Gedung Kejaksaan

1775 Kata
Apa yang terjadi dengan Samudra itu tidak diberitahukan pada siapapun. Sena merawatnya seorang diri dan menjaganya. Dia tau kalau luka itu tidak berpengaruh pada organ dalam dan hanya sobekan kecil di luar hingga dia bisa menanganinya sendiri. Saat Samudra bangun di pagi harinya, dia menatap langit langit dan mengingat ngingat apa yang terjadi dengannya sebelum ini. sampai Rega merasakan pegal di bagian kepala kirimya. Dia memegangnya dan terdapat perban di sana. “Oh, Om udah bangun?” Sena baru saja keluar dari kamar mandi, dengan tubuh yang segar dan hanya terlilit oleh handuk. Kini dia sudah percaya diri memakai pakaian seperti itu, terbuka untuk menggoda Samudra. Sena mendekat dan memeriksa Samudra yang sedang duduk. Napas pria itu tercekat melihat kulit Sena yang cerah dan basah. Apalagi Sena memegangi kepala bagian belakang Samudra. “Oh, udah mendingan ini,” ucapnya mengangguk angguk kepala. “Kenapa kamu gak bawa saya ke rumah sakit?” “Orang Om gak papa.” “Kepala saya hampir pecah.” “Gak pecah,” ucap Sena menatap Samudra yang terlihat panik. “Om baik baik aja, Cuma kesayat dikit.” “Kalau saya kenapa-napa gimana? Kalau nanti di persidangan saya pusing gimana?” Sena terdiam, ternyata ada sifat lain Samudra. Pria itu lebih mudah panik ketika sesuatu terjadi di luar pengetahuannya. Menggemaskan sekali sampai memegang kepalanya berkali kali layaknya anak kecil. “Gak papa, Om. Percaya sama adek. Coba Om berdiri, gak akan pusing.” Kemudian Sena berdiri setelah dia memastikan kalau suaminya baik baik aja. “Hari ini aku libur gak ada kuliah. Om mau dianterin makan siang gak?” bertanya sambil melangkah menuju walk in closet, memakai pakaiannya di sana. “Gak usah.” “Tapi adek tetep mau ke sana. pokoknya adek mau ngasih tau ke semua orang kalau Om itu punya adek, udah punya istri. Jadinya gitu ya, Om?” ketika Sena melihat ke arah ranjang, dia sudah mendapati kalau sang suami tidak ada di sana. yang mana membuat Sena menarik napasnya dalam. Menyebalkan sekali, untung tampan. Ngomong ngomong mereka memiliki kulkas besar, penyimpanan khusus untuk makanan yang begitu banyak. Senang rasanya dia tidak akan merasakan kelaparan. Sena mulai memasak untuk sang suami, dia ingat pesan Mama Dara kalau Samudra itu bukan penyuka pedas. Berbanding terbalik dengan dirinya hingga Sena mulai memasukan beberapa cabe supaya Samudra merasakan bagaimana enaknya rasa pedas itu. “Gak usah anterin makan siang,” ucap Samudra begitu dirinya sudah siap, memberikan antisipasi jika sang istri melakukannya. “Tapi aku mau ke sana, bosen di apartemen tau.” Sena tetap kukuh pada pendiriannya, dia memamerkan senyuman terbaiknya pada Samudra. “Mama belum pulang dari luar kota, si kembar juga sama. Aku mau pendekatan sama Om.” Lagi-lagi Samudra memberikan beberapa kalimat untuk berdebat, tapi Sena bukanlah hal yang bisa ditandingi olehnya. Sampai akhirnya Samudra hanya menarik napasnya dalam dan berkata, “Oke, tapi jangan lakukan hal-hal aneh.” “Asyik! Okay, mau dibawain apa?” “Apa aja,” ucap Samudra. Karena dia memang menikmati semua makanan buatan Sena. Jujur saja rasanya memang enak dan membuatnya ketagihan. Sampai menu sarapan kali ini membuat Samudra terdiam. “Ini apa?” “Balado cumi.” “Pedes?” “Coba dulu, enak kok.” “Nggak, gak bisa makan pedes.” “Coba dulu, makan dulu. satu suap aja,” ucap Sena dengan memohon. Samudra menarik napasnya dalam, dia mencoba makanan itu dengan nasi. Kemudian dia langsung terdiam sejenak, rasa pedasnya tidak seburuk itu. masih hangat. Ternyata warna merah itu juga berasal dari tomat. “Enak, Om?” “Enak, lumayan,” ucapnya sambil mengambil lebih banyak nasi dan juga sambal cumi. Jika seperti ini, sepertinya Samudra akan gemuk. Dia suka dengan makanan makanan yang dibuat oleh Sena. “Nanti kalau ke sana jangan pake motor.” “Kenapa?” “Pake mobil, kan punya sopir.” Memang mereka memiliki sopir pribadi yang tinggal ditelpon kapan saja. “Tapi lebih suka pake motor, Om.” “Biar bawa banyak makanannya,” ucap Samudra. Sampai akhirnya Sena mengangguk, benar juga apalagi dirinya takut kalau makanannya tumpah. Padahal, Samudra hanya tidak ingin sang istri menjadi bahan pusat perhatian, bahan tertawaan dengan motor antiknya. “Om mau gak jajan bareng aku kapan-kapan?” “Kemarin baru abis jajan.” “Ih, jajan makannya yang pedes tapi enak. Dijamin Om suka.” Tidak ada jawaban dari Samudra, dia fokus makan membiarkan Sena yang terus bicara. Sampai Samudra bertanya pada sang istri, “Kamu darimana belajar cara ngobatin luka kayak gini? Sama tau kalau luka ini gak bahaya.” “Ya taulah, soalnya kan istri Om ini multi-talent, Om gak bakalan kenapa napa selama punya istri kayak aku yang allways penuh kesiapan akan apapun.” Yang mana membuat Samudra lelah mendengarnya, dia akhirnya berangkat bekerja setelah mendapatkan pelukan paksa dari Sena, bahkan sang istri membenarkan letak dasinya yang sama sekali tidak salah. Dengan alasan, “Ih Om, biar romantic kayak di TV.” Ingin sekali Samudra menolak semua sentuhan itu, tapi pada akhirnya dia hanya membiarkannya dan pasrah saja. Ketika Samudra sudah benar benar pergi, Sena memegang kepala bagian belakang miliknya sendiri. Ada luka yang sama di sana, yang mana membuat Sena tau tentang luka yang terjadi di tubuh Samudra. “Gak bahaya kok, Cuma bikin panik aja,” ucapnya demikian. *** Akhirnya untuk pertama kalinya, Sena menggunakan fasilitasnya sebagai Nyonya Surawisesa. Dia tidak menggunakan sepeda motor, jadi menelpon seseorang yang katanya adalah supir pribadi yang bisa dipanggil kapan saja, dimana saja. seperti di aplikasi saja. “Hallo?” Tanya Sena ketika panggilan terangkat. “Hallo, Nyonya Sena. Apa anda membutuhkan sesuatu?” Membuat Sena terpukau, bahkan dia sudah dikenal oleh supir itu. “Ya, bisa tolong antar aku ke kantor kejaksaan?” “Tentu, saya akan menunggu anda di basement. Mobil berwarna merah dengan merk XXX dan plat nomor XXX. Jika anda tidak menemukan saya, maka saya yang akan menemukan anda.” “Oke,” ucap Sena dengan sedikit kaku. Dia menutup panggilan dan bersiap siap pergi ke kantor kejaksaan. Karena takut mempermalukan sang suami, Sena memakai pakaian yang terbaik. Itu adalah pakaian yang dibelikan oleh Mama mertuanya. Gaun yang indah. Namun ketika Sena memakainya, tiba-tiba gaunnya robek. Dia terdiam sejenak dan berfikir kalau terus melakukan hal ini, maka dia akan semakin mempermalukan sang suami. “Gak papa deh pake celana aja,” ucapnya demikian dan memilih memakai celana. Dengan kaos hitam dan juga rambut yang diikat kuda. Dirinya terlihat lumayan cantik, apalagi tidak mengenakan riasan hingga wajahnya yang putih dan mulus. Sepertinya dia haru berterima kasih pada si kembar karena membuat tubuhnya menjadi secantik ini dalam waktu yang singkat. Meskipun memiliki wajah yang manis, sisi tomboynya masih terlihat sehingga membuat Sena tampak lebih menarik. Setelah bersiap dengan dua tas di tangannya, Sena melangkah keluar dari apartemen. Dia keluar dari lift pribadi dan langsung berhadapan dengan seorang pria berjas. “Aduh emak!” teriak sena kaget. “Hallo selamat siang, Nyonya. Saya supir pribadi anda.” Sena tersenyum kaku, yang akan mengantarkannya ini seorang bule ternyata! “Gak usah kaku ya, Pak. Ngomongnya biasa aja, biar lebih nyaman.” “Kenyamanan anda adalah prioritas saya.” Sambil membukakan pintu. Hingga Sena tersenyum heran, mungkin sudah seperti ini karakternya. Dia duduk di kursi belakang, menatap keluar mobil menikmati hari yang begitu cerah. Secerah senyumannya. Menjalani kehidupan yang begitu dia idamkan setelah sekian lama. Mengingat apa yang biasa dia lakukan saat sebelum menikah, pasti banyak sekali pekerjaan hingga tidak ada waktu untuknya melakukan hal seperti ini. “Nyonya, sudah sampai. Apa anda tidur?” Sena langsung membuka matanya, sang sopir menggangunya tapi dia mencoba tersenyum. Teralihkan pandangannya pada sebuah gedung di depannya. Yang begitu besar, megah dan juga banyak orang keluar masuk. Kantor kejaksaan, Sena dengan bangganya masuk ke dalam. Ada seorang resepsionis di sana. sena mendekatinya. “Hallo.” “Kami tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam untuk menawarkan makanan. maaf, Mbak.” “Eh?” Sena memaki dalam hati. “Saya mau ketemu suami saya. Namanya Samudra Surawisesa.” Sosok itu terdiam sejenak. “Nama Mbak siapa?” “Sena.” Kemudian memeriksa sesuatu sampai dia membula mulutnya. “Silahkan naik ke lantai tiga dengan menggunakan lift. Ruangan Bapak Samudra ada di ujung. Maaf atas tindakan kasar yang saya lakukan.” Sena hanya tersenyum dengan menahan rasa kesalnya, mendumal saat dalam perjalanan menuju ke ruangan sang suami. Dalam perjalanan tadi, Sena sempat menelpon Samudra untuk memberitahukan kedatangannya. Namun sang suami sepertinya tidak bisa diganggu. Kenyatannya, saat Sena membuka ruangan itu, dia tidak mendapati Samudra. “Woaaahh keren banget,” ucap Sena melihat ke sekitar. Di sana ada papan nama yang menuliskan nama lengkap Samudra. Kaca memperlihatkan langit yang cerah. Terdapat jabatan Samudra sebagai jaksa penuntut yang membuatnya tampak keren. Ruangan ini sendiri memiliki kamar mandi di dalam, sofa yang luas dan sudut membaca. Kira kira ukurannya ini 25 meter persegi. Bahkan ada kulkas dan beberapa camilan yang tertangkap oleh matanya. “Gila gila, kalau gue di sini pasti bakalan betah.” Begitu suara pintu terbuka, Sena langsung menoleh dan mendapati sang suami yang masuk dengan wajahnya yang terlihat menahan lelah. “Om Sam,” ucapnya dengan datang merentangkan tangan. Samudra yang malas dan lelah untuk berucap, membiarkan Sena memeluknya sesaat sebelum berkata, “Ayok makan, adek buat banyak makanan buat Om.” Samudra melihat makanan yang ada di meja, belum terbuka sama sekali. “Kenapa malah diem berdiri aja?” “Kita makan diluar ayok.” “Hah? Ngapain? Kan aku udah bawain banyak makanan itu.” “Dimakannya jangan di sini,” ucap Samudra bergerak untuk membuka kemejanya. “Woah seksi,” ucapan Sena membuat Samudra menghentikan gerakannya seketika. Dia sadar kalau sang istri ada di sana dan memutuskan untuk mengganti pakaiannya di kamar mandi. “Om ih mau kemana! Ganti di sini aja,” ucap Sena dengan frustasi. “Hih, pengen gue gigit itu otot perutnya. Keren banget dahh, seksinya cowok gue.” Setelahnya, Samudra keluar dengan penampilan yang lebih santai. “Emang Om udah selesai ya jam kerjanya?” “Jangan banyak tanya,” ucap Samudra yang benar benar terlihat lelah. Dia mengambil salah satu tas makanan itu kemudian tangannya yang lain menggenggam jemari Sena. “Aw, tangan aku digenggam Om suami.” “Saya bisa cium kening kamu, asal kamu diam setelahnya.” “Iya iya,” ucap Sena dengan antusias. Ternyata istrinya itu gampangan dalam hal ini, membuat Samudra mencium keningnya dan Sena benar benar menahan suaranya bahkan untuk tertawa. Keluar dari ruangan, Samudra tetap menggenggam tangan Sena. Membuat pipi istrinya itu mengembung karena menahan teriakan, tawa dan juga kebahagiaan. Bahkan wajahnya memerah dan membuat orang yang berpapasan dengan mereka berkata, “Kasian ya istrinya Pak Samudra, kayaknya dia kebelet buang air besar.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN