POV 3
“Kota ini adalah target pertama hari ini. Kau boleh memakan semua manusia yang ada di kota ini.”
“Haha. Kau terlalu baik untuk seorang manusia.”
“Masuklah. Aku akan menyusul dengan beberapa pasukan.”
Sebuah kota kecil di arah timur Daratan Asterovos yang jarang dijangkau oleh pengelana, ini merupakan target awal Panglima Anderson untuk memicu peperangan besar kesekian di dunia. Plus merupakan kesempatan untuknya menguji seberapa ganas iblis yang telah ia ciptakan tersebut. Meskipun sebenarnya di kota kecil ini tidak memiliki prajurit andalan, tetapi mereka bisa menjadikan manusia-manusia lemah itu untuk latihan dan pemanasan.
Percobaan 036 sudah sampai di kota kecil bernama Plution Town. Matanya mengedar menyaksikan para manusia yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pada bagian kota di sebelah selatan, orang-orang sibuk berdagang. Sedangkan di bagian utara, mereka sibuk membangun.
Tentu saja, ini merupakan sasaran empuk bagi Percobaan 036. Dia sangat hobi melihat wajah-wajah keputusasaan dan ketakutan para manusia. Maka dari itu, jika ia mengamuk di kota kecil ini dan memangsa, tidak peduli anak-anak ataupun orang tua, ia yakin akan sangat membuat suasana hatinya seperti berada di sebuah surga. Kesengsaraan mereka adalah surga bagi iblis berbola mata merah menyala itu. Jangan lupakan juga wajahnya yang menyeramkan. Ketika nafsu telah menyelimuti, maka taring akan tumbuh sepanjang lima sentimeter di mulutnya.
“Hei, Pak Tua! Lemparkan palu itu padaku.” Salah satu pekerja yang sedang membangun gedung di utara kota, berteriak dan meminta pekerja di bagian atas untuk melempar hammer padanya yang berada di bagian bawah.
“Baik. Tangkap, ya!” Pak tua dengan kumis rimbun yang memutih itu kemudian menjatuhkan hammer ke bawah.
Pria paruh baya lalu menanti hammer untuk segera dia tangkap. Akan tetapi, dalam hitungan detik saja, sebuah bayangan mendahuluinya menangkap benda berat itu. Si pria paruh baya, tidak lupa juga pak tua di atas sana, seketika membelalak tak percaya.
Bayangan yang tadi ia lihat ternyata ialah sosok Percobaan 036. Dengan kecepatan kilat, ia melesat dan menggapai hammer. Lantas pada detik selanjutnya, ia mengayun benda yang terbuat dari logam itu ke arah pria paruh baya tepat pada bagian kepala hingga bersimbah darah. Tidak hanya itu, di detik berikutnya, Percobaan 036 lalu melompat ke atas dan hammer di tangan kanan menyetubuhi Pak Tua.
Hanya dalam hitungan detik, iblis itu sudah bisa melumpuhkan dua manusia. Bayangkan saja jika dia ada di kerumunan manusia, ia pasti bisa menghabisi ribuan dalam hitungan jam.
Percobaan 036 lalu menurunkan bangkai pak tua di atas dan menumpuknya dengan bangkai pria paruh baya di bawah. Tidak, ini belum cukup baginya.
Semua pekerja yang ada di bangunan lantas tak dapat berkata-kata. Menganga dan mata mereka membulat sempurna. Bahkan mereka pasti sudah bisa menebak akan bernasib sama seperti kedua rekannya itu. Bagaimana bisa berlari jika kecepatan iblis itu saja seperti kilat?
Kedua kaki mereka rasanya tidak dapat digerakkan. Mata Percobaan 036 mengintimidasi. Itulah sebabnya mereka tidak dapat bergerak. Hawa keberadaan mereka telah kalah dengan intimidasi iblis itu. Kini, saatnya memanen santapan lezat.
Percobaan 036 membabi buta. Membunuh satu per satu semua pekerja. Mengisap darah mereka, mengurai daging mereka dengan amat sangat ganas hingga tak satu pun yang tersisa.
Tidak sampai di sini saja. Pesawat dan helikopter militer Kota Plataia telah tiba di kota kecil ini. Ada empat helikopter dan empat pesawat tempur. Salah satu pesawat tempur menembakkan amunisi dan memporak-porandakan rumah-rumah penduduk.
Para penduduk berlari ketakutan. Rasa takut dan keputusasaan menyelimuti jiwa mereka. Lantas, siapakah yang dapat menolong mereka?
Jerit kecemasan para manusia bagai seruling merdu bagi Percobaan 036. Suasana hatinya sedang baik saat ini. Sembari menikmati lezatnya daging manusia, ia juga menikmati merdunya jerit manusia-manusia lemah.
Tak cukup hanya satu amunisi. Pesawat tempur kembali melepaskan amunisi secara bersamaan. Setengah bagian kota telah hancur lebur. Para manusia terkapar. Sebagiannya lagi mencari tempat naungan. Sebagian lagi mencari pertolongan. Percuma!
“Di sini kau ternyata.”
Sebuah suara mengalihkan pandangan Percobaan 036.
“Oh, sepertinya kau sedang gembira,” kata Anderson lagi sebab melihat rekan iblisnya tersebut makan dengan lahap. Seolah-olah binatang yang tak pernah makan berminggu-minggu.
“Kau juga. Sepertinya kau sedang berbunga-bunga,” balas Percobaan 036 sembari terus mengunyah empuknya daging para pekerja.
“Lihatlah, pemandangan ini sangat indah, bukan?” Anderson menghela dan mengembuskan napas dengan kedua mata memejam. Dia sangat menikmati suasana itu.
Memang, bagi seorang Panglima yang sangat menggilai perang, kehancuran dan aroma yang dihasilkan berbagai amunisi ini adalah surga dunianya. Ini adalah taman bermain bagi seorang Anderson. Suara-suara yang memekakkan telinga adalah nyanyian yang melegakan d**a untuknya.
“Nah, Manusia! Apa kau tidak mau mencoba memakan sesama manusia?” tanya Percobaan 036 tiba-tiba yang membuat Panglima Anderson langsung mengerutkan dahi.
“Kalian para manusia, bukankah kalian senang saling menghancurkan? Lantas, kenapa tidak mencoba saling memakan?” tambah iblis itu seraya mencabik-cabik mayat di hadapannya.
“Hah! Itu menjijikkan bagi kami,” ucap Anderson ketus.
“Bodoh! Ini sama saja ketika kalian saling menghancurkan satu sama lain. Tapi ... jika kau tidak mau, baguslah. Aku bisa makan sepuasnya. Aku akan menikmati santapan lezat ini sendirian.”
“Kau tahu? Kau sebenarnya adalah manusia. Namun, kami telah menyuntikkan serum percobaan untuk menjadikanmu sangat kuat seperti saat ini. Reaksi kimia di dalam tubuhmu yang membantumu menjadi kejam dan ganas. Tentu saja, kau juga sangat kuat. Aku juga menemukan partikel atom di tubuhmu yang kemudian membentuk kecepatan dalam kapasitas yang tinggi. Manusia biasa tidak akan bisa mengukur seberapa cepat kau ketika reaksi itu terjadi.”
“Lalu, apakah kau tahu jika aku memakan satu manusia, maka kekuatanku akan bertambah dua kali lipat? Memakan dua manusia, akan bertambah empat kali lipat dan seterusnya?”
“Aku sudah cukup menganalisa tubuhmu. Jadi, aku tahu. Itulah sebabnya aku sengaja membiarkanmu makan sepuasnya di kota tidak berguna ini. Berterima kasihlah kau.”
“Seperti yang diharapkan, kau memang cerdik, Manusia!”
***
“Apa yang kau pikirkan, Nak? Tampaknya, kau begitu murung sejak kemarin.” Julio menghampiri Darien yang tengah merenung di tepi laut pulau ini. Ini merupakan malam kedua mereka ada di pulau tempat berkumpulnya ras Akila. Besok mereka berencana akan kembali ke Kota Eleusina dan membawa kendaraan yang lebih besar untuk mengangkut semua ras mereka. Pemimpin ras Akila di pulau ini telah setuju dan sepakat dengan semua penduduk untuk ikut serta dalam pertempuran besar yang direncanakan Darien dan kawan yang lain.
“Akhirnya, tidak ada cara lain untuk menghentikan peperangan, ya?” desis Darien dengan sorot mata memandang laut luas di hadapan.
“Seperti inilah kehidupan di dunia, Darien. Ideologi terkadang tidak dapat menjangkau serta mengetuk hati lawan. Maka, tidak ada cara lain selain menempuh jalan kekerasan. Hanya saja, perang kali ini kau tidak perlu mengikuti ego demi membuktikan siapa yang hebat. Namun, buktikanlah bahwa kau berpijak pada kebenaran. Dunia ini harus diubah. Semua orang butuh keadilan,” jelas Julio panjang lebar.
“Tapi ... pada akhirnya seseorang tetap berpikir soal kalah dan menang.” Darien tersenyum miring. “Seperti itulah perang bagiku, Yah. Hanya soal kalah dan menang.”
Julio menghela napas panjang. Ia tatap sang anak dengan lamat. Darien menolehkan tatapan. “Kau kenapa memandangiku seperti itu, Yah?”
“Ayah sudah mengatakannya berulang kali, tapi sepertinya Ayah harus percaya dengan apa yang Ayah lihat, Nak. Kau benar-benar tumbuh dewasa. Sangat jauh dari apa yang aku pikirkan tentangmu sebelum kita dipertemukan kembali.”
“Iya. Ini semua berkat kedua orang itu, Yah. Alexio dan Achila. Merekalah yang sudah menuntunku ke jalan ini. Berkat mereka, aku berani mengambil langkah. Bahkan saat keraguan mulai mengerubungiku, mereka tetap tidak menyerah menunjukkan jalan ini.”
“Syukurlah.” Julio menghela napas panjang, ia mendongakkan kepala, menatap bintang-bintang yang berkilau. “Rasa terima kasih saja sepertinya tidak cukup untuk mereka.”
“Kalau begitu, kita harus merayakannya, Yah. Sebelum kita menghadapi perang esok, bagaimana kalau kita berpesta malam ini?” saran Darien.
“Ide yang bagus, Darien. Ayo, kita hampiri mereka di camp.”
Kedua manusia itu pun melangkah menuju camp untuk mengadakan pesta sebagai bentuk rasa syukur kepada Dewa. Juga sebagai perayaan sebelum menghadapi perang besar yang akan terjadi esok harinya.
***
“Achila, Alexio. Kalian tunggulah di sini. Aku dan Darien akan kembali ke kota untuk meminjam kendaraan yang lebih besar.”
“Baik. Kami akan menunggu di sini. Kalian hati-hatilah. Perasaanku tidak enak hari ini,” jawab Alexio cepat.
Pagi ini sudah datang. Hari yang akan terukir dalam sejarah peradaban manusia. Hari yang penuh harapan dan doa-doa dari banyak orang.
“Ayo, Darien. Kita berangkat!”
Sementara itu, di Kota Plataia telah berbaris pasukan militer dengan gagahnya. Panglima Anderson menyampaikan ceramah pagi untuk para pasukan.
Barisan ini dibagi menjadi dua kelompok. Di barisan sebelah barat diisi oleh pasukan Akila yang berjumlah ribuan. Sedangkan di barisan timur, diisi oleh kelompok militer yang tidak kalah jumlah dari pasukan Akila.
“Saya harap kalian bisa bertempur dengan gagah hari ini. Demi sebuah kemenangan, jadilah kalian yang terdepan! Menangkanlah peperangan ini untukku! Berteriaklah kalian dengan bangga di hadapan para musuh! Teriakkan kebanggaan kalian serta kibarkanlah bendera kemenangan kita untuk kesekian kalinya!”
“Yaaaaaaaa!” teriak semua militer bersemangat, tidak terkecuali pasukan Akila.
“Aku yakin kalian yang terbaik! Aku yakin kalian bisa diandalkan! Aku yakin kalian adalah kebanggaan kami! Bersiaplah untuk mati demi kami!”
“Yaaaaaa!” Teriakan semangat kembali meramaikan suasana. Namun, terhenti seketika.
Di pintu masuk, seorang pria paruh baya dengan seragam putih bersih melangkah diiringi penjaga di kiri dan kanan. Pria berkumis itu lalu terhenti di samping Panglima, yang kemudian membuat Anderson mundur beberapa langkah.
Pria itu berdeham, lalu angkat bicara, “Menangkan perang ini!” katanya dengan pelan, tetapi tegas.
“Ingatlah apa yang telah kami berikan kepada kalian. Kekayaan, kenyamanan, wanita cantik, jabatan. Semua sudah kalian dapatkan di kota yang kalian cintai ini berkat saya! Sekaranglah saatnya kalian buktikan. Sekaranglah saatnya kalian pertahankan kehidupan damai kalian ini dengan cara memenangkan peperangan. Bunuh mereka yang menghalangi!”
“Yaaaaaa!” Untuk kesekian kalinya teriakan para pasukan terdengar memekakkan.
Strategi telah direncanakan. Semua prajurit telah dilatih. Kini saatnya berdiri dengan gagah sebagai pria di tengah peperangan.
“Hari ini akan menjadi hari terindah untuk kita,” ucap Anderson sembari menatap Percobaan 036 di samping kanan.
Iblis keji itu hanya tersenyum kecut dan menyilangkan tangannya.
***