ke sana dan duduk sendirian. Entah kenapa, hatinya tergerak untuk menghampiri cewek itu. "Kenalin, gue Jerry," katanya sambil menjulurkan tangannya kepada Shilla. Cewek itu diam sejenak, lalu dia menyambut uluran tangan Jerry. "Gue Shilla. Lo pasti udah tahu siapa gue.” "Maaf soal tadi," ucap Jerry setelah jabat tangan mereka terlepas. Shilla tersenyum tipis. "Enggak apa-apa, gue sadar kalau yang gue lakuin itu salah," ucapnya sendu. Jerry jadi merasa kasihan juga melihat cewek itu. "Lo temannya kampusnya Satria?" tanya Shilla. "Iya.” "Oh, berarti lo dekat sama dia?" "Bisa dibilang begitu," jawab Jerry. "Gue nggak nyangka bakalan kayak gini jadinya. Gue bela-belain pulang ke Indo cuma buat mastiin perasaan dia sama gue. Tapi, sepertinya hati dia sudah diisi sama cewek lain," curhat Shilla. "Cinta tidak harus memiliki. Adakalanya kita harus merelakan orang yang kita cintai bahagia, walau bukan bersama kita," balas Jerry. Shilla melirik jam di ponselnya, ternyata sudah jam 10 malam. "Jer, kayaknya gue mesti balik ke hotel. Udah jam 10 nih," ucap Shilla. "Gue anter. Udah malam, jalanan sepi," ujar Jerry. "Enggak usah, gue balik sendiri aja. Lagian cuma dekat kok," tolak Shilla. "Anggap aja permintaan maaf gue atas kejadian tadi. Yuk!" ujar Jerry menarik pelan tangan Shilla. Cewek itu pun tersenyum di belakang Jerry. Sepertinya dia cowok yang baik, batin Shilla. *** "Mau mampir dulu nggak?" tanya Shasa ketika mobil yang dikemudikan Satria berhenti di depan rumahnya. "Enggak usah deh, lain kali aja." Shasa mengangguk. Dia melihat ke arah rumah, terlihat mamahnya berdiri di depan pintu dengan tatapan cemas. Shasa menepuk jidatnya pelan. Dia baru ingat pas keluar dari hotel terburu-buru tanpa memberitahu siapapun. Ponselnya lupa di charge, mati total. Sudah pasti orang tuanya khawatir mencarinya. Melihat gelagat Shasa yang gelisah dan muka Rahayu yang nampak cemas, Satria berinisiatif mengantarkan cewek itu ke rumahnya. "Yuk turun, gue anter." Rahayu tersenyum senang melihat anaknya berjalan ke arahnya. "Maaf Ma, aku pergi nggak bilang-bilang. Ponselku juga habis baterainya," ujar Shasa dengan raut wajah bersalahnya. "Nggak apa-apa. Yang penting kamu udah pulang. Mama cuma khawatir tadi, sampai nyuruh kedua adik kamu nyariin keliling hotel." Shasa meringis. Rahayu beralih menatap Satria yang dari tadi masih diam. "Malam Tante, maaf saya bawa Shasa tanpa pamitan dulu.” Rahayu menghela napasnya berat. Cowok di depannya saat ini, cowok yang baru saja membatalkan acara pertunangan dengan keponakan suaminya. Sebenarnya dia terkejut saat mengetahui bahwa tunangan Shilla adalah Satria. Bagaimana pun, sebagai seorang Ibu, dia tentu mengetahui kalau anaknya mempunyai perasaan kepada cowok itu. Namun, dia tidak bisa berkata apapun. Dia baru tahu cerita tentang Shilla dan Satria belakangan ini dari Shasa, anaknya itu bercerita padanya. Saat itu, dia mengambil kesimpulan kalau Satria tidak lagi mencintai Shilla. "Ma.” Shasa menyenggol lengan Rahayu pelan. "Iya. Lain kali jangan kayak gitu lagi.” Satria mengangguk paham. "Ya udah, Tan. Aku mau pamit pulang dulu, udah malam.” "Mama marah sama aku?" ujar Shasa setelah mereka berdua berada di ruang tamu. Rahayu menoleh sekilas kepada anaknya itu. "Marah? Enggak, kok.” "Karena aku pergi sama mantan calon tunangannya Shilla... " ucap Shasa lirih. Rahayu tersenyum, lalu dia meraih tangan anaknya itu. "Mama tahu, kamu nggak bakalan melakukan hal yang tidak baik tanpa alasan. Jadi, sekarang udah siap cerita?" tanya Rahayu. Shasa mengangguk. Dia mulai menceritakan semuanya. Rahayu kaget mendengar cerita Shasa. "Sepupu kamu sampai nekat begitu, mama nggak nyangka," ujarnya sambil menggelengkan kepalanya. "Iya, Ma. Aku juga nggak nyangka Shilla bisa licik seperti itu," ungkap Shasa sedih. "Iya. Seenggaknya semua terbongkar sebelum mereka resmi bertunangan. Tapi... kamu mesti hibur Shilla, ya! Dia pasti terpukul dengan kejadian ini. Bagaimana pun, kalian ini kam saudara sepupu.” "Iya Ma, nanti aku ajak dia nginap di sini lagi sebelum dia balik ke Paris." Rahayu mengangguk. "So, anak mama udah nggak galau lagi?" sindir Rahayu mengalihkan. "Apaan sih, Ma? Kata siapa aku galau?” "Nggak galau tapi diam aja di kamar, sampai nggak mood makan segala." Shasa mengerucutkan bibirnya. Dia tidak bisa membohongi mamanya kali ini. "Satria emang ganteng. Kalau dilihat-lihat, dia lebih cocok sama kamu deh!" ledek Rahayu. "Ih, Mama! Ganteng dari mana coba?" "Dari sorot mata kamu, kelihatan berbinar-binar kalau lagi sama dia," timpal Rahayu lagi. "Kamu suka Satria, ‘kan?" Muka Shasa langsung memerah. "Mama sok tahu ah!" ujarnya seraya bangkit dan berlalu menuju kamarnya. Rahayu terkekeh, puas meledek anaknya yang malu-malu ketahuan sedang jatuh cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN