"Ciie yang mau ngedate, sepupu gue udah besar sekarang," goda Shilla.
"Apaan sih, cuma jalan doang kali, lagian kita cuma temanan," balas Shasa sambil mematup dirinya di depan cermin, meneliti sekali lagi penampilannya takut ada yang terlewat. Dari tadi dia sudah berkali-kali berganti baju, memilih mana yang lebih cocok untuk dipakainya malam ini. Senyuman di bibirnya terukir kala merasa dirinya sudah sempurna. Kali ini dia sedikit berdandan, tidak seperti biasanya yang hanya mengoleskan bedak tipis dan lipstick warna bibir.
Shasa tidak menyangka, siang tadi Satria menghubunginya dan berkata akan menjemputnya jam 7 malam ini. Tidak tahu apa tujuan cowok itu, Shasa mengiyakan ajakan cowok itu sesaat setelah sebelumnya berpikir sejenak.
"Sha, buruan! Udah ditungguin tuh!" teriak Rahayu yang muncul di depan pintu kamar Shasa.
“Tolong bilang tungguin sebentar, Ma.”
"Asik, sang pangeran udah datang jemput tuan putri. Mari gue anterin, sekalian mau tau seganteng apa sih cowok yang bisa ngajakin sepupu kesayangan gue nge-date,” ucap Shilla melebarkan senyumnya. Dia sangat senang akhirnya sepupu kesayangannya ini bisa dekat juga dengan cowok, setelah sekian lama menolak untuk di dekati.
“Siapa yang mau nge-date coba?” sahut Shasa dengan pipi merona.
Saat akan keluar kamar, ponsel Shilla berdering. Ada telepon penting yang masuk.
"Gue ada telepon penting, Sha. Next time deh, gue pengen kenal sama cowok yang udah berhasil naklukin hati lo itu," ujar Shilla lalu menjauh mengangkat teleponnya.
"Cantik banget," guman Satria pelan, melihat Shasa berjalan menuruni tangga.
Shasa berdehem melihat tatapan Satria dengan pipi merona.
”Mau langsung jalan sekarang?”
“Boleh. Yuk pamit sama orang tua lo dulu.”
Mereka pun pamit dan berjalan menuju mobil Satria.
"Kita mau ke mana?" tanya Shasa ketika sudah berada di dalam mobil Satria.
"Liat aja nanti," sahut Satria tanpa meliriknya, cowok itu nampak fokus menyetir. "Agak jauh, kalau bete lo tidur aja dulu," sambungnya.
"Iya."
Sudah lima puluh menit perjalanan, Shasa mulai bosan. Bagaimana tidak, serasa di mobil sendirian, cowok itu hanya diam saja. Shasa menggerutu di dalam hatinya.
"Bentar lagi kita nyampe," ujar Satria yang paham dengan Shasa yang sepertinya mulai jenuh. Tak lama Satria memarkirkan mobilnya di sebuah resto. “Lo tau ini di mana?" tanyanya sebelum turun dari mobil.
Shasa menggeleng.
"Kita di daerah Pluit, Penjaringan.”
"Oh. Gue belum pernah ke sini soalnya.”
"Yuk turun," ajak cowok itu. Dia berjalan lebih dulu, meninggalkan Shasa yang mengikutinya dengan wajah cemberut.
"Ngajakin tapi guenya ditinggal," gerutu Shasa sebal.
"Mau pesan apa?" tanya Satria setelah mereka berdua memasuki resto dan duduk. Satria memilih tempat duduk tepat di pinggir laut agar matanya bisa leluasa menikmati keindahan malam itu.
"Samain kayak lo aja," jawab Shasa malas.
"Oke," Satria menyebutkan beberapa menu makanan dan juga minuman kepada seorang pelayan. Setengah jam kemudian makanan mereka pun datang.
"Gue suka nuansa alam. Gue sering ke sini kalau lagi gak pergi travelling ke luar kota," jelas Satria sambil memandang ke arah laut.
Shasa mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ngajakin dia jalan malam mingguan, dan sekarang tanpa di tanya apa-apa, cowok itu malah memulai pembicaraan dengan sendirinya.
"Gue dulu pernah punya pacar, waktu SMA. Dia pacar sekaligus cinta pertama gue," lanjut cowok itu.
Entah apa maksudnya bercerita seperti itu, Shasa tidak mengerti. Namun dia tertarik mendengarkan kelanjutan cerita cowok itu.
"Satu tahun pacaran, hubungan kita lancar tanpa adanya kendala. Hingga akhirnya, dia selingkuh di belakang gue. Dan, yang lebih menyakitkan lagi, cowok yang berselingkuh dengannya saat itu adalah sahabat gue sendiri."
Shasa mulai mengerti pembicaraan cowok itu.
"Lo yakin dia selingkuh?"
"Gue liat sendiri mereka berciuman di rumah cewek gue," jawab Satria lirih. Cowok itu menundukkan kepalanya. "Lo tau kenapa selama ini gue bersikap dingin sama kebanyakan cewek?"
Shasa akhirnya mengerti akan sikap dingin yang ditunjukkan Satria selama ini.
Sekarang Shasa sedikit mengerti kenapa cowok itu bersikap dingin selama ini. Mungkin karena masa lalunya.
"Gue nggak mau dikhianatin lagi ketika gue memulainya kembali.”
"Lo perlu berdamai dengan masa lalu, jangan anggap semua cewek itu sama," balas Shasa.
Satria menoleh. "Lo permah pacaran?" tanyanya mengalihkan.
Muka Shasa langsung memerah. "Kepo lo! Ngapain tanya-tanya gue?"
"Apa jangan-jangan lo belum pernah pacaran?" tebak Satria.
Shasa menggangguk samar.
Satria tertawa kencang. Baru kali ini Shasa melihat cowok itu tertawa dengan lepas. Dia mengembangkan senyumnya melihat pemandangan langka itu.
"Seriusan belum pernah pacaran?" tanya Satria lagi di sela tawanya.
"Kenapa, mau ledekin? Terus aja ledekin sampe puas!" ujar Shasa mengerucutkan bibirnya.
"Nggak sih, aneh aja. Lo cantik, tapi betah amat ngejomblo."
"Belum nemu yang klik dihati aja," jawab Shasa ragu. Sebenarnya ada sih, di depan mata malah.
"Jerry jomblo juga tuh, dia suka sama lo!" ujar menatap kedua mata Shasa lekat, ingin tahu bagaimana reaksi cewek itu.
"Gue nggak ada rasa apa-apa sama dia," ujar Shasa jujur. Dia pun mulai melahap makanan yang dari tadi belum disentuhnya.
Satria terkekeh. Beda dengan Shasa, makanannya sudah habis dari tadi. Walaupun sambil ngobrol, makanan masuk terus ke mulutnya.
Saat hendak pulang, Satria menggenggam tangan Shasa yang berada di atas meja.
"Sha, gue boleh minta suatu hal?" tanya Satria menatap bola mata cewek itu.
Jantung Shasa berdegup, lalu dia mengangguk. Apa yang ingin Satria katakan padanya?
"Tolong jauhin Guntur, janji sama gue jangan dekat-dekat sama dia."
Shasa menghela napasnya. Berharap cowok itu akan mengatakan suatu hal yang membuatnya senang, namun itu tidak terjadi.
"Kenapa emangnya?" tanya Shasa seraya menarik tangannya dari genggaman cowok itu.
"Dia bukan cowok yang baik, dia nggak pantas buat lo.”
"Kok lo bisa ngomong kayak gitu? Kalian ada hubungan apa?"
"Nanti lo juga bakalan tau," ucap Satria mengalihkan pandangannya. "Pulang yuk, udah malam."
***
"Semangat banget mau ikut gue ke kampus," celutuk Shasa sambil mengikat tali sneakers yang dipakainya.
"Iya dong, nggak sabar buat ketemu dia," balas Shilla sumringah.
Tiba di kampus, Shasa memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Sebelum dia dan Shilla keluar dari mobil, sebuah motor gede yang dikenalinya lewat di depan mobilnya.
"Wah ada yang pakai motor sekeren itu di sini?" tanya Shilla takjub. Dia tau motor yang dikendarai orang itu tidaklah murah, harganya mencapai ratusan juta. Bahkan hanya orang-orang tertentu yang sanggup membelinya. Shilla terus memperhatikan motor itu sampai pengendaranya berhenti memarkirkan motornya. Lalu cowok itu membuka helmnya. Shilla membekap mulutnya sendiri, mengetahui siapa yang ada di balik helm itu. Dia bergegas melepas seatbelt dan membuka pintu mobil. Shasa mengerutkan keningnya melihat sepupunya itu.
"Eh, mau ke mana lo?" tanya Shasa heran.
Shilla tidak menjawab, dia langsung berlari mendekati cowok yang baru saja turun dari motornya.
Tanpa aba-aba, Shilla langsung memeluk erat cowok itu. "Aku kangen banget kamu!" lirihnya pelan.
Cowok yang tak lain adalah Satria itu, sontak menegang. Orang yang mengenalkan cinta sekaligus memberikan luka padanya tiba-tiba saja datang memeluknya. "Lepas!" titahnya dingin.
"Nggak… nggak akan!" Shilla tambah mempererat pelukannya pada cowok itu.
Sementara di dalam mobil, Shasa meneteskan air matanya melihat adegan itu. Sungguh dia tidak menyangka kalau cowok yang selama ini diceritakan oleh sepupunya itu adalah Satria.
Kenapa rasanya gue nggak rela ngeliat Satria dipeluk sama sepupu gue sendiri? Apa gue cemburu? Gue nggak ngerti sama perasaan gue sendiri, apa gue mulai menyukai dia? Shasa menggelengkan kepalanya. Dia menyenderkan kepalanya di atas setir mobilnya, matanya terarah kepada dua insan yang tidak berada jauh dari mobilnya.
"Aku mohon maafin aku, jujur aku masih sayang kamu," ucap Shilla tanpa melepas dekapannya.
Satria mulai jengah, cowok itu dari tadi sudah berusaha melepas dekapannya namun cewek itu semakin mempereratnya. Dengan terpaksa, Satria mendorongnya hingga kemudian Shilla terjatuh. Dia sebenarnya tidak tega, sebelumnya dia tidak pernah bersikap kasar terhadap seorang perempuan, namun cewek macam Shilla pantas diperlakukan seperti itu. Biar jera.
Shilla meringis pelan. Sedangkan Satria tak peduli kalau cewek itu nampak kesakitan.
Shasa yang dari tadi memperhatikan mereka, segera mengusap air matanya. Dia turun dari mobil dan mendekati mereka karen melihat sepupunya yang sepertinya tengah meringis kesakitan.
"Sakit?” tanya Shasa sambil membantu Shilla berdiri. Setelah itu dia menatap Satria tajam. "Jadi cowok tuh jangan kasar!" ucapnya dengan nada yang cukup tinggi.
Satria berdecak. "Enggak ikut campur, bukan urusan lo!"
"Gue nggak bisa buat nggak ikut campur, Shilla sepupu gue!" balas Shasa menahan emosinya.
Satria terkejut. Ternyata mantan kekasihnya adalah sepupu cewek yang saat ini sedang dekat dengannya. Namun kemudian, dia mengangkat bahunya acuh.
"Urus tuh sepupu lo!" ujar Satria melenggang pergi meninggalkan mereka berdua. Masih pagi udah membuat moodnya buruk saja, belum lagi mereka jadi tontonan orang-orang yang baru saja datang untuk memarkirkan kendaraan mereka.
Shilla menangis sesenggukkan. "Di-a kayaknya masih benci sama gu-e," ucapnya terbata sambil menghapus air matanya.
"Udah, lo tenang dulu. Nanti kita omongin lagi."
Shasa merangkul sepupunya itu menuju kantin.
"Sorry banget Chil, gue harus ke kelas sekarang, udah telat, lo gimana gue tinggal di sini sendirian?" tanya Shasa ragu.
"Nggak apa-apa, kok.”
"Ya udah, nanti kalau ada apa-apa hubungin gue aja.”
***
"Ada kabar apa?" tanya seorang cowok yang baru saja datang ke ruangannya.
"Kabar buruk, tapi ada info terbaru juga hari ini," ujar orang itu.
"Ya udah, jelasin!" titahnya tidak sabaran. Orang itu pun mulai menceritakan semua informasi yang didapatnya.
"Sial, berani juga bocah itu duluan gue!" ujarnya mengepalkan kedua tangannya. "Terus ada info apa lagi hari ini? Apa itu kabar baik buat gue?" tanyanya penasaran. Orang itu tersenyum. Dia menceritakan kejadian yang dilihatnya pagi ini.
"Menarik," gumam cowok itu. "Gue tahu siapa cewek itu."
Dia tersenyum sinis. Lo nggak akan bisa menang dari segi apapun dari gue! batinnya menyeringai.