...
"Bang Ejik," jawabku dengan tingkat kepedean level dewa.
"Hmm, Ejik bilang gitu? Bisa aja tuh anak memutar balikkan fakta," kata Kak Yo lirih.
"Lha terus, punya siapa dong?" tanyaku kepo.
"Itu seragam adiknya Ejik, bukan adikku," jawabnya.
"Heh, yang bener kak?" timpalku balik.
Kak Yo tidak menjawab, tapi memberi tatapan tajam. Setajam silet.
Heleh!
"Eh, iya iya." Yang jelas, dengan tatapan mata elangnya yang agak sipit itu, membuat aku ga berani ngebantah lagi. Ngeri!
"Adiknya Ejik itu sudah meninggal," jelas Kak Yo tanpa kuminta. "Dia sempat stress, hingga cuti kuliah sampai setahun, dan akhirnya ngulang kuliah bareng adek tingkatnya," lanjutnya.
Aku hanya diam menyimak.
"Baju itu, sampai dibawa ke asrama. Waktu ada razia dadakan, pengurus menemukan seragam itu, dan menyitanya. Baju itu diamankan di tepat khusus barang yang terlarang masuk kamar, dan boleh diambil saat mau pulang kampung. Namun, Ejik tidak juga mengambilnya, sampai kemarin. Dia minta baju itu diberikan padamu," tuturnya lagi.
Aku tidak menyangka Bang Ejik yang ceria dan ramah itu, punya sisi Misterius. Mungkin sikapnya yang enerjik dan suka bercanda itu sengaja untuk menutupi kesedihan akibat kematian adiknya.
"Mungkin, kamu mengingatkan dia pada mendiang adiknya," celetuk Kak Yo.
"Hah, Aku?"
Kak Yo tersenyum tipis. "Jangan bilang Ejik kalau aku cerita ini padamu," ujar Kak Yo dengan nada tegas.
"I-iya Kak," jawabku cepat. "Hmm, berarti itu sebabnya Bang Ejik perhatian banget sama aku. Dia sering chat cuma buat nanya kabar, udah makan atau belum, tapi sering juga chat nggak penting ngalor ngidul juga," sambungku.
Kak Yongki mendadak berhenti lagi. Sementara aku yang terus kebablasan jalan, jadi kudu mundur lagi deh! Heran sama Kak Yo, hobi bener berhenti mendadak dari tadi. Kapan sampainya kalau begini?
"Kamu sering wasapan sama Ejik? Kenapa sama aku kok nggak?" tanyanya, aneh.
Aku pun berdiri menghadapnya, agar enak menjelaskan duduk perkara ini.
"Eh, kak Yo tahu kan, kalau Bang Ejik itu naksir Mbak Rani? Nah, rata-rata kami membahas mbak asramaku itu," jelasku.
"Hmmm, I see. "
"Lagian ngapain chatting sama Kak Yo?Kalau nggak ada urusan," sambungku.
"Kalau aku bikin ada urusan sama kamu gimana?" Dia tersenyum tipis setelah mengatakan itu.
"Urusan apa?"
"Aku naksir sama kamu, misalnya?" lanjutnya dengan serius.
Aku terbengong-bengong.
"Kamu pikir, kenapa sampai kutonjok muka Nino tempo hari?" tanyanya, yang kali ini benar-benar membuatku penasaran.
Aku menggeleng pura-pura tidak tahu. Padahal kata Bang Ejik, perkelahian itu gara-gara si Nino sudah bersikap tidak sopan sama Kak Yo.
Kak Yongki nyengir. "Dia kutonjok karena dua hal. Yang pertama, aku kesal melihatmu beradegan drama di atas panggung sama dia. Yang kedua, dia melecehkanmu di atas panggung. Jadi amarahku sudah tidak terbendung lagi," tuturnya
Aku makin tertegun, menatap matanya lekat-lekat. Dia pun balas menatapku, lurus-lurus, seolah menegaskan bahwa sedang tidak bercanda.
Hmmm. Sejujur inikah seorang laki-laki mengakui perasaanya? Sungguh, ini terlalu blak-blakan. Aku belum pernah menemui cowok seterus terang kak Yongki sebelumnya. Paling-paling kirim surat, chat wasap, atau malah nyuruh temennya buat bilang ke aku.
Salut sama Kak Yo.
"Mmmm ... aku ... kita harus balik," kataku kemudian, sembari berbalik. Namun saat akan melangkah, ranselku seperti tersangkut sesuatu.
"Jangan Kabur, Ra. Aku nggak akan gigit kamu kok," katanya. Rupanya lagi-lagi Kak Yo menahan ranselku.
"Em, anu, aku capek kak, pengen cepet-cepet rebahan," ujarku beralasan.
"Tapi kamu belum jawab, gimana kalau aku naksir kamu?" Dia mengulangi pertanyaan yang sama. "Kita bisa chattingan kan, membahas masalah itu?"
"Em ... baiklah Kak, terima kasih kak, sudah bilang padaku," jawabku singkat, bingung harus jawab gimana.
Mau gimana lagi, coba? Aku juga gak bisa mencegah dia suka padaku kan?
"Kamu belum.punya pacar kan?" tanyanya lagi.
"Em, eh ..." Aku menggeleng.
Berpacaran sama sekali tidak pernah masuk dalam agenda kegiatanku. Yang harus aku lakukan adalah belajar yang rajin, nyimak kuliah, ujian, lulus, dan harapannya cepet dapat kerja.
"Sudah kuduga." Sekarang Kak Yo melepaskan ranselku dan dia pun kembali menjajariku. "Pasti kamu masih mau konsen kuliah, cepat lulus, terus kerja ya?"
Aku mengangguk. Eh, dia bisa baca pikiranku kayanya.
"Bagus! Jangan gampang tergoda sama rayuan cowok macam barusan ya," katanya lagi, sembari mengacak-acak rambutku.
Hah, maksudnya apa? Dia cuma ngetes aku gitu?
"Dah, yuk jalan lagi," katanya sembari memasukkan tangan di saku celana. Kemudian Kak Yo kembali berjalan, seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku pun melangkahkan kaki mengikutinya. Di dalam kepalaku muncul sebuah tanda tanya besar. Kak Yo ini beneran suka sama aku nggak sih? Kok bisa dia balik flat face dengan cepat? Bahkan tidak saling bicara lagi setelahnya.
Di perempatan sebelum fakultas MIPA, kami belok kiri menuju asrama putri. Soalnya kalau jalan lurus menuju gerbang luar Universitas, dan kalau belok kanan masuk kompleks kampus MIPA. Setelah belokan itu, terdapat sebuah mini market yang bagian terasnya kerap kali menjadi tongkrongan penghuni asrama.
Sebelum sampai depan mini market itu, tiba-tiba Kak Yo mempercepat langkah, dan kami pun terpisah, tidak berjalan bersisian lagi.
Aku paham maksudnya, di asrama gosip akan cepat sekali menyebar. Kak Yo pasti sengaja jaga jarak denganku di hadapan penghuni asrama lainnya. Mengingat jabatannya sebagai Presiden utama, yang tentu saja tiap gerak geriknya menjadi sorotan.
"Hai cewek!" panggil seseorang dari teras mini market.
Aku tidak menggubris panggilan yang jelas-jelas ditujukan padaku itu.
"Noraaa, noraaaa!" panggilnya lagi. Suara yang kuingat betul untuk mengabaikannya, karena pemiliknya sangat menyebalkan. Untuk itu aku sengaja jalan terus, dan tidak menoleh.
"Nino! Jaga mulutmu!"
Aku terkejut saat Kak Yo yang berjalan dua langkah di depanku tiba-tiba berhenti dan menegur Nino. Akhirnya, aku terpaksa berhenti jug.
"Wow, wow, penguasa asrama yang terhormat. Kenapa Anda selalu ikut campur urusan saya dengan Nora? Apakah, Anda juga tertarik sama dia? Tidak heran, dia memang cewek yang menggiurkan," ujar Nino memprovokasi.
"Diam!" ancam Kak Yo dengan nada rendah dan dalam. Dia merangsek maju selangkah menuju Nino.
Aku segera berdiri menghadang Kak Yo, tepat di hadapannya dan meraih lengannya.
"Sudah Kak Yo, sudah," kataku, sembari mendorongnya ke belakang.
Kak Yo tampak terkejut, saat aku melakukan itu. Dia pun menghentikan langkah dan pandangannya beralih memperhatikan aku.
"Sudah kak. nanti kita kena masalah lagi sama pengasuh," bujukku. "Jangan bikin keributan lagi sama dia, Kak. Orang yang tidak penting akan selalu mencari perhatian," lanjutku, sengaja menoleh ke arah Nino.
Setelah kembali mendongak memandang Kak Yo, otot wajahnya tampak perlahan mengendur. Aku tersenyum, lantas tersadar jika masih memegangi lengannya. Segera Kulepas cengkeraman tanganku, dan mundur selangkah.
Kak Yo, menatapku sejenak, sebelum akhirnya membalikkan badan dan pergi.
Sepeninggal kak Yo, aku menoleh pada Nino, seraya berkata,"Dengar ya Nino. Meskipun kamu sengaja bikin rusuh, tapi kuanggap kamu nggak ada. Macam kentut, yang bersuara dan berbau busuk, tapi tidak terlihat wujudnya!"
Puas mengatakan itu, aku pun segera pergi menyusul Kak Yo. Eh bukan, segera pulang ke asrama putri
*
"Apa kamu bilang?" teriak Nita.
"Hush, jangan keras-keras, Napa," bisikku sembari menyikutnya.
"Eh, maaf-maaf," ujar Nita, sambil nyengir ke semua penghuni asrama putri yang sedang menonton TV di ruang makan. Mereka semua menoleh pada kami, gara-gara teriakan spontan Nita tadi.
"Serius, Kak Yo bilang naksir kamu?" tanya Nita memastikan dengan suara lirih.
Aku mengangguk.
"Dia juga bilang kalau kemarin nonjok Nino itu juga gara-gara cemburu waktu kami bermain drama di panggung," lanjutku dengan suara pelan.
Nita menutup mulutnya dengan tangan, yang tadinya hendak menyendok nasi. Kami sedang makan malam berjamaah.
"Jangan lebay, ah." Aku menyikutnya lagi.
"Gimana aku nggak lebay, Ra. Itu kak Yongkie loh yang nembak kamu, bukan orang sembarangan. Apa coba yang dilihat dari kamu? Kan masih banyak cewek Asrama yang lebih cantik, si Eni misalnya," kata Nita.
Aku mengangkat bahu, tidak peduli. Lagi pula cewek bernama lengkap Anggraeni Puspita Sari Dewi Permata Siwi yang disebutkan Nita itu, gak cantik-cantik amat menurutku. Dia cuma jago make up dan selalu pakai baju branded yang lagi happening gitu. Cocok banget emang jadi model cover majalah, tapi kan selera orang kan beda-beda.
Ya nggak?
"Terus, terus, Kak Yo ngajak kamu jalan gak?" bisik Nita, yang mulai sadar situasi. Dia tidak lagi bicara sekeras tadi.
Aku menggeleng, karena sedang mengunyah.
"Etapi, Ra. Dia itu kan pentolan asrama, mana boleh nge-date!" celetuk Nita, yang membuat kunyahanku terhenti.
Iya juga ya, dia bakalan kena sanksi dan bahkan bisa dipecat kalau terbukti melanggar AD-ART.
Segera kukunyah lebih cepat nasi Padang suapan terakhir di mulutku, sebelum berkomentar.
"Nah makanya itu, Nit. Aneh kan? Antara Dia nekad, atau cuma iseng ngejahilin aku, bikin GR doang gitu?" timpalku manyun.
Nita mengelus-elus punggungku. "Hmmm. Sabar, jangan gegabah dulu. Main hard to get aja kalau memang kamu juga suka dia. Sambil menyelidiki motif aselinya. Kan bisa," kata Nita seolah-olah dia sudah pengalaman.
"Gitu ya?" Aku sangsi dengan sarannya.
"Lha kamu naksir nggak sama Kak Yo?" Nita balik bertanya.
"Eng... nggak tahu juga."
"Ya udah, langsung aja tolak kalau gitu," usulnya lagi.
"Nggak bisa juga, Nit. Dia itu agak serem, aku takut. Tahu kan dia anak teknik, pasti jago tawuran. Tadi aja hampir ngelabrak Nino lagi di minmar sebelah. Bisa bayangin kan, kalau tiba-tiba aku tolak? Hiii," tuturku, menjelaskan.
"Tapi masa dia juga main tonjok sama cewek, Ra?"
"Ya sapa tahu. Orang kasus KDRT aja ada kok, padahal udah suami istri. Apalagi kita ga ada hubungan apa-apa. Bisa makin beringas kan dia?" ujarku berargumen.
"Krosak, krosak!" Suara noise dari amplifier yang baru dinyalakan dan masuk ke loudspeaker asrama, membuat perhatian kami teralihkan. Tidak lama kemudian terdengar suara petugas piket mengumumkan sesuatu.
"Mohon perhatiannya, kepada seluruh penghuni asrama putri. Bagi yang ditunjuk menjadi panitia ulang tahun asrama. Dimohon untuk segera berkumpul di ruang tamu. Sekali lagi. Panggilan bagi penghuni asrama putri, yang ditunjuk menjadi panitia ulang tahun asrama, mohon segera berkumpul di ruang tamu. Sudah ditunggu untuk rapat!"
"Kamu dapat undangan?" tanyaku pada Nita.
"Nggak tuh," jawabnya acuh tak acuh.
Aku mendengus. "Aku dapet."
"Ha ha! Selamat rapat, dan ketemu si dia pastinya," ledek Nita.
"Apaan sih!" gerutuku sembari menyikutnya lagi. Namun tidak kena, Nita sudah keburu ngacir ke dapur untuk cuci piring.
Segera kuremas kertas pembungkus nasi Padang ini, untuk meluapkan kekesalan. Untung saja aku sudah kenyang. Kalau nggak, pasti kugigit Nita sebagai gantinya. Hehehhe, canda!
Setelah menghabiskan Aqua gelas, kubuang semua bungkus itu ke sampah. Barulah kemudian aku menuju ruang tamu asrama putri, dengan berjalan melewati tengah taman..Namun, perhatianku tersita saat melihat si Eni juga ikut berjalan ke ruang tamu.
Dia jadi panitia juga?
"Hai, Ra. Kamu dapat undangan wasap juga?" tanyanya dengan tatapan sedikit merendahkan.
"Malas sebenarnya akutu, tapi sayangnya iya," jawabku dengan santai, dan menambahkan senyum terpaksa setelahnya.
Eni tidak memberi respon balik, dan malah mempercepat langkah untuk mendahuluiku.
"Silakan duluan, aku tidak terburu-buru kok!" kataku sembari minggir, memberikan jalan padanya, saat kami sampai di depan tirai pembatas pintu tengah.
Begitu sampai di ruang tamu, semua sudah berkumpul. Jadi, ini kesempatan bagus untuk duduk di deretan paling belakang, sambil ngumpet. Hehehe.
Jangankan pertemuan langsung seperti ini, saat anggota grup wasap kelas pada rame sahut-sahutan balas chatting saja, aku cuma baca. Bahkan, seringnya cuma buka grup buat lihat tugas terus habis itu clear chat. Apalagi grup baru wasap, yang berjudul Panita Harlah Asrama Mahasiswa Universitas Kartarajasa. Tidak pernah kubuka sejak aku diinvite sampai sekarang. Tahu-tahu dapat notifikasi tagging. Jadi ya terpaksa kubuka dan ternyata isinya undangan rapat panitia.
... bersambung...