POV 3
Pasukan Kota Eleusina berkumpul membentuk barisan pertahanan untuk menghalau masuknya militer Kota Plataia. Sedangkan semua prajurit Kota Plataia beserta pasukan Akila mereka telah menggempur benteng pertahanan. Tembok pembatas kota telah dihancurkan dengan peledak. Sayangnya, Kota Eleusina kalah jumlah.
Desir angin siang ini terasa lebih sejuk dibandingkan hari-hari sebelumnya. Namun, di hari yang sejuk ini malapetaka tak terelakkan sedang terjadi di kota yang indah dan damai.
Anderson berjalan ke barisan paling depan sembari membakar sebatang rokok dan menyesapnya dengan khidmat. Ia berhenti kemudian.
Pasukan Kota Eleusina waspada, memperkuat kuda-kuda pertahanan. Acacio yang ada di barisan terdepan menatap Anderson dengan teramat benci. Api kebencian telah membara pada kedua belah pihak.
“Kota ini akan menjadi milik kami hari ini,” ucap Anderson dengan pelan.
Acacio tertawa geli mendengar ungkapan panglima, lantas meludah di hadapan lelaki bertubuh tinggi tersebut.
“Terlalu cepat seratus tahun untuk bisa menguasai kota kami,” balas pemimpin kota tersebut.
Tiba-tiba sebuah jeritan mengalihkan perhatian Acacio. Di sebelah timur dan sekitarnya telah terjadi p*********n terhadap penduduk kota. Dilihatnya sesosok iblis memakan warga kota dengan binal. Acacio membelalak.
“Kau lihat? Sudahlah, menyerah saja. Kalaupun kau bisa menang melawan kami, pada akhirnya kau tidak bisa menghindari takdir kematian.” Anderson bergelak renyah hingga urat-urat di lehernya menyembul jelas.
“Biadab!” Acacio mengeritkan gigi.
“Hei, lihatlah betapa ganasnya iblis yang kami punya. Kalian tidak akan mampu melawan dia. Kalian hanya akan menjadi bangkai dan santapan lezat baginya.” Seringai terpahat di wajah Anderson kemudian.
“Prajurit! Posisi menyerang!” perintah Acacio kemudian.
Semua prajurit berzirah membentuk barisan. Mengarahkan tombak, senjata api, pedang, dan panah ke arah pasukan Kota Plataia.
“Oh, kau tidak bisa diajak bernegosiasi ternyata. Jangan menyesal telah membuat keputusan itu, Pemimpin k*****t!” Anderson membuang puntung rokok, kemudian menginjaknya dengan lamat.
Lelaki berjabatan panglima tersebut membentangkan tangan kanan sebagai komando semua pasukan agar bersiap dalam posisi menyerang. Tak lama kemudian tangannya mengayun ke atas. Anderson mengubah tatapan mata dengan tajam sebelum akhir tangannya mengayun ke bawah. Semua pasukan militer beserta Akila berteriak memulai peperangan.
Sementara pasukan Kota Eleusina juga meluncurkan seribu anak panah beracun.
Perang dimulai. Pertarungan ganas antara Kota Eleusina dengan Kota Plataia. Ledakan demi ledakan kembali memekakkan telinga. Gemerincing pedang dan tombak menghiasi tanah Kota Eleusina.
Anderson memejamkan kedua mata, menghayati nada-nada yang dihasilkan dari berbagai senjata. Jerit ketakutan mulai terdengar, jerit keberanian mulai pudar. Pasukan Acacio dibantai. Satu per satu lenyap dari peradaban. Ras Akila masih ganas seperti biasa. Mereka mendukung jalannya peperangan.
“Hei! Maxel! Perhatikan punggungmu!” teriak Acacio yang tengah melihat salah satu pasukan Akila berlari cepat ke arah Maxel—lelaki paruh baya yang merupakan prajurit setia Kota Eleusina.
Namun, Maxel kalah cepat untuk berbalik badan hingga akhirnya berhasil ditikam dari belakang dengan senjata Akila Own mode close combat.
Acacio termangu. Satu per satu prajuritnya gugur. Jerit semakin memudarkan asa. Darah telah membentuk rasa takut akan kekalahan.
Sambil melawan beberapa pasukan militer, Acacio menatap hampa. Ia tidak fokus terhadap perang, hingga lengannya berhasil tergores pisau.
“Ah!” Acacio mundur sambil menahan darah yang bersimbah di lengannya.
“Hei, hei, hei! Jangan melarikan diri, Yang Mulia!” cetus Anderson dengan nada mengejek.
“Bia—“
Acacio terhenti ketika sesuatu melewati tubuhnya dengan kecepatan kilat. Sang pemimpin mengarahkan tatapan perlahan ke kanan, seketika ia melihat bangkai pasukannya menjadi santapan iblis yang tak lain adalah Percobaan 036.
Seketika ketakutan yang amat luar biasa menyelimuti Acacio. Ia ingin berlari, tetapi terpikir lagi bahwa itu adalah tindakan pengecut. Ia seorang pemimpin, bagaimana mungkin akan berlari meninggalkan pasukannya menderita kekalahan dan menjadi santapan sesosok iblis?
Acacio bertekuk lutut dengan tatapan hampa sembari menatap langit yang tiba-tiba menggelap.
“Oh, Dewa Kebijaksanaan! Tolong kami. Tunjukkan kebijaksanaan dan keadilan bagi kami,” gumam Acacio berdoa.
Anderson bergelak renyah mendengar doa Acacio yang begitu putus asa.
“Hei, kau ada di zaman yang mana tidak ada lagi Dewa di dunia ini! Dewa yang sebenarnya adalah aku. Yang terkuat adalah Dewa! Dan kau harus bersujud di kakiku, Yang Mulia!”
Acacio begitu jengkel dengan omong kosong yang baru saja dilontarkan Anderson. Namun, sungguh sang pemimpin tidak dapat berbuat apa-apa. Pasukannya dibantai hingga lenyap dari peradaban.
“Ayo, bersujud di kakiku!” Anderson melangkah dan menjambak rambut Acacio yang tak berdaya. Sedangkan lelaki yang merupakan pemimpin Kota Eleusina tersebut menatap penuh dendam.
“Sampai kapan pun aku tidak akan bersujud pada iblis sepertimu!” kata sang pemimpin dengan bengis.
“Apa? Aku kau sebut iblis?” Anderson menyeringai, kemarahannya tersulut. “Aku adalah Dewa yang sebenarnya!”
Panglima Anderson kemudian menghantam wajah Acacio hingga memuntahkan cairan merah.
“Pasukan! Habisi prajurit-prajurit sampah yang tersisa!” komando Anderson dengan lantang.
Puluhan pasukan Kota Eleusina yang masih bertahan dibunuh secara membabi buta. Kepala mereka dipenggal. Perut mereka ditusuk, hingga beberapa ada yang dilenyapkan tak tersisa dengan senjata Akila Own.
Acacio terenyuh menyaksikan keputusasaan yang membalut medan perang. Lelaki itu kemudian meneteskan air mata untuk semua pasukan yang gugur serta mereka yang masih bertahan, berjuang meski harapan kian sirna.
Beberapa menit berlalu, tanah Kota Eleusina menjadi lautan darah. Tak satu pun pasukan tersisa selain dirinya. Lelaki itu meratapi hilangnya senyum yang merekah bahagia dari semua pasukan. Setiap senyum dan canda mereka hanya sekadar memori kini.
“Semoga kalian mendapatkan tempat yang layak di kehidupan setelah kematian, Saudara-saudaraku,” batin Acacio di dalam hatinya. Derai air matanya kian mengalir deras.
Benarkah harapan telah sirna tak berbekas? Apakah Dewa telah mengabaikan doa mereka yang menderita? Tidak adakah keadilan bagi mereka?
Pada akhirnya yang paling menderita adalah Acacio. Ia menanggung penderitaan yang teramat besar atas gugurnya semua pasukan.
Sang pemimpin menjerit sembari tertunduk, melepaskan hasrat benci serta kesedihannya.
Darien, tolong. Julio, datang. Alexio, aku mohon.
Tetesan air mata Acacio terjatuh bersamaan dengan hujan yang kali pertamanya mengguyur jagat.
Hujan bukan perihal yang membawa kesedihan. Namun, ia yang membawa kesejukan. Hujan membawa harapan kepada mereka yang batinnya tak mampu menahan perihnya kenyataan.
“Lapor, Panglima!” Seorang militer memberi hormat kepada Anderson. Terlihat wajahnya diselimuti kegelisahan.
“Ada apa?” tanya Anderson.
“Pasukan di timur telah gugur semua, Panglima!”
“Apa? Gugur? Kenapa itu bisa ….”
Anderson terhenti. Tatapannya menangkap sekelompok manusia yang sedang menuju ke wilayahnya.
“Mereka telah dikalahkan oleh pasukan Akila yang lain, Panglima!”
“A-Akila yang lain?!” Anderson terhenyak. Baru kali ini ia mendengar ada ras Akila yang tidak tunduk terhadap pemerintahan Kota Plataia. “J-jadi inikah yang dimaksud dengan Akila pemberontak? Ini akan bertambah seru.” Anderson menyeringai bahagia.
Acacio sedikit lega mengetahui bantuan telah datang. Dewa mengabulkan doanya, meski terlambat sebab semua pasukannya telah musnah.
“Jangan senang dulu. Setelah pasukan di sini, aku akan menghabisi bala bantuanmu!” ucap Anderson tampak yakin.
“Silakan,” balas Acacio dengan raut menyepelekan.
“Semua prajurit! Bentuk barisan! Bersiap menyerang!”
Semua pasukan membentuk ulang barisan dengan posisi menyerang.
Julio, Alexio, beserta pasukan Akila jenis keempat telah sampai. Kini berhadapan dengan pasukan lawan. Saling bertukar pandang. Semangat membara.
“Kita lihat seberapa tangguh kalian,” batin Anderson.
“Pasukan, serang!” komandonya kemudian.
Medan perang kembali diriuhkan dengan pertarungan satu lawan satu. Akan tetapi, kini kemenangan berpihak pada pasukan Akila jenis keempat. Mereka dengan ganas membantai pasukan militer beserta ras Akila.
Pada akhirnya, pasukan Kota Plataia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Akila jenis keempat. Dalam hal kekuatan fisik, Akila jenis keempat jauh lebih unggul. Bukan hanya itu, tetapi mereka melampaui ketiga aspek Akila biasa.
Kemampuan berpikir jenis keempat jauh lebih cepat dan cerdik. Kemampuan penyembuhan apalagi. Merekalah yang pantas menyandang gelar iblis daripada Akila jenis biasa.
Anderson tidak percaya pasukannya berkurang dalam hitungan menit. Bahkan ras Akila yang ia banggakan ternyata hanya dimusnahkan dalam sekejap mata.
“Hei, hei, ada apa ini? Siapa mereka sebenarnya?” Anderson menatap lamat pertarungan yang berlangsung. Pasukan militernya sudah banyak yang menjadi bangkai, kini tersisa pasukan Akila.
“Huh, merekalah pasukan iblis yang sebenarnya. Sudah kukatakan, kalian terlalu cepat seratus tahun untuk menandingi kekuatan mereka. Lihat hasilnya. Pasukanmu satu per satu telah musnah!” jelas Acacio, kini senyum terpampang di wajahnya, bukan lagi kesedihan.
“Apa kau bilang?!” Anderson menatap tajam Acacio. “Hei, dasar bodoh! Habisi mereka!” Anderson berteriak.
“Maaf saja, kau tidak akan bisa menghabisi pasukan iblis itu dengan mudah!” Sang pemimpin lalu tertawa renyah. Ia lega dapat membalas ejekan yang beberapa waktu dilontarkan oleh Anderson dengan sombongnya.
“Dan kau bukanlah Dewa! Kau hanya manusia biasa yang sombong!” lanjut Acacio, masih tertawa pelan.
“Sialan!” umpat Anderson kesal. Matanya kemudian tertuju pada sesosok iblis yang sedang lahapnya memakan bangkai para pasukan. “Hei, kau! Jangan makan saja! Aku perintahkan kau untuk melenyapkan pasukan di sana!” perintah Anderson pada Percobaan 036.
“Ah, aku kenyang!” Percobaan 036 meregangkan setiap bagian tubuhnya. “Baiklah. Sekarang saatnya menjadi tokoh utama dalam cerita ini, Manusia!”
Acacio terkejut. Ia merasakan aura kekuatan yang luar biasa. Kekuatan itu seperti mengintimidasi. Rasa takut yang lebih dari sebelumnya kembali ia rasakan.
Tidak salah lagi, aura mengerikan itu berasal dari sesosok iblis di sana. Acacio memperhatikan Percobaan 036 yang sedang mengambil ancang-ancang.
Sosok iblis tersebut lenyap dalam sekejap mata. Tahu-tahu ia sudah tiba di tengah-tengah peperangan yang terjadi.
Percobaan 036 diam berdiri.
“Huh? Siapa kau?” tanya salah seorang Akila jenis keempat seraya melangkah menuju Percobaan 036.
Akan tetapi, belum sampai langkahnya, tubuhnya sudah terbelah duluan. Medan perang menjadi hening seketika.
“Ap-apa yang dia lakukan? Bahkan dia tidak bergerak sedikit pun.” Julio mendadak terkejut. Aura kuat itu mengintimidasi dirinya. “S-siapa dia sebenarnya?”
Memang benar, saking cepatnya Percobaan 036, ia terlihat seperti tidak melakukan apa-apa lantas berhasil membelah tubuh salah satu pasukan lawan dan kembali ke tempatnya berdiri.
“p*********n yang sesungguhnya baru saja dimulai!” Anderson kembali menyeringai.
***