Sepuluh

1969 Kata
Pukul 06:30, Satria dan rombongan telah tiba kembali di Pulau Harapan. "Jangan lupa nanti kumpul jam 8 malam, kita kumpul di dekat dermaga. Kita akan barbeque-an dan ada acara lainnya juga," kata Jerry mengumumkan sebelum teman-temannya menuju homestay kembali. "Asik mau barbeque-an!" seru Rania. "Katanya bakalan ada band juga yang tampil, dari anak Mapala juga," ujar Dian. Pada jam 8 malam, tepian pantai dekat dermaga sudah dipadati puluhan orang. Mereka bersiap untuk barbeque-an untuk makan malam. Ada beberapa ikan, sosis dan juga ayam tapi lebih dominan ikan di sini. Karena hasil tangkapan langsung dari warga di pulau ini. Sedangkan sosis, itu dibawa oleh cewek yang termasuk anggota Mapala juga. Beberapa orang tampak sibuk membakar menu lauk tersebut di tiga tempat yang telah disediakan. "Hallo guys, sambil menunggu makan malam kita ready, gue punya hiburan nih buat kita semua!" ujar Teddy lantang memegang sebuah mikrofon. "Mari kita sambut teman kita Jerry dan kawan-kawan yang akan menampilkan band-nya malam ini." Terdengar tepuk tangan riuh dari teman-temannya. Tak lama Jerry, Alfi, Boy dan Teddy sendiri menuju sebuah panggung kecil yang tidak begitu tinggi. Setelah memberi ucapan salam, Jerry yang posisinya sebagai vokalis pun mulai bernyanyi. Dian menyenggol lengang Shasa yang tengah asik membakar ikan di sebelahnya. Cewek itu sama sekali tidak terpengaruh dengan suasana sekitar yang mulai rame sejak Jerry naik ke atas panggung. "Apa sih, Dii?" tanya Shasa yang masih serius dengan ikan di depan matanya. "Jerry tuh! Lagi nyanyi matanya ngelirik ke sini terus." "So? Wajar kali, dia punya mata ini." "Tatapannya itu loh, Sha! Kelihatan banget kalau doi lagi ngeliatin lo aja. Gue heran, mereka sahabatan tapi gue rasa dua-duanya suka elo.” “Biasa aja kayaknya.” "Ah masa lo nggak ngerti. Itu pangeran es dan Jerry, gue yakin dua-duanya suka sama lo.” "Jangan ngegosip, nggak enak kalau didengar anak-anak," ujar Shasa sambil mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Untung saja saat ini cuma dia dan Dian saja yang berada yang bakar ikan di salah satu tempat. Yang lain entah ke mana, padahal tadi ramai yang ikut membakar ikan bersama Shasa. Dia menoleh ke arah panggung, rupanya anak-anak yang lain sudah berdiri di depan sana. Shasa geleng-geleng kepala, pantasan saja semua kaum hawa merapat ke dekat panggung. "Es batu itu nggak mungkin suka gue!" lanjut Shasa lagi. "Nggak ada yang nggak mungkin, Sha. Lo lihat sendiri tadi gimana dia ngajakin lo snorkeling?" Shasa tersenyum. Dia kembali terbayang saat di mana Satria menggenggam erat jemarinya saat hendak menyelam. “Idih, malah senyum-senyum.” Dian menyenggol lengan Shasa. “Lagi ngebayangin di dalam laut berduaan sama Satria tadi, hmm?” “Sok tahu banget!” Sedangkan acara semakin meriah di depan sana setelah penampilan Jerry dan teman-temannya. "Ketua Mapala kita dong, yang nyanyi!" seru salah seorang cowok. Saat ini mereka semua sudah menyantap makan malam hasil barbeque-an sendiri, ditambah beberapa menu seperti lalapan, sambel, kerupuk dan hidangan penutup dari penduduk setempat. "SATRIA! SATRIA!" "AYO DONG KAKAK GANTENG, NYANYI BUAT KITA!" "DUH, KAPAN LAGI COBA DENGAR SATRIA NYANYI." "AYO SATRIA! LO PASTI BISA!!" Karena banyak request dari teman-temannya, akhirnya membuat Satria melangkahkan kaki dengan ke arah panggung. "Baiklah, khusus malam ini gue akan nyanyi buat kalian semua!" ujarnya sambil tersenyum. Shasa yang sedang tadinya sedang bermain game di ponselnya langsung mendongakkan kepalanya. ”Sebelumnya, gue panggil Teddy, Alfi dan Boy dulu buat nemenin gue. Boleh, kan?" Ketiga temannya yang disebutkan namanya oleh Satria pun maju. Mereka menggunakan alat band masing-masing seperti tadi. "Sebuah lagu dari band favorit gue, Coldplay! Yellow!" seru Satria. Tepuk tangan meriah dan sorakan kaum hawa yang mengelukan namanya menambah kebisingan pada malam itu. Look at the stars Look how they shine for you And everything you do Yeah they were all yellow Satria mulai bernyanyi dan melirik seorang gadis yang sedang memegang ponsel. Tatapan mereka beradu dan gadis itu menundukkan wajahnya. "Satria lihatin gue tuh!" "Gue kali! Pede banget lo!" "Keren juga suaranya, aku padamu kak!" Ucapan yang keluar dari mulut cewek-cewek di sekitarnya membuat Shasa menahan tawanya. Entah kenapa rasanya Satria ingin menatap Shasa lebih lama. Di samping panggung, Jerry tersenyum miris. Di sana, di dalam kegelapan dia bisa melihat Shasa yang disukainya tampak tersenyum menikmati lagu yang dinyanyikan Satria, tidak seperti waktu dia bernyanyi tadi di mana gadis itu tampak cuek saja. Tidak tahu benar-benar menikmati lagunya atau terpesona akan orang yang sedang menyanyikan lagu itu. "LAGI! LAGI! "LAGI DONG KAKAK KETUA! "SATU LAGU LAGI!" Tidak puas hanya dengan satu lagu yang dibawakan oleh Satria, banyak yang meminta cowok itu untuk menambah satu lagu lagi. "Oke, gue akan nyanyi satu lagu lagi. Ini yang terakhir, oke?” Malam ini dia terlihat berbeda dari biasanya, sedikit lebih hangat. Shasa menatap lurus ke arah Satria tanpa berkedip. "Masih dari Coldplay, A Sky Full of Stars! Mari lompat!" ujar Satria membuka kaosnya dan melempar ke kerumunan temannya. Jangan ditanya, pastinya banyak cewek-cewek berebutan mengambil kaos yang dilempar oleh si ketua Mapala ganteng. Shasa lagi-lagi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya mengikuti lagu band asal London tersebut. *** Hari kedua rombongan dari kampus Shasa telah berada di Pulau Semak Daun. Tadi setelah sarapan, mereka langsung berangkat menuju Pulau Pramuka terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan menaiki kapal kecil ke tempat tujuan akhir. Di pulau ini, tidak ada penghuninya. Makanya yang datang harus membawa tenda jika niat bermalam di sini, serta membawa stok logistik juga. "Sha, perlu bantuan?" tanya seorang cowok. Saat ini Shasa dan beberapa temannya sedang memasang tenda. "Eum... Boleh deh!" Mengingat yang memasang tendanya adalah cewek semua, membuat Shasa sedikit tidak yakin kalau nantinya tenda itu bisa terpasang dengan benar. Sambil membantu kelompok Shasa memasang tenda, cowok itu sesekali melirik Shasa. Gadis itu tidak menyadarinya, dia sibuk mengeluarkan beberapa barang yang diperlukan dari daypack. "Woy! Ngapain lo di sini?" Teddy menepuk bahu cowok itu. "Menurut lo?" Lelaki tang tak lain adalah Jerry itu memutar bila mata. Dia saat ini sedang mengikat tali dari tenda itu ke sebuah kayu yang kokoh. "Bantuin apa modus?” tanya Teddy menaikkan alisnya. "Gue cuma bantuin mereka, kasian dari tadi nggak kelar-kelar.” Teddy menyeringai. "Bantuin tapi mata lo nggak fokus kayaknya sama apa yang lo kerjain,” ujar Teddy mencibir. "Apaan? Gue nggak ngerti.” "Shasa. Dari tadi gue perhatiin lo ngeliatin dia mulu," ujar Teddy tepat sasaran. "Mana ada,” ujar Jerry mengelak. "Nggak usah ngeles. Mata lo nggak bisa bohong." Jerry menghela napas. Temannya satu ini emang mudah sekali menebak dirinya. "Yuk ngobrol di sana, gue udah selesai.” "Sha, tendanya udah jadi. Panggil teman-teman lo buat masukin barang mereka," ujar Jerry ketika sudah berada di dekat Shasa. Shasa kaget, tendanya sudah berdiri dengan kokoh. Ternyata tak butuh waktu lama bagi cowok itu mengerjakannya. "Oke, thanks, Jer.” Jerry mengangguk. Setelah seharian menjalani kegiatan yang cukup padat di sekitar pulau, malam ini panitia mengadakan mengadakan acara lagi. Mereka menyalakan api unggun di pinggir pantai. Ada yang menyanyi, baca puisi, ngedance dan banyak lagi. Cukup meriah sebagai malam penutupan. Karena besok siang waktunya pulang. Jam 10 malam acara selesai, rata-rata kembali ke tenda masing-masing untuk beristirahat. Namun juga yang masih berjalan di sekitaran pantai. Bagi yang berpacaran, sudah pasti memanfaatkan momen ini untuk berduaan menikmati malam mingguan mereka di pantai yang disaksikan oleh ribuan bintang di langit dan juga cahaya bulan yang menerangi. Shasa belum begitu mengantuk, jadi dia memutuskan untuk berjalan keluar dari tendanya sendirian, ingin menghirup udara di malam hari. Teman satu tendanya sudah tidur semua. Mungkin karena kecapean dua hari melakukan aktivitas yang lumayan padat. Apalagi tadi mereka juga snorkeling lagi di sini, melelahkan karena sampai berjam-jam lamanya. Tidak ada yang bosan karena puas dengan alam bawah laut yang sangat indah dengan ikan-ikan lucu yang menemani. Dan pada sore harinya, mereka melihat penangkaran penyu di Pulau Pramuka sampai terbenamnya matahari. Cewek itu berhenti melangkah ketika tidak sengaja mendengar pembicaraan dua orang cowok yang tidak jauh darinya. Mereka berdua duduk di sebuah kayu besar yang menjulur ke arah pantai. Shasa berdiri di balik pohon dan menajamkan pendengarannya. Biasanya dia tidak pernah kepo dengan pembicaraan orang, entah kenapa kali ini dia merasa penasaran. "Lo suka sama dia?" tanya salah satu cowok. "Unfaedah banget pertanyaan lo!" jawab cowok satunya lagi. "Gue serius, bro!" "Lo mau gue jawab apa?" Cowok itu menatap malas si penanya. "Suka apa enggak?" Cowok itu memicingkan matanya. "Kenapa lo pengen tahu banget? Oh gue tahu, lo suka sama dia?" Jerry memalingkan wajahnya. Dari tadi dia berusaha memancing Satria untuk mengakui perasaaan cowok itu terhadap Shasa. Dia mundur seandainya temannya itu benar-benar menyukai Shasa. Dia akan berusaha untuk melupakan perasaannya selagi belum terlalu dalam. "Kalau lo suka dia, kenapa harus nanya ke gue? Gue nggak ada rasa apa-apa sama cewek itu. Gue nggak suka dia," sambung Satria lagi. Dia mengeluarkan sebatang rokok serta korek, membakar dan mulai menghisapnya. "Lo yakin sama ucapan lo?" tanya Jerry memastikan. "Hmmm." Mereka ngomongin apaan? Suka sama siapa maksudnya? Shasa jadi penasaran dengan obrolan kedua orang itu. "Gue waktu itu ketemu dia di kantin, dan gue rasa gue langsung jatuh hati sama dia," ucap Jerry membayangkan saat pertemuan pertamanya dengan Shasa. "Gue senang, gue coba dekatin dia. Tapi ketika gue tahu cewek yang lo cari ke Fakultas Ekonomi waktu itu adalah dia, gue kaget. Gue nggak nyangka lo bisa kenal sama dia. Cewek yang gue anggap sebagai calon gebetan." Satria menoleh dengan kening berkerut. "Terus masalahnya apa? Lo cemburu sama gue? Santai, Bro! Sharaza bukan tipe gue.” Shasa yang dari tadi menyimak arah pembicaraan mereka, akhirnya mengerti. Orang yang sedang mereka bicarakan adalah dirinya sendiri. Berarti Jerry sedang ngobrol dengan… apa Satria? Shasa tahu itu Jerry karena lawan bicaranya menyebut awal nama cowok itu. Jika itu memang Satria, kenapa dia berkata seperti itu? Shasa memegangi dadanya. Entah kenapa rasanya sesak sekali mendengar cowok itu mengatakan tidak menyukai dirinya, dia bukan tipenya cowok itu. Tidak terasa air matanya menetes. Bodoh! Apa sih, yang gue tangisin? Jangan mimpi es batu itu bakalan suka sama lo, Sha! Sikap manis dia jangan disalah artikan. Shasa segera berlari menuju tendanya. Cewek itu meringis pelan ketika tersandung ranting-ranting kecil. "Siapa tuh?" tanya Satria mendengar suara teriakan kecil. Shasa tidak menyahut, dia kembali berjalan lebih cepat supaya tidak ketahuan oleh kedua cowok itu. *** "Jangan sampai ada yang ketinggalan, satu jam lagi kita ke Pulau Pramuka dan naik kapal kembali menuju Kali Adem,” titah Jerry. "Siap!!!" jawab semuanya serentak, terkecuali Shasa. Sejak bangun tidur gadis itu lebih banyak diam. "Terima kasih buat kalian semua yang sudah mau ikut trip bersama Mapala kali ini. Gue harap kalian gak kapok kalau ikut acara kayak beginian lagi," ucap Satria menambahkan. "Kalau ada kak Satria, pasti aku ikut terus!" celutuk salah seorang junior cewek tanpa rasa malu. Junior itu disorakin oleh banyak orang di sana. "Kak Satria ganteng banget sih, betah liatin lama-lama juga," lanjut junior itu lagi dengan muka temboknya. "Gue juga mau ikut lagi, asal ketua Mapalanya selalu ikut!" sahut cewek lainnya. Jerry terkekeh. "Fans ketua Mapala kita tambah banyak aja!" ledeknya sambil melirik Satria. Sedangkan cowok itu memutar bola matanya. "Oper sini satu dong fans lo! Kebetulan gue lagi kosong nih!" timpal Alfi cekikikan. Shasa yang dari tadi menunduk, mengangkat kepalanya. Bersamaan dengan itu Satria menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tiba di Dermaga Kali Adem, Shasa menyalakan ponselnya. Dia ingin memesan taxi online, biar segera sampai rumah dan tidur. Dian menawarinya untuk pulang bareng bersama dengan mobilnya Teddy, Shasa menolaknya. Dia tidak ingin mengganggu kebersamaan dua sejoli itu. Mungkin mereka sedang dalam masa pendekatan. Shasa merasa miris sekali, padahal pas berangkat ke dermaga dia bersama Satria. Namun, saat turun dari kapal cowok itu langsung bergegas menuju parkiran mobil tanpa menawarkan untuk ikut bersamanya lagi. Jangankan menawarkan tumpangan, melirik saja tidak ada. Cowok itu kembali bersikap dingin seperti biasanya. Nggak... nggak, ngapain gue mikirin cowok itu? Sebuah mobil berhenti di depannya. Shasa mengernyit karena dia tidak mengenalinya, sampai sang pengemudi membuka kaca mobilnya. "Sha, pulang bareng gue aja yuk!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN