Seminggu berlalu tanpa ada hal yang berarti. Di asrama, semua normal sesuai jadwal kegiatan, salat berjamaah, kajian setelah salat, piket bersihin kamar mandi, piket jaga tamu, dan juga piket-piket lainnya. Jujur, dengan seabrek kegiatan itu, cukup bikin hari-hari ku sibuk. Pasalnya, kuliah dan tugas-tugasnya juga menumpuk. Intinya kudu pintar atur waktu biar tidak keteteran semua.
Bahkan, rencana untuk mendaftar ke unit kegiatan mahasiswa seperti teater, jurnalistik, bela diri atau foto grafi, tidak sempat kulakukan. Senin sampai Jumat, kuliah full sampai jam terakhir. Ada jam kosong pun, mending kupakai nyari literatur buat bahan ngerjain tugas. Mana sekarang makin mendekati ujian semester dua pulak, penilaian pun sudah mulai sering dilakukan. Pokoknya, aku kudu mempertahankan nilaiku yang bagus di semester satu lalu.
Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Asisten dosen pun segera memberikan tugas untuk Minggu ini.
"... baiklah, sampai ketemu lagi. Jangan lupa tugasnya ya," ucapnya seraya meninggalkan ruangan.
Kukemas semua diktat yang berserakan di meja. Mata kuliah analisis data sebenarnya tidak terlalu sulit jika menggunakan program komputer khusus data kuantitatif, tapi mempelajari prinsip kerjanya, ternyata sama rumitnya dengan statistika. Ini kata si Nita, anak jurusan matematika, yang jadi teman sekamarku. Dia cukup banyak membantu untuk tugas-tugas yang berhubungan dengan angka dan program komputer. Iya, maklumlah aku agak gaptek. Gak punya leptop sebelum dapat beasiswa dari Universitas Kartarajasa.
Setelah semua terkemas rapi dalam ransel, aku pun keluar kelas. Jam terakhir seperti ini memang bikin mager. Anak-anak di kelas banyak yang janjian hang out nanti malam untuk rapat untuk besok. Mereka merencanakan naik gunung, dan menginap semalam untuk melihat sunset. Aku sih belum mengiyakan. Soalnya takut bentrok dengan jadwal kegiatan asrama.
Ya, lagi-lagi asrama, semacam penjara tak kasat mata. Yang ketika penghuninya ingin melakukan kegiatan di luar, harus izin ke pengurus serta mendapat persetujuan pengasuh, jika acaranya bentrok dengan kegiatan di sana.
"Ikut gak ya," gumamku sembari berjalan pulang. Seperti biasa, untuk menuju asrama aku harus melewati beberapa komplek fakultas. Ada fakultas sastra yang paling dekat, lalu fakultas teknik, dan terakhir MIPA. Bisa sih lewat jalan pintas, menerobos fakultas sastra lalu ke jalan tikus di hutan MIPA, tapi ga enak kalau berpapasan dengan gerombolan mahasiswanya. Seolah-olah kelihatan benar aku bukan salah satu dari mereka.
"Nora!" panggil seseorang.
Aku menoleh, lalu mempercepat langkah begitu tahu Bang Ejik yang memanggil.
"Hei! Tunggu, Napa?" Dia berhasil menjajariku.
"Apaan, jangan deket-deket. Ntar aku disuruh ngafalin surat-surat pendek lagi sama Mbak Rani," usirku.
"Hah? Tunggu-tunggu, apa hubungannya denganku?" Bang Ejik menghadang mukaku dengan rentangan satu lengannya. Maklum, tinggiku kan sebahunya, jadi hampir saja aku mencium sikunya.
"Ihhh! Jangan halangi orang lewat sembarangan dong!" gerutuku.
"Kamu kenapa sih, Ra? Gal ketemu seminggu kok jadi aneh gini?" Tangannya hendak menyentuh keningku, tapi segera kutepis.
"Ga boleh touching!" sergahku.
"Kita ke kantin sastra, Yuk! Ga enak ngobrol di jalan gini," ajaknya.
Aku hendak protes, tapi dia memegang erat cantolan tas ranselku. Lantas tanpa bisa menolak diseretnya aku ke sana, seperti menggelandang seekor kucing dengan mencubit lehernya.
"Duduk!" perintahnya begitu kami sampai di satu meja pujasera Fakultas Sastra.
Aku menurut, tapi sambil cemberut.
"Mau minum apa? Atau pesan mie?" tanyanya, sok peduli.
"Nggak usah, aku nggak haus dan nggak lapar," tolakku.
"Fine. Aku yang haus," katanya sambil.menuju lemari es berisi berbagai minuman dingin. Dia balik ke meja sambil membawa dua botol teh rasa buah.
"So, gimana kabar Rani?"
Tuh kan, pasti ada maunya. Gak mungkin dia beliin aku minum gratis. "Baik. Dia tetap menawan dan memesona di segala suasana. Terutama di bagian mentoring akhlak. Aku ditegur langsung, gara-gara peristiwa di malam inaugurasi waktu itu. Lalu, diberi wejangan sepanjang rel kereta dan dikasih denda menghafalkan surat Al Ghasiyah' yang katanya masuk dalam kategori juz Amma surat-surat pendek," curhatku panjang lebar tentang Mbak Rani.
"Jadi ... kamu sebal sama Rani?" tanyanya lagi tanpa dosa.
Aku melotot. "Sudah jelas kan, Bang? Masa masih nanya! Bu Siti aja nggak sesadis itu padaku," Aku mengadu.
"Yaudah, maafin Rani ya. Dia hanya menjalankan tugas sebagai kakak senior yang baik," bela Bang Ejik.
"Apaan! Mbak Rani juga nyuruh aku ngejauhin semua cowok asrama putra, termasuk Bang Ejik dan Nino. Katanya gak boleh berkhalwat dengan lawan jenis," imbuhku, mengeluarkan semua unek-unek.
"Buahahahaha, sampai segitunya?" tanya Bang Ejik.
"Ya kan sudah kubilang di WA," keluhku.
"Iya, iya maaf. Kukira kamu berlebihan. Masa Chatting panjang banget, tapi diajak ketemuan gak mau," timpalnya.
"Aku serius Bang!" Kuraih botol minuman yang tetes-tetes air di dindingnya mulai meleleh, lalu menyeruput isinya hingga tinggal setengah. "Mana besok anak-anak kelas mau naik gunung, aku kan pengen ikut sebenarnya."
"Oh ya? Pantesan si Fikri tadi bilang ke aku, butuh beberapa tenda dan minta pendampingan," ujar Bang Ejik.
"Ke Bang Ejik? Ngapain? Emang sih dia yang janji koordinir perlengkapannya. Bang Ejik mapala juga, kaya dia?" tanyaku. Betewe, si Fikri itu semacam ketua kelas. Dia aktif juga di BEMFA.
"Yo'i. Aku sama Si Yongkie, satu UKM Mapala dan bela diri," jelasnya.
"Astaga! Baru tahu akutu. Kapan ya, aku bisa ikut UKM, masa kejebak Mulu di asrama," keluhku.
"Kamu jangan rajin-rajin bangetlah. Kan dibolehin absen dua kali gak ikut kegiatan asrama, nah di situlah ikut kegiatan UKM. Atau kalau nggak gitu, tunggu liburan semester, biar free beneran. Kalau yang UKM-nya tidak terlalu formal, macam teater, mapala, malah sering ngadain event pas liburan," jelas Bang Ejik.
"Oh, gitu. Iya sih, liburan semester kemarin aku disuruh pulang sama Eyang. Katanya biar nggak ngabisin ongkos di sini. Padahal sebenernya disuruh bantuin jualan di pasar," curhatku lagi.
"Jualan apa kamu?"
"Ya, sayur mayur, cabe, tomat, apapun dah," keluhku.
"Oh, ya? Jadi pengen lihat kamu jualan," ledeknya.
"Ish! Bang Ejik jahat! Jangan menghina gitu dong, mentang-mentang aku cewek kere," sergahku.
"Heh! Yang ngehina siapa? Jualan di pasar itu halal kok. Bagus malah, berdagang itu kan dianjurkan. Aku cuma penasaran, ngebayangin kamu ngelayanin pembeli. Pasti jutek banget," katanya lalu mempraktikkan.
"Beli apa! Gosah nawar ya! Ga jadi beli? Kulempar sandal kamu ya!" ujarnya menirukan gayaku kalo lagi galak, mana satu tangannya berkacak pinggang dan satunya menuding-nudingkan jari pulak.
"Iihh, Bang Ejik nyebelin deh!" Tanpa sadar kugaplok lengannya.
"Eittss! No touching! Pake kekerasan pulak kamu ni!" balasnya sambil menghindar.
"Ehem!"
Mendengar suara dehaman itu kami berdua langsung menoleh.
Astaga, Kak Yongkie!
"Elaah, Bro! Ngagetin aja," kata Bang Ejik.
"Kasian ya, anak Ekonomi ga punya kantin, jadi nebeng di mari," goda Kak Yo. Padahal kami punya kantin sendiri plus minimarket dan juga unit usaha fotocopy, sebagai lab praktikum Wira usaha.
"Menghina!" balas Bang Ejik. "Kalau bukan karena letaknya di jalur utama, paling juga males mampir sini. Nah kamu, anak Teknik juga nyasar di mari."
Kak Yo menepuk bahu Bang Ejik dengan tertawa. Matanya, Ya Allah ... makin sipit. Eh, kok aku jadi perhatian banget.
"Rapat nanti malem gimana? Persiapan ultah asrama?" tanya kak Yo yang langsung mengambil tempat duduk di antara aku dan Bang Ejik. Mau tidak mau aku pun sedikit bergeser ke tepi bangku panjang ini.
"Ntar malem, gak bisa. Tuh, ngurusin adik tingkat. Kelasnya Nora besok mau pendakian ke bukit sebelah. Ya, ala-ala liat sunrise gitu maunya," jelas Bang Ejik.
"Ya tapi kan masih besok acaranya, Jik. Ntar malem bentar doang, aku dah bikin susunan panitianya," kata Kak Yongkie. "Ntar ku WA deh."
Mereka berdua ngobrol seolah aku tidak ada di sini. Ya sudah, aku menyimak saja sambil menyeruput teh botol.
"Abis isya apa abis magrib?" tanya Bang Ejik.
"Serah kamu deh. Ntar kamu kan ketua panitianya," timpal Kak Yo.
"Ogah! Masa gue sih? Dion aja Napa. Atau Satrio, Wandi, Genta, masih banyak pengurus yang lain kan? Bah, jangan menyiksaku terus lah Yo!" tolak Bang Ejik mentah-mentah.
"Yaudah kalau begitu, Kamu koordinator penasehat sama Dion. Si Genta yang ketua panita. Em, cewek ini kusuruh masukin, jadi anggota sie acara. Mau gak ya?" ujar Kak Yo, yang membuatku tersedak.
"uhuk! Uhuk!"
"Kamu sih, dia jadi nervous kan?" kata Bang Ejik menyikut Kak Yo, lantas keduanya menertawakan aku. "Tenang, Ra, tenang!"
"Kak Yo. Ngagetin sih. Aku nggak mau jadi panitia apa pun, kak. Tugasku banyak," tolakku halus.
"Gak bisa gitu. Ra. Semua penghuni pasti bakal ditunjuk jadi panitia, cepat atau lambat," jawab Kak Yo tegas. Nada bicaranya jadi formal banget kalau sama aku. Beda banget pas ngobrol sama Bang Ejik, ramah dan santai.
"Gitu ya?"
"Rapat kelasmu jam berapa Ra?" tanya Bang Ejik padaku.
"Fikri bilang sih jam 8 tapi pasti molor. Lagian, ntar aku kekunci kalau ikutan rapat. Kan nggak tahu sampai jam berapa," jawabku.
"Jumat malam dan Sabtu malam tutup jam sebelas kan asrama?" tanya Bang Ejik memastikan.
"Iya," jawab Kak Yo.
"Eh, iya kah? Kukira jam sembilan seperti biasa," kataku.
"Nggak! Kamu dikibulin pengurus asrama putri kayaknya. Jam sebelas kalau weekend," bantah Bang Ejik.
"OOO, gitu."
"Mending rapatnya habis magrib aja di asrama. Cepet kelar kan, habis itu bisa ikut yang kelasmu," usul Kak Yo.
"I-iya, kak," jawabku.
"Oke deh. Deal!!" timpal Bang Ejik.
"Kalian gak balik asrama?" tanya Kak Yo.
"Iya, ini mau balik. Urusan sama Nora udah kelar," kata Bang Ejik.
"Balik bareng kalau gitu," ujar Kak Yo sembari berdiri.
"Ayo, Ra," ajak Bang Ejik padaku. Beda banget sama Kak Yo yang sama sekali tidak menganggap aku ada.
"Iya Bang," jawabku sembari berdiri. Aku pun berjalan di belakang mereka berdua.
Melewati Fakultas Sastra, banyak mahasiswi yang menyapa Kak Yo. Namun hanya dibalas sekadarnya saja. Dia cukup populer ternyata, sampai terkenal di fakultas sebelah. Iyalah, Kak yo kan good looking, tinggi, dan cool gitu. Tipe-tipe ideal yang jadi rebutan cewek, tapi dia bukan tipeku.
Lalu sampailah kami melewati fakultas teknik, yang merupakan sarang penyamun kata teman-teman sekelasku. Maklum, di fakultas Ekonomi banyak ceweknya dibanding cowok. Sementara di fakultas Teknik, banyak cowoknya dibanding cewek. Bahkan teman-teman sering banget ngecengin cowok teknik, yang katanya macho banget gitu.
Entahlah, kalau aku kok malah takut. Soalnya inget anak SMK Teknik di dekat ekolahku sana malah anak-anaknya berandalan dan doyan tawuran. Tanpa sadar, aku pun melipir mendekati Bang Ejik dan Kak Yo, saat gerombolan cowok-cowok itu melintas.
"Kenapa Ra?" tanya Bang Ejik.
"Takut, anak Teknik sangar-sangar, kayak gerombolan preman siap tawuran gitu," ujarku spontan, sambil Meleng
Kak Yo mendadak berhenti, sehingga tanpa sengaja aku punggungnya dengan cukup keras.
"Eh!"
Dia berbalik dan aku baru sadar kalau sedang melakukan kesalahan. "Apa kamu bilang?"
"Eh nggak kok kak, maaf," cicitku sembari berjalan mundur.
"Dahlah, Yo, jangan digodain Mulu. Nanti dia nangis loh," sahut Bang Ejik.
"Diem kamu Jik! Duluan sana!" usir Kak Yo pada Bang Ejik.
"Oke, Bos!" jawab Bang Ejik dengan entengnya. "Bye Ra, jaga diri baik-baik," pamitnya sebelum ngeloyor pergi.
What?
"Bang Ejik, tungguin!" teriakku.
Dia hanya melambaikan tangan dan terus berjalan. Bang Ejik jahaaatt! Aku ditinggalin sama vampir.
"Coba ulangi yang kamu bilang? Anak teknik kenapa?" tanyanya.
"Ampun kak, aku nggak bermaksud bilang gitu," rengekku, sambil menangkupkan kedua tangan.
"Cewekmu, Yo?" celetuk salah seorang teman Kak Yongki yang kebetulan lewat.
Kak Yongki hanya nyengir.
"Oh, seleramu begini ya? Tomboi tapi padat berisi," lanjut temannya lagi.
Selanjutnya kak Yo malah berbalik, dan bersedekap menghadap temannya itu. "Kalo mau lewat, lewat aja. Gosah campuran urusan gue!"
"Oke, oke, sorry," ujar temannya itu lalu segera pergi.
Aku sebenarnya sudah mau melarikan diri, mumpung perhatian kak Yo teralihkan. Namun, dia Ebih cepat, menangkap pegangan ranselku. Persis seperti yang dilakukan Bang Ejik tadi.
"Mau kemana kamu?" tanyanya.
"Pulang kak," jawabku asal.
"Asrama itu arahnya ke sana, Nora," ujarnya sembari mengerakkan ransel untuk membalikkan badanku.
"Eh, iya."
"Yuk jalan," katanya lagi, seolah-olah tidak teejadi apa-apa. Padahal dia tadi seperti hendak menerkamku. Kami pun berjalan bersisian.
"Seragam SMA yang kemarin itu, bakar saja," katanya tiba-tiba.
"Hah? Tapi itu kan punya adiknya kak Yo," kataku.
"Siapa bilang?" tanyanya heran.
"Bang Ejik," jawabku dengan penuh percaya diri.
... bersambung ...