Bab 3

1960 Kata
Satu tahun yang lalu.. Mesya tidak bisa berhenti menatap ke arah rumahnya ketika mobil sudah berhenti di pekarangan rumah ini. Dulu, Mesya dan teman-temannya akan berlarian mengelilingi halaman rumahnya yang luas karena kedua orang tuanya bekerja sebagai petani. Setiap musim kemarau, akan ada padi yang dijemur di halaman ini. Membuat Mesya tidak bisa keluar drai kamarnya karena dia alergi debu. Ketika padi itu sudah dijadikan satu dan dikembalikan ke tempatnya, Mesya baru akan keluar dan bermain bersama dengan teman-temannya. Sekedar main kejar-kejaran atau main sepeda di sore hari. Saat itu, belum ada duka di dalam dirinya. Mesya hanya bisa tertawa bahagia tanpa pernah memikirkan masalah apapun. Sekarang sebenarnya kehidupannya juga baik-baik saja. Tidak pernah ada masalah serius yang membuatnya merasa terlalu sedih dan tertekan. Dalam rumah tangga, pertengkaran dan perselisihan adalah hal yang wajar. Mesya dan Adrel selalu bisa menangani itu semua. “Ayo turun.. itu sudah ditungguin sama keluarga..” Adrel menyentuh lengannya. Membuat Mesya tersadar dari pikirannya yang bergerak mundur. Benar, di depan sana, di pintu rumah orang tuanya sudah ada keluarganya yang menyambut. Salah satunya Bude Karti, dia saudara yang paling dekat dengan Mesya selama ini. lihat saja apa yang mereka lakukan di sini, mereka bahkan sampai datang untuk membersihkan rumah dan memberi sambutan untuk Mesya padahal. Ada juga beberapa saudara yang lain, yang tampak tersenyum sambil menunggu Mesya turun dari mobil. Sejak dua tahun lalu, ini adalah kali pertama Mesya datang lagi ke desa ini. sebenarnya beberapa kali ada saudara yang meneleponnya dan memintanya berkunjung sesekali, tapi mengingat jika dia kembali ke desa dia akan mengingat mendiang orang tuanya dan jadi sedih lagi, Mesya memutuskan untuk tidak datang lebih dulu. Semua keluarganya juga mengetahui hal itu. Mereka selalu memaklumi keadaan Mesya yang belum sepenuhnya pulih setelah kematian kedua orang tuanya yang sangat mendadak. Ibunya memang sudah lama terkena penyakit diabetes. Beberapa bulan sebelum kematian, Mesya memutuskan untuk pulang ke desa. Dia merawat ibunya yang semakin hari jadi semakin parah. Hingga akhirnya Tuhan memanggil ibunya. Saat itu, tidak ada hal yang terlintas di pikiran Mesya. Dia bahkan tidak bisa mengeluarkan air matanya. Mesya hanya diam, menatap ibunya yang terbujur kaku. Mendapati jika ibunya meninggal, Ayahnya tidak bisa menahan kepedihan hatinya. Pada akhirnya, Ayahnya ikut menyusul ibunya hanya berselang dua jam kemudian. Mesya tahu jika Ayahnya tidak akan pernah bisa hidup tanpa Ibu. Iya, pada akhirnya mereka akan tetap bersama dimanapun mereka berada. Baik di bumi dan di surga. Saat itu Mesya mulai mengerti makna cinta yang sesungguhnya. Mesya selalu berharap jika dia akan akan dipanggil Tuhan satu jam sebelum Adrel. Mesya tidak akan sanggup menahan kepedihan hatinya karena kehilangan Adrel. Tidak.. pemikirannya memang terlalu jauh, tapi begitulah adanya. Mesya tidak bisa sendirian menahan kehilangan. “Aku tahu kamu masih sering sedih kalau mengingat rumah ini. tapi sekarang kita sudah di sini, coba kamu lihat ke keluargamu yang di sana, mereka tunggu kamu..” Mesya merasakan belaian lembut di kepalanya. Lagi-lagi Adrel mencoba untuk membuat Mesya merasa jauh lebih baik. Mesya tersenyum. Cepat atau lambat, dia pasti akan kembali. Ini rumahnya.. rumah orang tuanya juga. Untuk apa Mesya menghindari rumah ini? “Ayo turun..” Kata Mesya sambil tersenyum. Melangkahkan kakinya dengan pelan menelusuri halaman rumahnya yang luas membuat hati Mesya  terasa menghangat. Ada sesuatu yang membuncah di dalam dadanya. Ya Tuhan, kenapa dia tidak sering-sering ke sini dan menikmati keindahan tempat ini? Ada banyak hal menyenangkan yang bisa Mesya lakukan di sini. Juga ada banyak keluarga yang kebetulan juga tinggal sangat dekat dari rumah ini. kebiasaan orang desa.. satu keluarga akan tinggal saling berdekatan. Mesya tidak pernah lagi merasakan hal itu karena semenjak menikah dengan Adrel, Mesya memang mengikuti suaminya pindah ke kota. Adrel memiliki pekerjaan yang jauh lebih memadai jika dia berada di kota. Dulu suaminya itu menghabiskan waktu di desa ketika dia masih SMA untuk ikut nenek dari pihak ibunya yang kebetulan juga tinggal di desa yang sama dengan Adrel. Semenjak neneknya meninggal, Adrel memutuskan untuk kuliah di luar kota. Hidup bersama dengan kedua orang tuanya. Pria itu hanya datang sesekali ke desa untuk melihat bagaimana keadaan rumah neneknya. Ya.. begitulah awal mula pertemuan Adrel dan Mesya. Entah keberuntungan apa yang membuat Mesya bisa bertemu dengan pria seperti Adrel. Pria itu memiliki keluarga yang untungnya sangat menerima keadaan Mesya. Gadis desa yang dibawa ke kota, kira-kira begitulah keadaan Mesya ketika baru menikah dengan Adrel. “Bude nggak nyangka kalau kamu mau pulang lagi, Nduk” Bude Karti langsung mendekap Mesya ketika dia sudah berdiri di ambang pintu. Mesya merasakan jika bahu wanita itu bergetar karena tangisan. Mesya balas memeluk wanita yang sudah dia anggap sebagai ibunya sendiri, memeluknya dengan erat karena jujur saja, Mesya sangat merindukan pelukan hangat ini. “Maaf Bude, Mesya memang nggak tahu diri..” Mesya berbicara dengan suaranya yang sumbang. Entah kenapa dia jadi tidak bisa menahan rasa sesak di dadanya. Semua yang ada di sini membuat Mesya mengingat masa lalu. Mengingat kedua orang tuanya yang biasanya akan duduk di teras depan sambil menikmati kopi di sore hari seperti ini.. Mesya merindukan semua itu.. “Enggak.. Ndak pa-pa.. kamu nggak salah..” Bude Karti melepas pelukannya. Menatap Mesya sambil mengusap air mata. Lalu mengecup kening Mesya sekilas. Lalu setelahnya.. semuanya berjalan dengan sangat baik. Semuanya.. Mesya sampai tidak sadar jika dia sudah menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan duduk dan mendengarkan cerita Bude Karti mengenai desa ini selama dua tahun terakhir. Mesya sadar, banyak yang berubah. Beberapa tanah yang dulunya adalah area persawahan, sekarang banyak yang sudah diubah menjadi perumahan. Desa tempatnya dibesarkan sudah mulai berkembang. Ada banyak yang hilang.. tapi juga banyak yang baru. “Kamu dan suamimu tampak sangat bahagia. Bude ikut senang..” Mesya tersenyum. Menatap Adrel yang sedang duduk di teras depan bersama beberapa keluarganya yang laki-laki. Mereka berkumpul sambil menikmati secangkir kopi dan juga beberapa singkong goreng khas orang desa. Tampak sangat menyenangkan. Adrel juga terlihat menikmati momen itu karena sekalipun Adrel lebih banyak tinggal di kota besar, pria itu pernah menghabiskan waktu selama lebih dari 3 tahun di desa ini. Ditambah saat pria itu mulai mendekati Mesya, Adrel bahkan sampai dua minggu sekali harus bolak-balik ke desa dengan alasan yang sangat tidak jelas. Ya, pada akhirnya usaha Adrel membuahkan hasil.. Mesya luluh pada pria itu. Pada pria tulus yang selalu mencintainya. “Tapi kebahagiaan kami belum lengkap, Bude..” Mesya menundukkan kepalanya. Merasa sedih dengan keadaannya saat ini. Sudah empat tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama dengan Adrel, Mesya belum juga memberikan pria itu keturunan. Meskipun Adrel tidak pernah mengungkit hal itu, bahkan cenderung selalu menghibur Mesya ketika dia mulai merasa sedih, Mesya tahu, jauh di lubuk hti Adrel, dia pasti juga ingin segera memiliki anak. Mata Mesya bergerak melihat Gayatri. Dia putrinya Bude Karti yang bungsu. Usianya jauh di bawah Mesya, mungkin baru awal 20 tahun. tapi dia sudah memiliki dua anak dari hasil pernikahannya 3 tahun lalu. Untuk sesaat rasa iri kembali mendatanginya.. “Nggak pa-pa. Itu bukan masalah besar. Kamu tahu berapa tahun orang tuamu menunggu kelahiranmu? 20 tahun, Sya. Mereka tetap berdoa dan berharap hingga akhirnya kamu lahir..” Mesya memang tahu cerita itu. mengenai orang tuanya yang tidak kunjung memiliki anak padahal sudah 15 tahun menikah. Pada akhrinya mereka memilih untuk menganggat seorang anak. Menurut kepercayaan beberapa orang, mengangkat seorang anak adalah sebuah pancingan agar segera mendapat momongan. Entah itu benar atau salah.. tapi memang itulah yang terjadi. Lima tahun kemudian, tepat ketika usia pernikahan orang tua mencapai 20 tahun, Mesya lahir ke dunia. Keajaiban itu memang terjadi pada orang tuanya. Tapi Mesya tentu tidak akan sanggup menunggu hingga 20 tahun.. “Tapi aku sedih, Bude..” Mesya kembali menundukkan kepalanya. Sesekali dia menghela napas untuk menghilangkan rasa sesak di hatinya. Ada banyak hal yang ingin dia miliki, tapi entah kenapa Tuhan belum berkehendak. “Apa Adrel pernah menekan kamu?” Bude Karti tampak khawatir. Mesya tersenyum ketika melihat kepedulian wanita itu padanya. Tersenya amsih sama, Bude Karti selalu menyayanginya seperti dulu. “Enggak. Adrel justru selalu menghibur aku. Dia yang bikin aku kuat sampai saat ini..” Bude Karti menghela napas. Dia sepertinya lega mendengar kabar yang Mesya berikan. “Kamu dengar kabar tentang Dira?” Napas Mesya tercekat untuk beberapa saat. Dua tahun tidak berhubungan dengan Dira, apa yang sekarang terjadi? Bagaimana keadaan Dira sekarang? Mereka adalah dua saudara yang kehilangan komunikasi satu sama lain. Mesya tidak menyangka jika masalah hari itu akan berdampak besar sampai seperti ini. Karena baik Dira maupun Mesya tidak ada yang bisa mengendalikan ego masing-masing. Mesya tidak tahu apa yang dirasakan oleh Dira. Tapi jika dari sisi Mesya, wanita itu memang malas menghubungi Dira setelah pertengkaran hari itu. Masalah yang timbul akibat perbuatan Dira. Wanita itu membuat kekacauan hanya selang beberapa saat setelah kedua orang tuanya dikebumikan. “Ada apa dengan Mbak Dira, Bude?” Seburuk apapun kelakuan kakaknya saat itu, Mesya tentu tetap menyimpan sedikit kepeduliannya untuk Dira. Bagaimanapun juga, Mesya juga tetap ingin tahu apa saja yang terjadi pada kakaknya itu. “Bayinya meninggal tiga hari setelah dilahirkan..” Mesya membekap mulutnya sendiri ketika mendengar penuturan Bude Karti. Ya ampun, Mesya bahkan tidak tahu jika Dira sedang mengandung. Tapi sekarang dia malah mendapat kabar buruk itu. Dira pasti sangat sedih ketika harus kehilangan bayinya. Mesya memang belum pernah memiliki anak. Tapi dia tahu benar bagaimana sedihnya kehilangan. Mesya ingat jika dia sudah menikah selama empat tahun, itu artinya Dira sudah menikah lebih dari delapan tahun. Mesya memutuskan menikah beberapa tahun setelah Dira menikah. Apa sama seperti dirinya, kakaknya juga belum memiliki momongan? Ada banyak hal yang terlintas di pikiran Mesya, tapi tidak ada satupun kata yang keluar dari bibirnya. Mesya seperti menyimpan pertanyaannya sendiri. Mencoba menyembunyikan kepeduliannya pada seseorang yang sejak dulu menjadi saudaranya. “Bude tahu dari mana?” Bermenit-menit hanyut dalam keheningan, akhirnya Mesya bertanya. Mencoba untuk memastikan kebenaran berita itu. Mesya tahu benar jika Bude Karti tidak akan bergurau dengannya. Apalagi ini masalah yang sangat serius. Wanita itu jelas mengatakan kebenaran. Tapi Mesya juga ingin tahu siapa yang membawa berita duka ini. Mesya memang belum pernah hamil dan memilik anak. Tapi kesedihan yang dia rasakan saat ini jelas tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan kehilangan yang dirasakan oleh Dira. Andai saja keadaan mereka tidak seburuk ini, Mesya pasti tidak akan berpikir panjang untuk menghubungi kakaknya. Sayang sekali, ada jurang besar yang tidak pernah ingin Mesya lewati. Jika memang sudah rusak, mau apa lagi? “Beberapa hari lalu Bude ketemu sama ibunya. Dia yang menceritakan keadaan Dira saat ini..” Mesya juga sudah lama tidak bertemu dengan orang tua kandung kakaknya. Terakhir mereka bertemu di pemakaman orang tuanya, tentu saja mereka tidak bisa dikatakan benar-benar bertemu karena sejujurnya Mesya tidak terlalu ingat dengan apa yang terjadi karena sepanjang pemakaman satu-satunya hal yang Mesya lakukan adalah tetap berusaha sadar. Berkali-kali Mesya jatuh pingsan, dia tidak ingin melewatkan satu momen terakhir orang tuanya begitu saja. “Kamu masih.. marahan sama dia, Sya?” Bude Karti kembali berbicara. Dia menanyakan hal yang sebenarnya juga masih sering dipertanyakan oleh Mesya sendiri. Apa dia benar masih marah pada kakaknya? Mau sampai kapan mereka hidup seperti ini? Mesya tahu jika kakaknya salah, sangat salah.. tapi apa tindakannya dengan mendiamkan kakaknya begitu saja adalah hal yang benar? Adrel sudah sering mengingatkan Mesya mengenai hal ini. tapi setiap pembicaraan yang menyangkut Dira hanya akan membuat mereka berdua jadi bertengkar. Mesya adalah wanita yang mudah menangis. Sekecil apapun masalah yang terjadi, hal yang pertama Mesya lakukan adalah menangis. Dengan menangis kita memang tidak menyelesaikan satupun masalah, tapi setidaknya ada rasa lega di hati setelah mengekspresikan perasaan kita. Adrel tidak akan tahan jika sudah melihat Mesya menangis. Maka dari itu beberapa bulan belakangan Adrel mulai jarang membahas tentang Dira. Mesya tahu, di sini bukan hanya kakaknya yang salah. Tindakan Mesya mendiamkan kakaknya., berhenti menghubungi kakaknya juga adalah hal yang salah. Sebagai seorang adik, seharusnya Mesya yang lebih dulu menghubungi Dira. Sayang sekali, Mesya tidak punya niat untuk melakukan itu dalam waktu dekat. Mungkin suatu saat nanti.. tapi tidak sekarang. “Aku juga nggak tahu, Bude. Aku kadang masih sebal setiap mengingat perlakuannya hari itu. Tapi kadang aku juga sering memikirkannya, aku juga sedikit rindu..” Bude Karti tersenyum sambil membelai rambut Mesya. Wanita itu sepertinya cukup mengerti dengan keadaan Mesya saat ini. “Jangan marah terlalu lama, nak. Kita nggak akan tahu apa yang terjadi ke depannya. Bude nggak mau kamu menyesal..”   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN