”Masih ada yang kurang paham dengan materi yang saya jelaskan?" tanya seorang senior cewek kepada para juniornya di suatu kelas.
Hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaannya.
"Oke, saya anggap diamnya kalian itu berarti udah paham," lanjutnya lagi.
Di tengah keheningan, seorang cowok mengangkat tangannya.
"Yah, kamu! Ada yang mau ditanyakan?"
"Ada kak. Umm... Kak Sharaza udah punya pacar belum? Kalau belum, saya boleh daftar nggak?" tanya cowok itu sambil cengengesan.
Seketika kelas heboh meneriaki pertanyaan cowok itu. Sedangkan Shasa hanya tersenyum menanggapinya.
"Pertanyaan di luar materi, saya rasa nggak perlu dijawab, oke?”
"Yaah, kok gitu sih Kak?" Cowok yang baru saja bertanya menunjukkan wajah sedihnya.
"Materi selanjutnya akan disampaikan oleh Pak Ginting di pertemuan minggu depan, jangan lupa dikumpulkan tugas yang tadi saya kasih. Saya cuma hari ini aja menggantikan posisi beliau," ujar Shasa mengalihkan pembicaraan.
Raut kecewa nampak dari para juniornya itu. Apalagi kaum adam, kapan lagi coba diajarin sama cewek cantik yang lemah lembut. Sekalian cuci mata, bikin semangat belajar dan betah di dalam kelas.
Setelah merapihkan beberapa buku dan laptopnya, Shasa berjalan meninggalkan kelas. Ketika akan menuruni tangga, Shasa merasa ada yang memanggilnya.
"Sharaza!" Suara panggilan itu terdengar lebih dekat.
Shasa menoleh, dia menemukan seorang dosen yang tadi memintanya mengisi materi di kelas juniornya, semester empat.
"Ada apa, Pak? Saya tadi sudah selesai memberikan materi dan tugas sesuai permintaan Bapak," ujarnya to the point. Dia heran, dosen ini tadinya bilang ada kepentingan mendesak seusai mengajar mata kuliah Akuntansi Keuangan Lanjutan di kelasnya. Dan dia meminta Shasa untuk menggantikannya mengisi materi di kelas selanjutnya. Karena dirasanya Shasa cukup pintar untuk menjelaskan materi itu.
"Iya, terima kasih, Sharaza. Kamu udah mau pulang?"
"Iya Pak," jawab Shasa singkat.
"Mau saya anterin nggak? Kebetulan urusan saya sudah selesai," tawar dosen itu.
"Enggak usah, Pak, terima kasih. Kebetulan saya dijemput," ujar Shasa berbohong. Padahal dia tidak dijemput oleh siapapun.
Dosen itu mengernyit. "Dijemput siapa? Pacar kamu? Kamu udah punya pacar?" tanyanya beruntun. Terlihat raut kecewa pada mukanya.
"I-iya Pak, saya punya pacar!" jawab Shasa setengah gugup. Entah kenapa Shasa malah membayangkan wajah Satria saat menjawabnya. Shasa menggelengkan kepala menyadari bayangannya barusan.
"Yah, sayang sekali... Padahal tadinya saya mau ajakin kamu dinner malam ini," ujar dosen itu dengan wajah memelas..
Shasa tersenyum. Dasar dosen genit, pantang menyerah banget ngejar gue! Shasa tahu jika dosen itu tertarik padanya. Barusan dia membantu hanya karena ingin berbagi ilmu kepada para juniornya, tidak lebih.
"Maaf ya Pak, kalau gitu saya permisi dulu." Shasa meninggalkan sang dosen yang menatap punggung Shasa dengan wajah sendu.
Shasa keluar gedung dan duduk di halte depan kampus. Karena tak membawa kendaraan, dia memesan taxi online dengan ponselnya. Sudah sepuluh menit berada di sana, tak satupun driver yang menerima orderannya. Lima menit yang lalu ada yang menerima, tapi tiba-tiba langsung di cancel oleh si driver.
Kedua sahabatnya sudah pulang dari tadi sewaktu kelas berakhir. Namun Shasa tidak enak menolak permintaan dosennya, yang berujung dia bakalan pulang lebih lama dari biasanya. Seharusnya tadi gue bawa mobil tau bakalan pulang telat gini. Shasa mengeluh. Cuaca pun sudah mulai mendung, bisa dipastikan sebentar lagi akan turun hujan. Shasa menundukkan kepalanya menatap sneakers yang dipakainya.
Sebuah mobil jazz berwarna putih berhenti di depan gadis itu. Namun dia tidak menyadarinya karena terlalu larut memandangi sepatu kesayangannya itu. Hingga sepasang kaki berdiri tepat di depannya, membuatnya mendongakkan kepala ingin melihat siapa orang itu.
"Elo?"
"Hmmm," sahut seseorang itu seperti biasanya. Seseorang yang tak lain adalah Satria, cowok yang tadi sempat berada dalam bayangan Shasa ketika berbicara dengan dosennya.
"Mau ngapain lo?" tanya Shasa heran.
"Naik, pulang bareng gue!" titah Satria dingin.
Shasa mengerucutkan bibirnya. Ini cowok menawarkan pulang bersama, tapi kesannya seperti memberi perintah.
"Nggak usah, thanks. Gue nunggu taxi online aja. Ini lagi order!" jawab Shasa sambil menunjukkan ponselnya.
Cowok itu tersenyum sinis. "Belum ada yang nerima, ‘kan? Ayo sama gue aja!"
"Bentar lagi juga ada.”
"Udah mau hujan, bakalan susah dapetnya!" ujar cowok itu agak meninggikan nada bicaranya.
Iya juga sih, entar kalau gak dapet juga bisa-bisa kemaleman gue pulangnya. Gimana, ya? Shasa menggigit bibir bawahnya.
"Mau nggak? Ini tawaran terakhir gue!" Satria bersiap untuk melangkah kembali ke arah mobilnya.
"Satria, tunggu! Gue mau pulang bareng lo," ujar Shasa putus asa.
Satria tersenyum tipis tanpa menoleh ke arah Shasa.
"Buruan… masuk!"
Di dalam mobil Satria, mereka saling diam. Hingga akhirnya Shasa ketiduran, mungkin karena kelelahan mengingat hari ini dia ada kelas pagi dan siangnya yang seharusnya waktu pulang untuk beristirahat malah mengajar di kelas junior.
Satria tersenyum melihat wajah damai Shasa yang sedang tertidur. Dia sengaja mengendarai mobilnya dengan pelan biar gadis itu bisa lebih lama lagi tidurnya. Dan dia bisa berada di dekatnya lebih lama.
Apa gue mulai ada rasa sama Shasa? Ah, nggak mungkin! Gue cuma nggak mau dia disakitin sama kakak gue. Makanya gue harus jauhin mereka.
Setengah jam kemudian, Satria menghentikan mobilnya di depan rumah Shasa. Dengan pelan, dia menepuk pundak gadis itu.
"Bangun!"
Shasa menggeliat, membuka matanya perlahan.
"Kita udah sampe?" tanyanya heran menengok ke luar jendela mobil. Pasalnya dia merasa belum memberitahu alamat rumahnya kepada cowok itu.
"Menurut lo?" Satria balik bertanya dengan wajah datarnya.
"Ishhh... malah nanya balik gue.” Shasa berdecak pelan.
"Turun!"
"Tanpa lo suruh juga, gue mau turun,” ketus Shasa sambil berusaha membuka seat belt-nya. Sebelum turun, Shasa menoleh Satria. "Kok lo tahu rumah gue? Perasaan tadi gue belum nyebutin alamatnya,” tanya Shasa dengan mata menyipit.
"Ya tahu lah, lo kan terkenal di kampus! Gue tadi chat tanya teman gue," jawab Satria asal.
Shasa manggut-manggut percaya. "Ya udah, gue masuk dulu. Makasih udah nganterin gue pulang," ucapnya tersenyum.
"Hmmm."
Ketika Shasa akan membuka pintu, Satria memegang pergelangan tangannya.
Shasa menoleh.
"Emm... sorry!" ucap Satria melepaskan tangannya. Cowok itu mengeluarkan ponselnya dan menjulurkannya kepada Shasa. “Gue minta nomor ponsel lo!" pintanya datar, tanpa senyuman.
“Buat apa?” tanya Shasa heran.
”Ya udah kalau nggak mau ngasih.”
”Sini.” Shasa mengambil ponsel Satria di saat cowok itu hendak menarik ponselnya
Satria mengulum senyumnya.
Dengan cepat, Shasa mengetikkan nomor ponselnya. Satria langsung menekan nomor itu setelah Shasa memasukkan nomornya. Kemudian ponsel milik Shasa berdering.
"Itu nomor gue, jangan lupa di save!"
"Oke!"
***
Malam harinya Shasa memeluk gulingnya erat, di luar sana tengah hujan sehingga cuaca terasa lebih dingin. Shasa mengembangkan senyumnya mengingat kembali dirinya yang di antar pulang oleh Satria.
Nggak nyesel juga gue pulang telat, bisa bareng sama Satria. Eh, kenapa gue jadi mikirin dia? Apa benar kata Dian kalau gue punya feeling sama dia? Tapi selama ini,gue nggak semudah itu suka sama seseorang. Ah, mending gue tidur dari pada bayangin si es batu itu!
Shasa lalu dia menarik selimut hingga kepala.
Sementara itu, di tempat lain. Satria tampak menimang-nimang untuk mengirimi Shasa pesan.
Cowok itu membuka aplikasi w******p, dia memutuskan untuk mencoba menghubungi Shasa. Namun dia terkejut ketika sudah menekan nama Sharaza di kontaknya. Ada pesan dari roomchat yang seharusnya masih kosong. Karena dia baru menyimpan nomor gadis itu tadi sore.
"Jadi, yang chat gue kemarin itu Shasa? Masa sih, kok gue nggak yakin?" gumamnya. Seulas senyuman terbit dibibirnya.
Awal yang bagus! Guntur, say goodbye kepada gebetan barumu ini!