Ucapan Selamat Tinggal

1956 Kata
POV 3   Eleusina’s Undergound Shelter Seorang pria bijaksana tengah melatih sekelompok pasukan di ruang bawah tanah. Acacio, sang pemimpin Kota Eleusina, tampak begitu antusias melihat perkembangan pasukan tempur yang makin hari makin bertambah ahli dalam strategi dan teknik berperang. Selain dari teknik berperang dengan senjata, pasukan-pasukan Akila tak murni ini dilatih juga untuk menguasai ilmu bela diri, teknik berpisau dan berpedang, juga teknik memanah. Semua pasukan yang ada di ruang bawah tanah ini adalah ujung tombak bagi Kota Eleusina. Mereka adalah harapan untuk melawan diktator[1] Kota Plataia. Apalagi semenjak kehadiran Darien di kota ini, semua pasukan makin semangat mengasah kemampuan. Darien bagaikan motivasi bagi mereka. Acacio duduk di sebuah kursi kayu sembari memandangi antusiasnya para pasukan mengembangkan teknik bela diri. “Lapor!” Seorang pria yang merupakan kaki-tangan Acacio memberi hormat dengan tegas. Acacio berdiri dan memberikan hormat kembali pada pria bernama Antonius itu. “Dokter Elasmus melaporkan bahwa tadi malam ia tertangkap para petinggi Kota Plataia karena diduga telah membantu pemberontak dan memfasilitasi mereka.” Antonius menurunkan tangan dari kepala. “A-APA?!” Acacio membelalak mendengar laporan berikut. “B-bagaimana itu bisa terjadi?” “Yang pasti Dokter Elasmus sempat mengatakan bahwa dirinya telah dicurigai para petinggi sejak lama. Tadi malam Dokter Elasmus menghubungi saya melalui saluran komunikasi rahasia.” “Lalu, apa lagi yang dikatakan oleh Dokter?” “Dia meminta kita membawa pasukan menuju Kota Plataia. Hari ini Dokter akan dihukum mati bersama Darien, Alexio, dan teman gadisnya.” “APA?! Mereka juga tertangkap?” Mata Acacio semakin membelalak. Mimik bahagia yang tadi sempat terlihat, hilang seketika. Tak membekas. Kini segala macam pikiran hinggap di benak. Sangat jelas Acacio masih ragu untuk membawa pasukan ke Kota Plataia. Mustahil kota itu tidak memiliki pengamanan yang sangat ketat. Akan tetapi, jika ia tidak melakukan sesuai yang diminta Dokter Elasmus, maka berakhirlah harapan untuk mengubah dunia. Pasalnya, Darien dan Dokter Elasmus sangat berperan penting dalam misi ini. Jauh sebelum keberadaan Darien muncul di Kota Eleusina, Dokter Elasmus dan Acacio telah berencana melawan penindasan yang dilakukan Kota Plataia. Dan pelarian diri Darien dari Kota Plataia juga sebelumnya telah direncanakan Dokter Elasmus. Setelah mengetahui bahwa Darien ternyata memiliki gen yang sama seperti orang tuanya, Akila665 dan Akila756, Dokter Elasmus lalu mengambil tindakan agar Darien tidak mengulangi sejarah kelam keluarganya. “Bagaimana, Sir?” Antonius meminta jawaban dari Acacio. Acacio menghela napas panjang, mencoba meyakinkan diri sendiri. Ia berbalik badan, lalu memberikan perintah kepada semua pasukan di ruang bawah tanah ini. “Wahai pasukan-pasukanku yang kuat dan gagah berani! Dengarkan aku!” Semua pasukan menghentikan aktivitas, berbalik badan. Berbaris dengan rapi. “Hari ini, akan kita uji kemampuan kalian. Sejauh mana kemampuan kalian dalam menghadapi perang yang sesungguhnya. Kita akan menghadapi pasukan Kota Plataia! Entah itu pasukan militer ataupun ras Akila. Karena di hari ini, kita akan menyelamatkan tokoh-tokoh penting agar mimpi-mimpi kita tercapai di kemudian hari.” Acacio mengedarkan pandangan ke semua pasukan. Melihat kesiapan dan keantusiasan mereka dalam mengikuti perintahnya. “Aku akan bertanya kepada kalian. Adakah dari kalian yang tidak siap melaksanakan perintahku? Jika ada, maka angkatlah tangan kalian. Kalian yang tidak siap mati demi damainya dunia kita. Angkat tangan kalian!” tegas Acacio. Ia berapi-api. Semangat itu menular ke seluruh pasukan. “Kami semua siap mengikuti perang demi mendamaikan dunia!” Semua pasukan berucap dengan lantang. Tak ada satu pun keraguan yang bersemayam di dalam benak mereka. Meskipun mereka tahu bahwa musuh yang akan dihadapi tidaklah lemah. Namun, ini merupakan kebanggaan bagi semuanya. Ini merupakan suatu kehormatan untuk ikut ambil bagian dalam peperangan dan terabadikan sejarah. “BAGUS! Berteriaklah! Tunjukkan semangat kalian ke semua orang! Tunjukkan tekad kalian! BERTERIAKLAH!” Dengan lantang Acacio berkata hingga urat-urat di leher tampak sangat jelas. “KAMI SIAP MENGIKUTI PERANG! KAMI SIAP MATI DI MEDAN PERANG!” “Bagus! Sekarang, mari angkat senjata kalian! Pakailah zirah kalian! Kita akan berangkat ke Kota Plataia.” Semua pasukan bubar. Dengan segera mereka mengambil persenjataan di dalam peti persegi. Lalu mengenakan zirah logam yang telah dirancang khusus Dokter Elasmus. Semua pasukan menyuntikkan serum biru ke tubuh. Pasalnya, serum ini diciptakan Dokter Elasmus agar ras Akila tidak murni dapat menyamai kuatnya ras Akila murni meski tidak dapat bertahan lama. Ada lebih dari seribu pasukan Akila tidak murni mengikuti perang ini. Rata-rata usia mereka adalah dua puluh lima tahun. Ya, usia yang terbilang cukup untuk mengikuti perang. “Baiklah, pasukan-pasukanku yang kuat dan gagah berani. Mari, kita menapaki jalan keadilan kita! Mari, kita realisasikan kehidupan yang selama ini kita idam-idamkan bersama! SIAP?!” “SIAP!!” Semua pasukan menjawab serentak, lalu akhirnya berangkat menuju Kota Plataia. ***   Kedatangan pasukan Kota Eleusina di Kota Plataia disambut ribuan militer. Penjagaan sangatlah ketat demi terlaksananya hukuman mati bagi keempat terdakwa. Akan tetapi, ini tidak menyurutkan semangat semua pasukan Kota Eleusina. Semua pasukan berlari dan menyerbu dengan ganas. Riuhnya suara berbagai macam senjata menghiasi hutan Kota Plataia. Semua pasukan ras Akila tidak murni masih belum terkalahkan. Ya, ini tentu saja berkat serum yang telah mereka suntikkan ke dalam tubuh. Tampaknya ras Akila tidak ikut ambil bagian dalam perang ini. Petinggi Kota Plataia sepertinya hanya mengerahkan pasukan militer. Mereka terlalu menganggap remeh kekuatan lawan. Dalam beberapa menit saja, pasukan militer yang berjumlah ribuan tadi, kini telah berkurang menjadi angka ratusan. Sedangkan, pasukan Akila tidak murni masih berjumlah ribuan. Pasukan militer Kota Plataia tak dapat membendung amukan Akila tidak murni, sehingga militer yang tersisa berlari terbirit-b***t menyelamatkan nyawa. “Jangan biarkan mereka melarikan diri! Bidik dan tembak!” seru Acacio memerintah. Seperti inilah sosok asli pemimpin bijaksana bernama Acacio. Di medan perang ia tampak sangat berbeda jika dibandingkan dirinya yang selalu tenang. Acacio berwajah beringas. Sesekali menyeringai. Pasukan Kota Eleusina melenyapkan ribuan militer Kota Plataia. Kini mereka merubuhkan pintu masuk Kota Plataia. Lalu berbondong-bondong mencari empat tokoh penting dalam penyelamatan dunia ini menuju ke lapangan Punishment and Devotion. ***   Alexio menelan ludah yang terasa kelu sembari menatap dua kawannya di sebelah kiri. “Jangan takut. Percayalah, keajaiban pasti datang.” Dokter Elasmus berbisik pada Alexio yang tengah berkeringat karena sebentar lagi kepalanya akan dipenggal. “Satu!” “Dua!” “Tiga!” Secara bersamaan keempat terdakwa memejam sembari berharap di dalam hati bahwa Dewa menyelamatkan. Ya, tak ada yang terjadi. Meskipun tangan sang algojo yang memegangi sebuah kapak telah mengangkat dan siap memotong tali yang menahan pisau guillotine, tetapi ia bergeming. Lantas apa yang terjadi? Darien membuka mata, lalu menoleh. Sang algojo benar-benar tak berkutik. Matanya membelalak seperti seseorang yang telah kehabisan napas. Lantas apa yang terjadi? Semua warga Kota Plataia juga kini tak lagi mengeluarkan suara. Mulut mereka menganga melihat sang algojo kehilangan nyawa. Lantas apa yang terjadi? Ternyata jauh di pintu masuk lapangan penghukuman ini, seorang pria dengan baju zirah keemasan, memegangi busur panah, tersenyum miring. Bangga akan pencapaiannya. Hingga tak lama kemudian, sang algojo rubuh dengan posisi tengkurap. Di bagian belakang kepalanya, menancap sebuah anak panah. Para petinggi mengernyit. Berwajah beringas. Dan murka mengetahui perihal ini. Mereka membalikkan badan ke arah pintu masuk lapangan. Yang dilihatnya ialah Acacio, pemimpin Kota Eleusina, tengah memahat seringai sebagai kebanggaan karena telah berhasil membunuh algojo. Tentu saja kesempatan emas ini tidak disia-siakan Darien dan kawan-kawannya. Darien mengangkat balok kayu guillotine yang mengimpit leher dan leher tiga kawannya. Akhirnya mereka berlari dengan kencang menuju pintu masuk lapangan untuk mendapatkan perlindungan dari pasukan Kota Eleusina. Satu per satu warga Kota Plataia meninggalkan tempat. Berlari menyelamatkan diri dari p*********n Kota Eleusina. Sehingga yang tersisa kini hanya para petinggi berkumis tebal. “Berani-beraninya mereka! Kerah—“ “Lapor!” Salah seorang pasukan mencekat kalimat pria berkumis tebal ini. “Ribuan pasukan militer telah dibantai pasukan Kota Eleusina.” Seketika itu, pria berkumis tebal membelalak tak percaya. Dengan perlahan ia menoleh ke arah pria berbaju zirah emas di pintu masuk lapangan sana. “b*****t!” Dengan penuh emosi pria itu berteriak. “Kerahkan semua ras Akila! Aku tidak mau tahu! Perintahkan semua ras Akila untuk membunuh orang-orang itu!” “Siap, laksanakan!” Para petinggi masuk ke dalam sebuah helikopter di tengah lapangan untuk melarikan diri dari pasukan Kota Eleusina. Salah satu militer tadi mencabut radio yang menancap di rompi yang dikenakannya. Ia mulai mendekatkan mulut di microphone radio dan berucap, “Sang Penakluk! Cepat, kerahkan pasukan Akila menuju lapangan penghakiman! Ini perintah dari petinggi. Bunuh semua pasukan Kota Eleusina.” Sementara Darien dan ketiga kawannya yang telah tiba pada pintu masuk lapangan penghakiman, kemudian bergabung dengan semua pasukan Kota Eleusina. “Ayo, lepaskan borgol mereka!” Beberapa prajurit membantu keempat orang ini melepaskan logam berat yang tengah memborgol tangan mereka. “Terima kasih semuanya.” Darien berucap penuh syukur. “Sudah kubilang keajaiban akan datang untuk kita.” Dokter Elasmus menimpali. “Tapi, untuk saat ini kita harus segera pergi dari sini. Pasukan Akila sedang dikerahkan kemari.” “Kenapa kita tidak melawan saja, Dok?” Acacio bertanya. “Tidak. Pasukan kita belum cukup kuat untuk mengalahkan para Akila. Serum yang mereka gunakan masih dalam tahap pengembangan.” “Baiklah. Ayo, helikopter ada di luar hutan. Kita harus segera pergi sebelum pasukan Akila datang.” Acacio berucap. Setelah itu, Darien beserta semua pasukan berjalan menuju helikopter di luar hutan. Bisa dan tidaknya mereka meninggalkan daerah Kota Plataia tergantung dari seberapa cepat mereka berlari. Jika pada akhirnya mereka dipertemukan dengan ras Akila, maka semuanya akan berakhir dalam sekejap. Tidak mungkin semua pasukan Kota Eleusina tak dibantai habis-habisan oleh ras Akila. Mengingat bahwa ras Akila mampu memecahkan kepala seseorang dalam sekali pukul, tentu hal ini sangat berbahaya. Tak lama kemudian, semua pasukan berhasil keluar dari hutan dan masuk ke dalam helikopter. Akan tetapi, beberapa meter di belakang mereka ternyata telah tampak keberadaan ras Akila. “Hei! Ayo, cepat! Cepat! Cepat, naik!” Alexio memerintahkan. Tak dimungkiri bahwa mimik di wajahnya menunjukkan ketakutan luar biasa. Ya, itu karena Alexio telah menyaksikan sendiri bagaimana menakutkannya ras Akila ini. Beberapa unit helikopter telah melesat pergi meninggalkan daerah Kota Plataia. Dan kini hanya tinggal satu helikopter. Achila dan Alexio ada di dalamnya. “Darien! Cepat, naik! Kau kenapa?” Achila bertanya karena melihat Darien hanya terdiam sambil menunduk. “Darien? Kau kenapa?” Kini Alexio ikut bertanya. “Kalian, pergilah! Aku ... aku akan—“ “Jangan berpikir yang macam-macam! Aku tidak akan memaafkanmu!” kata Achila sembari menatap Darien lamat-lamat. Ada suatu emosi di tatapan gadis ini. “Maafkan aku.” Mesin helikopter telah dinyalakan, tetapi Darien tak kunjung beranjak. “Hei! Ayolah!” Alexio menggeleng-geleng. Sementara itu, Achila seolah-olah sudah enggak berkata-kata. Sedari tadi ia hanya menatap Darien dengan kecewa. “Maafkan aku, Alexio, Achila!” Lelaki bertubuh kekar ini membalik badan sehingga berposisi membelakangi kedua kawannya. “Apa yang mau kau lakukan?” Alexio bertanya. Darien memutar kepala sembilan puluh derajat ke kanan. Memahat sebuah senyuman. “Terima kasih telah menjadi sahabat yang baik untukku. Jika dikehendaki oleh Dewa, kita pasti akan bertemu lagi. Jika aku memang pantas mengubah dunia ini, maka aku akan selamat dari mara bahaya yang sebentar lagi akan kuhadapi.” Darien lalu berjalan dengan perlahan meninggalkan helikopter tempat kedua kawannya berada. Achila tak dapat membendung keinginannya untuk menggapai Darien. Sehingga ketika helikopter mulai terbang, Achila mengulurkan tangan, lalu berteriak untuk menghentikan pria Akila tersebut. “Hei, Darien! Tidak! Darien! Jangan lakukan ini padaku! DARIEN! DARIEN! Aku mencintaimu!” Darien membelalak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Achila. Ia berhenti dan mendongak, melihat wajah Achila yang ternyata telah dipenuhi air mata. Cin ... ta? Tentu saja Darien bingung tentang apa arti kalimat terakhir yang dilontarkan gadis bermata almond tadi. Darien memutar kepala untuk kembali menatap lurus ke pasukan Akila di hutan sana. Akan tetapi, sebelum dia berhasil mengalihkan pandangan. Seonggok logam menghantam kepalanya. Darien merasa pusing. Ia rubuh begitu saja. Dan pandangannya menjadi gulita. *** [1] Diktator adalah seorang pemimpin negara yang memerintah secara otoriter/tirani dan menindas rakyatnya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN