“Aku nggak tahu apa aku beneran siap kalau ketemu sama Mbak Dira nanti..”
Adrel yang sedang mengendarai mobil di sampingnya jadi menolehkan kepalanya. Menatap Mesya sambil mengernyitkan dahi.
Sejujurnya, sudah banyak persiapan yang Mesya buat, mulai dari menyiapkan kamar dan juga beberapa keperluan lainnya. Tapi entah kenapa, ketika kedatangan kakaknya semakin dekat, Mesya jadi bertambah ragu.
Apa yang harus dia katakan pada kakaknya?
Terlalu lama tidak saling berbicara, mengingat jika pertemuan terakhir mereka berjalan dengan sangat tidak lancar, Mesya jadi bingung. Dia harus berbicara mengenai apa?
Mesya tidak mungkin langsung mengungkit masalah rumah tangga Dira mengingat jika tujuan utama Dira datang ke rumahnya adalah untuk menenangkan diri. Dira ingin sedikit terlepas dari hal itu.
“Kenapa bilang begitu?” Adrel bertanya sambil meletakkan tangannya di atas kepala Mesya. Mengusapnya dengan pelan sekalipun pandangan suaminya masih fokus menatap ke jalan.
Mesya menghela napas pelan. Sekian tahun tidak bertegur sapa dengan saudaranya sendiri membuat Mesya merasa sedikit cemas. Dia takut jika rasa kecewanya di masa lalu masih mengiringi hingga saat ini.
Lagi pula, apa yang akan Mesya tunjukkan pada Dira nanti? Mereka akan banyak menghabiskan waktu bersama karena setiap hari Mesya selalu di rumah. Jika ada Adrel, mungkin pria itu bisa sedikit membantu mencairkan suasana, tapi bagaimana jika tidak ada pria itu? Apa yang harus dilakukan oleh Mesya?
Ya ampun, padahal Dira adalah kakaknya. Kenapa Mesya malah mengandalkan Adrel untuk hal ini? Satu hal yang sedikit Mesya lupakan, dia memang selalu mengandalkan Adrel dalam segala hal. Tidak pernah Adrel lepas tangan begitu saja darinya. Dan sekarangpun begitu, sekali lagi Mesya berharap jika Adrel bisa membantunya.
Kurang dari dua hari lagi kakaknya akan datang. Mesya sudah menyiapkan banyak hal. Hanya tinggal satu.. bagaimana caranya dia menghadapi kakaknya itu?
“Karena aku memang kebingungan..” Mesya menekuk wajahnya. Ini adalah permasalahan yang sejak kemarin malam mengganggunya. Mesya tidak langsung memberi tahu Adrel mengenai keresahannya karena dia pikir, dia bisa mengatasi hal ini sendiri. Ternyata Mesya salah. Dia tetap membutuhkan bantuan Adrel.
“Dia masih sama, Sya. Dia masih kakak kamu. Berbicara saja seperti dulu ketika kalian masih tinggal di rumah yang sama..”
Mesya menghela napas. Tidak, sekarang semuanya tidak lagi sama. Ada banyak hal yang berbeda. Salah satunya adalah pandangan Mesya terhadap kakaknya. Sekalipun Mesya sudah mencoba melupakan masalah mereka tiga tahun lalu, semuanya juga akan tetap berbeda. Tidak akan ada yang salam setelah seseorang menancapkan duri tajam yang melukai hati. Akan selalu ada bekas yang menjadi penanda mengenai luka itu.
Bagaimanapun cara Mesya melupakan, Mesya sudah tahu sifat asli dari kakaknya. Sifat buruk yang sebenarnya sudah sering Dira tampakkan meski baru dalam taraf yang rendah. Puncaknya adalah tiga tahun lalu, saat pemakaman orang tuanya.
Jika mengingat mengenai hari itu, rasanya Mesya masih merasakan sesak di dadanya. Hari itu, bagi Mesya dia bukan hanya kehilangan kedua orang tuanya, tapi juga kehilangan kakaknya sendiri.
Tapi kali ini, saudara yang sudah di kira hilang akhirnya kembali. Lantas apa yang harus dilakukan oleh Mesya?
“Nggak ada yang sama di dunia ini, Adrel..”
Adrel menghela napas. Mesya tahu jika sudah seperti ini Adrel akan memilih untuk diam. Sekalipun suaminya selalu mencoba memberi saran yang baik, Adrel juga tahu di mana posisinya. Sebagai seorang suami, dia memang wajib untuk membenarkan perilaku Mesya yang salah dengan catatan tanpa menyakiti wanita itu.
Tapi jika sudah seperti ini, jika dilanjutkan maka mereka akan berakhir dengan bertengkar. Adrel tidak menyukai pertengkaran karena sejak dulu, pria itu lebih suka ketenangan.
“Ya sudah, kalau kamu memang belum siap, dipikirkan lagi. kasihan Mbak Dira kalau dia sudah terlanjur ke sini tapi kamu malah bersikap cuek”
Iya, itu juga yang membuat Mesya banyak berpikir. Dia takut jika nanti ada perkataan atau perilakunya yang tanpa sadar akan menyakiti kakaknya. Pernah ada masalah di dalam hubungan mereka, tidak menutup kemungkinan jika nanti sedang terbawa suasana Mesya bisa mengatakan hal yang tidak baik. Atau bahkan sampai menyakiti kakaknya.
Ini adalah pilihan yang sulit.
“Lalu aku harus bagaimana?” Dibanding membiarkan Adrel diam dan menyuruhnya berpikir sendiri, Mesya lebih memilih untuk kembali bertanya pada suaminya.
Sebagai seorang suami, Adrel memiliki hak untuk memberi saran. Juga untuk membantu Mesya menyelesaikan masalah. Karena sejak hari mereka mengikat janji suci, sejak saat itu juga mereka bukan lagi dua orang. Mereka dua tubuh dengan satu hati yang sama. Karena itu, permasalahan Mesya juga adalah tanggung jawab Adrel, begitu pula sebaliknya.
Sejak hidup bersama Adrel, Mesya terbiasa menceritakan apa yang menjadi keresahannya pada suaminya. Kunci sebuah hubungan adalah komunikasi. Jika komunikasinya saja tidak baik, bagaimana hubungan pernikahan itu bisa berjalan dengan lancar?
Sudah menjadi kesepakatan mereka untuk saling berbagi tanpa perlu memaksakan. Juga untuk saling menasehati tanpa menekan. Jika Mesya salah, Adrel akan menasehatinya pelan-pelan. Memang tidak langsung berubah, tapi perlahan pasti akan terlihat hasilnya.
“Kamu sudah bilang sama dia kalau dia boleh ke sini. Ya sudah, biarkan saja. Nanti kalau dia sudah datang, aku tahu respon kamu akan berubah. Sebenarnya kamu itu juga rindu sama Mbak Dira, kamu Cuma merasa cemas aja”
Adrel benar. Jauh di lubuk hati Mesya, dia memang merindukan kakaknya. Tapi sesuatu yang mengganjal di hatinya memang meminta untuk segera diatasi.
Mesya takut..
Bukannya dia ingin berpikiran buruk atau semacamnya. Tapi memang itulah yang Mesya takutkan. Dia takut jika kali ini sama saja, Dira akan membuat masalah yang melukai hatinya. Karena sejak dulu juga begitu, sejak mereka kecil, setiap hari mereka selalu bertengkar. Sekalipun beberapa saat kemudian akan kembali berdamai. Tapi Mesya jelas mengingat apa saja kekacauan yang dilakukan oleh kakaknya sejak dulu.
Ini bukannya Mesya ingin membuka aib kakaknya, tapi memang begitulah sikap Dira sejak dulu.
“Bagaimana kalau dia bikin masalah lagi?” Mesya kembali menyuarakan kecemasannya.
Adrel meliriknya sekilas. Memandang Mesya dengan mata yang menyipit.
Memang tidak baik jika kita memikirkan hal yang buruk pada orang lain. Apalagi hal buruk itu juga belum tentu terjadi. Tapi perasaan Mesya tidak bisa disembunyikan. Seperti ada peringatan yang melarangnya melakukan ini semua.
“Bagaimana kalau tidak?”
Kini ganti Mesya yang menatap Adrel. Benar juga, bagaimana jika tiak? Bagaimana jika ini hanya prasangkanya saja? Hanya ketakutannya yang tidak berdasar karena masih mengingat kesalahan kakaknya di masa lalu.
Sebaiknya Mesya segera menghilangkan pikirannya ini karena jika dibiarkan, pemikiran buruk justru akan menyerang dirinya sendiri.
“Sudah, biarkan dia datang. Dia mungkin sudah melupakan masa lalu, kamu juga seharusnya melakukan hal yang sama. Semua orang pernah berbuat salah, kan?”
Semua orang pernah melakukan kesalahan. Itu memang benar. Mesya juga sadar jika dia bukan manusia sempurna yang tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi masalahnya, ini bukan hanya tentang kesalahan Dira. Ini juga tentang Mesya yang merasa tidak nyaman. Dia cemas tanpa tahu apa penyebab pastinya.
Seperti ada peringatan bahaya yang terasa sangat nyata. Sayang sekali, hal ini tentu saja tidak bisa dijelaskan oleh Mesya secara mudah. Adrel mungkin akan percaya dengan ketakutannya, tapi belum tentu pria itu mengerti.
Jika sudah seperti ini, siapa yang bisa Mesya mintai bantuan?
“Apa kamu berpikir jika aku salah karena selama ini nggak pernah hubungi Mbak Dira?” Mesya bertanya sesuatu yang selama ini dia pikirkan. Mengenai pemikiran orang lain tentang dirinya yang memutuskan hubungan dengan kakaknya begitu saja.
Dira memang salah. Tapi Mesya juga sama salahnya ketika memutuskan hubungan persaudaraan. Sebagai seorang adik yang jelas jauh lebih muda dibanding dengan Dira, tidak seharusnya Mesya bersikap seperti itu.
Tapi mau bagaimana lagi? Kekecewaannya selama ini membuat hatinya mengeras. Sekalipun kadang juga timbul rasa rindu yang membuat hatinya ingin menghubungi Dira. Sayang sekali, selama tiga tahun ini, Mesya selalu kalah dengan egonya. Selalu membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti sekarang.
Jadi, di saat Mesya memiliki kesempatan untuk kembali berhubungan dengan Dira, untuk apa Mesya merasa ragu?
Kakaknya yang lebih dulu menghubunginya. Keinginan Mesya berjalan jauh lebih mudah dari yang dia kira. Sekalipun kemarin saat pertama tahu Dira menghubunginya, Mesya masih merasa malas untuk menanggapi.
“Kalian berdua itu saudara. Selamanya akan seperti itu. Memutuskan hubungan dengan orang yang menjadi saudaramu sejak kecil, kamu pikir ibu dan bapak tidak sedih melihat kelakuan kalian berdua?”
Kalimat yang diucapkan dengan tenang oleh suaminya mampu membuat jantung Mesya berhenti sesaat. Satu hal yang selama ini tidak dia sadari karena keberadaannya sudah lama hilang dan tidak bisa dilihat oleh mata. Orang tuanya..
Mesya lupa betapa sedihnya orang tuanya ketika Mesya mulai bertengkar dengan Dira ketika mereka masih kecil. Ibu dan bapak selalu bersedih padahal pertengkaran mereka tidak akan lebih dari satu jam. Lalu, betapa sedihnya kedua orang tuanya ketika mengetahui Mesya dan Dira sama sekali tidak pernah berhubungan selama tiga tahun ini?
Atau, betapa sedihnya mereka ketika tahu Mesya merasa ragu untuk kembali berhubungan dengan kakaknya sendiri?
Ya Tuhan, sudah berapa lama Mesya menyiksa kedua orang tuanya karena semua ini?
Dia tidak sadar karena terlalu sibuk dengan kebenciannya sendiri. Terlalu memikirkan perasaannya tanpa tahu jika di tempat yang jauh, orang tuanya pasti juga merasa sangat sedih.
Satu hal yang sering dikatakan orang tuanya tapi sudah lama dilupakan oleh Mesya, mengenai persaudaraan antara dirinya dan Dira yang sekalipun tidak diikat dengan darah yang sama, mereka dibesarkan oleh tangan yang sama.
Dulu Mesya akan selalu dinasehati ketika mulai bertengkar dengan Dira, sayangnya selama tida tahun ini Mesya sama sekali tidak mengingat hal itu. Tidak mengingat perkataan orang tuanya sama sekali. Dia mengeraskan hatinya, terus menganggap jika ini semua sepenuhnya kesalahan Dira. Sekalipun awalnya memang iya, ini semua berawal dari sikap Dira yang sangat tidak menyenangkan di hari duka saat itu, tapi kelanjutan mengenai pertengkaran mereka, Mesya juga ikut serta. Diamnya dirinya membuat ini semua semakin sulit.
Jika sudah seperti ini, saat Dira mungkin saja ingin kembali. Ingin sedikit memperbaiki hubungan mereka, kenapa Mesya merasa ragu?
“Kamu jangan terlalu memikirkan semua ini. Nanti kamu malah jadi merasa terbeban. Jalani saja semua ini, Mbak Dira mau datang, ya sudah biarkan saja..”
Benar apa yang dikatakan oleh suaminya. Tidak seharusnya Mesya merasa terlalu tertekan dengan semua ini. lagi pula, ketika sudah melihat Dira datang nnati, Mesya juga pasti akan sangat berubah. Mungkin saja ini memang saat yang sangat tepat untuk memperbaiki semuanya. Hubungan persaudaraan mereka sudah sangat rusak karena selama tiga tahun, sama sekali tidak ada pembicaraan di antara mereka. Baiklah, ini adalah awal yang baru, jangan merusak suasana.
“Aku hanya takut kalau nanti aku membuat dia tidak nyaman atau semacamnya..”
Adrel menatap Mesya sambil tersenyum. Mencoba menenangkan Mesya dengan senyumannya..
Memiliki suami yang bisa mengerti seperti apapun masalah yang dihadapi oleh Mesya, membuat Mesya selalu merasa aman dan nyaman, itu adalah anugrah yang tidak dimilik oleh semua orang. Keberuntungan yang didapatkan oleh Mesya.
Mungkin, jika dulu dia tidak bertemu dengan Adrel, Mesya tidak akan bisa menjadi wanita seperti saat ini. Adrel mendukung dirinya, membuat Mesya merasa selalu dicintai dan dihargai sebagai seorang wanita dan seorang istri. Sekalipun sampai saat ini Mesya belum juga memberikan Adrel keturunan, pria itu tidak pernah mengeluh sama sekali. Dia selalu bersabar, memberikan Mesya semangat seperti biasanya. Membuat Mesya kembali berani untuk menghadapi beberapa mulut orang yang iseng, yang sering kali mengganggu pikiran Mesya dengan pertanyaan mereka yang terasa kurang nyaman ketika di dengar.
Manusia sering kali berbicara tanpa berpikir. Lalu, untuk apa kita terus memikirkan omongan mereka?
“Enggak, Sya. Mbak Dira pasti sangat nyaman berada di rumah. Apalagi kalau dia sudah coba masakan kamu, bisa dijamin dia akan betah tinggal di rumah kita..”
Kali ini Mesya benar-benar dibuat tersenyum karena kalimat yang diucapkan oleh Adrel. Pria itu selalu bisa mengubah suasana hatinya. Membuat Mesya selalu merasa lebih baik hanya dengan mendengar lelucon konyol yang kadang kala terdengar sangat tidak nyambung. Entah kenapa Adrel selalu bisa membuat semuanya tampak lebih mudah untuk dijalani.
Bersama Adrel, Mesya selalu merasa berani.
“Dia pasti sangat sedih karena perceraiannya..”
Mesya mendengar Adrel menghela napas. Sepertinya pria itu tahu kemana arah pembicaraan Mesya. Karena sama seperti biasanya ketika ada orang di sekitar mereka yang bercerai, Mesya akan selalu mengatakan ketakutan yang sama.
“Itu pasti. Makanya, sebagai seorang adik, kamu harus menghibur dia. Kamu harus menemani dia di saat seperti ini..”
Mesya tersenyum. Ada banyak ketakutan yang bersarang di hati Mesya, ketakutan yang sama seperti biasanya.
Dan alasannya juga masih sama.
Sebenarnya, ini cobaan macam apa?
Mesya sering mendengar berita jika ada seorang anak muda yang menggugurkan kandungannya sendiri karena hamil di luar pernikahan. Kenapa.. kenapa malah mereka yang belum siap yang diberi titipan seperti itu? Kenapa bukan Mesya saja? Dia sudah siap. Sudah sangat siap. Tapi kenapa malah anak ingusan yang sama sekali belum bisa bertanggung jawab akan perbuataanya sendiri, kenapa malah mereka yang diberi?
Satu hal yang selalu Adrel katakan jika Mesya mulai menanyakan pertanyaannya mengenai tidak adilan itu. Katanya, Tuhan memberikan titipan itu pada anak muda untuk memberi mereka pelajaran. Tapi pada rumah tangga yang sudah siap sepeti Adrel dan Mesya, Tuhan memberikan cobaan. Apakah ketika ada cobaan seperti ini mereka masih setia pada Tuhan dan pasangan satu sama lain? Jika iya, mungkin suatu saat nanti mereka akan segera mendapatkan imbalannya. Jawaban dari doa-doa yang tidak pernah absen mereka sebutkan setiap malam sambil bercucuran air mata.
Sayangnya, setelah melalui 5 tahun dengan penuh kesabaran, mereka belum juga mendapat kepercayaan itu.
Satu hal yang sering membuat Mesya merasa takut. Bagaimana jika selamanya mereka seperti ini? Apa Adrel tetap akan sabar dan menghiburnya? Bagaimana jika pada akhirnya suaminya merasa jengah dan memutuskan untuk meninggalkannya? Mesya selalu merasa takut..
“Jangan pernah meninggalkan aku, ya? Aku nggak akan bisa ngapa-apa kalau tanpa kamu..” Mesya tiba-tiba berbicara seperti itu.
Satu kalimat yang memang sudah dihapal oleh Adrel, dan seperti biasanya pria itu kembali mengangguk. Dalam hati Adrel kembali mengucapkan janji yang sudah snagat sering dia katakan. Mengenai dirinya yang tidak akan pernah meninggalkan Mesya apapun yang terjadi.
Bahkan jika sampai akhirnya mereka hanya hidup berdua seperti ini, Adrel tidak akan pernah bisa meninggalkan Mesya.
Selain karena dia sangat mencintai istrinya, ada satu alasan lain.
Satu kesalahan yang Adrel buat. Sampai sekarang dampak dari kesalahan itu masih terasa. Kesalahan lama yang membuat istrinya selalu bersedih hingga saat. Mesya mungkin tidak tahu, tapi Adrel jelas masih ingat apa yang dia lakukan bertahun-tahun yang lalu.
Adrel harap itu akan tetap menjadi rahasianya selamanya. Satu rahasia yang tidak akan pernah dia bagi dengan Mesya.
Dan Adrel harap, satu orang yang juga terlibat dan mengetahui tentang kesalahan itu, dia.. dia tidak akan pernah memberi tahu Mesya. Dia akan terus menjaga rahasia itu sama seperti Adrel menjaganya.
Tidak.. Mesya tidak boleh mengetahui kesalahannya atau wanita itu akan meninggalkan Adrel dan membuat Adrel gila karena kehilangan istrinya..