Guillotine

1842 Kata
POV 3 “Sekarang, apa yang akan kita lakukan, Darien? Aku serahkan semua keputusan padamu.” Alexio berkata dengan pasrah. Ia lalu menyalakan rokok. “Perjalanan kita sudah sangat panjang. Haruskah kita pergi ke Kota Plataia? Sedangkan kita tidak tahu kebenarannya apakah Dokter Elasmus benar-benar tertangkap dan—“ “Darien. Kita bisa sampai sejauh ini kau tahu berkat siapa?” Alexio memotong. “Apakah kau berniat untuk mengabaikan keselamatan Dokter Elasmus? Kau tidak ingin menolongnya?” Darien menghela napas gusar. Memang, tampak sangat jelas di wajah lelaki bermata biru ini. Ia kini sedang dilanda kebingungan. Dilema. Jika mereka pergi ke Kota Plataia dengan nekat, tidak mungkin mereka bisa keluar lagi dengan mudah. “Apakah kita harus mengabaikan nyawa jutaan orang di dunia hanya demi menyelamatkan satu orang saja? Dan ... belum tentu juga kita bisa menyelamatkan Dokter Elasmus. Kau tahu sendiri bagaimana mengerikannya—“ “Rasmu? Ras Akila?” Alexio tersenyum miring. “Ya, aku tahu betapa mengerikannya kau. Dan hanya dengan sekali pukulan saja kau bisa menghancurkan kepala manusia biasa sepertiku.” “Alexio! Hei, ayolah. Aku memikirkan dirimu dan Achila. Aku tidak ingin sesuatu terjadi pada kalian. Ras Akila—“ “Binatang keji, kan?” Mendadak Alexio tak dapat mengendalikan diri. Perkataannya. Amarah seakan terus tersulut ketika Darien berbicara seperti tak ingin menyelamatkan Dokter Elasmus. “Bahkan ... meski kau tidak mengatakannya saja, aku tahu kalau ... kalau aku—“ “STOP, DARIEN!” Achila yang baru saja kembali mengambil ransel persediaan makanan, mendadak memekik dan memotong. “Kalian apa-apaan? Aku sudah mendengar pembicaraan kalian dari sana. Seharusnya kalian tidak memperdebatkan hal ini. Kau juga, Darien!” Achila kini menatap Darien yang tengah berwajah sedih. “Tentu kita harus berusaha menyelamatkan Dokter Elasmus. Apa kau lupa kalau Dokter Elasmus tahu segala sesuatu tentang Kota Plataia? Mungkin dia juga tahu cara untuk mengalahkan Kota Plataia.” “Aku hanya tidak ingin kalian mati sia-sia jika pergi ke Kota Plataia. Apa kau pikir mereka tidak menyiapkan sesuatu di sana? Aku yakin mereka sudah merencanakan semua ini.” Darien berdalih. “Aku tahu seberapa pintar dan licik orang-orang Plataia, Darien. Tapi, kita tidak boleh kalah. Kita juga harus lebih pintar dari mereka. Justru inilah kesempatanmu untuk membuktikan pada seluruh kota di dunia bahwa kau memang mampu mengubah dunia.” Achila kemudian mendekat kepada Darien. “Kita tidak boleh menyerah. Mereka punya rencana, tentu kita juga harus punya rencana.” “Baiklah. Jika kalian sangat ingin menyelamatkan Dokter Elasmus, kita susun rencana terlebih dahulu.” Darien menatap Alexio di samping kanan. “Alexio. Maaf, jika kau merasa aku telah meragukanmu.” “Tidak. Seharusnya aku yang meminta maaf padamu. Aku tidak bermaksud mengatakan hal yang tidak pantas padamu.” Alexio berkata dengan pelan, tetapi benar-benar terdengar tulus. “Kau memang benar, Alexio. Ras Akila memang binatang keji. Tapi, aku bukanlah bagian dari mereka. Aku adalah bagian dari kalian, Achila, Alexio.” Tatapan teduh Darien kini menyorot ke arah kedua kawannya. Achila tak mampu menahan senyum haru, sehingga pasrah. Ketiga kawan ini kemudian menyusun rencana dan memikirkan segala kemungkinan buruk yang bisa saja menghampiri mereka di Kota Plataia. “Pasukan militer mereka tidak mungkin tidak berjaga di pintu masuk kota. Jadi, dari hutan kita sudah harus waspada.” Alexio berkomentar. “Mereka lebih pintar dari itu, Alexio. Justru, kita harus tetap waspada semenjak keberangkatan kita. Mereka pasti berniat meringkus kita sebelum kita bisa masuk ke kota. Mereka tidak mungkin membiarkan kita menyelamatkan Dokter.” “Benar katamu, Darien. Apa yang mereka katakan tentang Dokter Elasmus mungkin saja benar. Tapi, tujuan mereka mengatakannya pada kita pasti agar kita terpancing. Mereka lebih kejam dari itu. Mereka bisa saja membunuh Dokter Elasmus tanpa sepengetahuan kita.” Alexio menganggukkan kepala. “Ini. Makanlah!” Achila memberikan sepotong roti seukuran batu-bata kepada kedua lelaki di hadapannya. “Entah kenapa rasa laparku tiba-tiba hilang akibat pertempuran tadi.” Alexio enggan mengambil roti dari tangan Achila. Lantas terus menyesap rokok yang hampir habis. “Kau harus  makan! Atau kau akan sakit.” Gadis bermata almond ini bersikeras agar Alexio mau mengambil roti gandum di tangannya. “Baiklah.” Dibuangnya puntung rokok, lalu menerima roti yang diberikan Achila. “Ngomong-ngomong, apakah benda dari Dokter masih bisa digunakan?” Darien bertanya. “Masih. Aku mencobanya beberapa saat yang lalu. Ada di sana.” Achila menunjuk sebuah batu besar di sebelah utara. Di sana terdapat tiga benda bernama rocket float. “Kalau begitu, kita gunakan benda itu besok.” Darien mengunyah potongan roti terakhirnya. “Kalau begitu, aku ingin tidur.” Lantas membentangkan sehelai kain hitam di atas tanah sebagai alas.   ***   Setelah mengarungi beberapa bukit dan kota, Darien dan kedua kawannya sampai di hutan sebelum pintu masuk Kota Plataia. Ketiganya melepas rocket float, lalu menyembunyikan di antara semak-semak di hutan. Begitu juga dengan ranselnya. Karena akan menghambat atau menjadi beban, Achila memutuskan untuk meninggalkannya bersama rocket float. Prediksi Darien terbukti benar. Di pertengahan lahan hutan dan di beberapa tempat menuju pintu masuk kota, petinggi kota mengerahkan sekian kompi militer untuk berjaga. Hal ini mungkin juga bertujuan agar lebih cepat Darien dan dua kawannya tertangkap. Namun, tentu saja karena Darien merupakan ras Akila jenis keempat, ia dapat menyusun strategi untuk bisa masuk ke kota. Dengan cara bergeriliya, Darien dan Alexio membunuh pasukan militer kota satu per satu. Mereka punya senapan dan pistol kedap suara yang mereka ambil dari pertempuran kemarin. “Darien, kau dan Achila duluan saja. Aku akan mengikuti dari belakang. Aku akan melindungi kalian.” Alexio setengah berbisik, sembari menenteng sebuah senapan laras panjang. Diaturnya, lalu tiarap. Membidik untuk mencari target. “Baiklah. Achila, ikuti aku dari belakang!” Sepanjang perjalanan, di sisi kiri dan kanan penuh oleh penjaga. Namun, semua itu berhasil diatasi berkat bantuan Alexio yang bertugas sebagai sniper. “Ayo!” Darien mengangguk pada Achila, mengisyaratkan bahwa wilayah telah bersih dari pasukan musuh. Akan tetapi, ketika melewati sebuah pohon terakhir untuk sampai di bangunan Plataia City Department of Defense, muncul satu lagi militer yang kemudian membekap mulut Achila. Darien terperangah. Ketika berusaha menyelamatkan Achila, militer tersebut menodongkan pistol ke kepala gadis itu. Gadis bermata almond mencoba berontak, tetapi percuma. Militer tersebut semakin erat membekap. “Menjauh!” Prajurit militer berkulit hitam meminta Darien menjauh sembari berwaspada. Darien tak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi, tangan kiri Darien tersembunyi di belakang punggung. Ia mengisyaratkan kepada Alexio untuk membunuh militer yang membekap Achila. Beberapa menit berlalu, Alexio belum juga melepaskan tembakan. Karena merasa ada yang aneh, Darien memutar badan ke belakang. Ia mendapati Alexio di sana telah tertangkap salah satu militer. Nasib Alexio sama seperti Achila. Darien membatu. Sama seperti pada saat itu. Ia tampak sangat ingin mencincang kedua militer yang menangkap kawannya. “Tidak, tidak. Jangan lakukan itu!” Seseorang keluar dari pintu masuk bangunan di sebelah utara. “Jika kau melakukannya, salah satu kawanmu akan menjadi bangkai di sini.” Pria berkumis, merupakan salah satu petinggi kota Plataia, menjejakkan langkah mendekati Darien. Diikuti sekelompok pasukan militer lainnya di belakang. “Menyerah atau—“ “Aku menyerah.” Darien pasrah seraya menyerahkan kedua tangan untuk diborgol. “Tidak, Darien! Lari!” Alexio memekik. Darien menoleh ke arah Alexio, lalu menggeleng pelan. “Oh, ayolah! Darien! Kau masih punya—“ Kalimat Alexio tercekat karena prajurit yang menangkapnya tadi membekapnya. Berontak. “Apa yang kau inginkan?” Darien bertanya pada pria berkumis tebal di hadapannya. “Prajurit! Borgol dia!” Tanpa memedulikan pertanyaan Darien, pria tersebut memerintahkan salah satu prajurit untuk memborgolnya. Alhasil, Darien dan dua kawannya dibawa masuk ke dalam departemen pertahanan kota dan dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah.   ***   “Baiklah. Kalian akan dikurung di sini! Jangan melawan! Jangan mencoba untuk melarikan diri! Besok kalian akan dihukum mati!” Di dalam penjara bawah tanah, bau-bau busuk yang menyengat hidung dapat merusak penciuman siapa pun. Gelap. Darien dan dua kawannya dikurung secara terpisah. Ditambah lagi kaki dan tangan dibelenggu rantai logam. Ya, sekuat apa pun manusia, hanya ada satu persen kemungkinan untuk keluar dari kurungan. Akibat kekesalannya, Darien membenturkan kepala dengan keras di jeruji besi hingga beberapa kali. Tentu darah segar dari kepalanya mengalir hingga menetes pada tanah. “Darien! Jangan lakukan itu lagi!” Suara itu tentunya berasal Achila yang terpisah jeruji dari Darien. Namun, Darien tak menghentikan aktivitasnya. Ia terus-menerus membenturkan kepala hingga membuat lengkungan di besi-besi jeruji. “DARIEN! Aku sama sekali tidak menyesal ikut denganmu!” Lelaki ras Akila itu tetap tak menghiraukan Achila. “HENTIKAN!” Darien tiba-tiba berhenti. Namun, bukan berhenti karena teriakan gadis bermata almond, melainkan ia melihat seseorang di jeruji seberang. “Ini saya, Darien. Dokter Elasmus.” Seorang pria tua renta yang mengaku sebagai Dokter Elasmus berjalan pelan. Tubuhnya menyentuh besi-besi jeruji. “D-Dokter!” “Semua ini salah saya. Saya tahu kalian datang untuk menyelamatkan saya. Maafkan saya. Saya telah membawa kalian ke masalah ini.” Tampak begitu sedih. Dokter Elasmus berkata seakan-akan dialah sumber masalah akibat tertangkapnya Darien dan dua kawannya. “Tidak, Dok. A-aku ... aku tidak merasa bahwa Anda yang salah. Ini hanya akibat kelemahanku. Ini membuktikan aku belum pantas menjadi orang yang akan mengubah dunia ini. Aku—“ “Jangan dilanjutkan.” Dokter Elasmus menyela. “Jangan membawa-bawa masalah ini sebagai kelemahanmu, Nak.” “Aku akan mengeluarkan kita semua dari sini. Aku akan mencoba untuk ....” Darien berusaha memutuskan rantai logam yang membelenggu tangan. Sekuat tenaga. “Rantai itu terbuat dari logam inti bongkahan komet. Kau tidak akan mampu merusaknya sedikit pun. Itu khusus digunakan untuk membelenggu ras Akila.” Dokter Elasmus menerangkan. Darien terhenti, kemudian bersimpuh. Ia menunduk. Kenapa? Begitulah pertanyaan yang dilontarkan hatinya. “Aaarrrggghhh!!!” Darien kini tenggelam dalam sebuah keputusasaan. Hatinya menjerit dan melontarkan sumpah serapah kepada Sang Dewa.   ***   Field of Punishment and Devotion Plataia City “Penggal! Penggal! Penggal!” “Bunuh! Bunuh! Bunuh!” “Penggal! Penggal! Penggal!” Teriakan penghakiman rakyat Kota Plataia terdengar riuh di sebuah lapangan yang terletak di tengah-tengah kota. Lapangan yang disebut dengan Punishment and Devotion ini merupakan tanah bidang yang terdapat sebuah guillotine[1] raksasa untuk memenggal pemberontak atau mata-mata yang masuk ke Kota Plataia. Tiga orang laki-laki dan satu perempuan dibawa masuk menuju lapangan. Ya, mereka adalah Darien, Alexio, Dokter Elasmus, dan Achila. Tak ada lagi yang dapat mereka lakukan. Selain itu, tangan mereka berposisi di belakang dan dibelenggu rantai logam. Kini, mereka harus pasrah dan menerima takdir. Keempat orang itu kemudian berderet di atas panggung yang terdapat sebuah guillotine raksasa. Empat kepala pun dapat dipenggal secara bersamaan. “Laksanakan!” Setelah mendapatkan perintah dari petinggi, algojo membawa empat terdakwa menuju guillotine. Empat kepala diletakkan di antara dua balok kayu, di tengah terdapat lubang tempat mendaratnya pisau. Terdakwa siap dieksekusi. “Bunuh! Bunuh! Bunuh!” Teriakan penghakiman rakyat terdengar semakin riuh. Tak satu pun dari mereka yang menampakkan wajah kasihan kepada empat terdakwa. Yang ada hanyalah rasa ketidaksabaran untuk melihat Dewa Guillotine memutuskan leher Darien dan yang lainnya. Tali yang menahan jatuhnya pisau pada guillotine siap ditebas oleh algojo. “Satu!” “Dua!” “Tiga!” *** [1] Sebuah alat yang digunakan untuk menghukum orang yang divonis hukuman mati.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN