Siklus yang aneh

1161 Kata
“Om jajan,” ucap Sena menarik tangan Samudra untuk bisa beralih ke tempat yang ada di sisi lain. Samudra menggelengkan kepalanya, dia menatap perutnya sendiri. Benar benar berantakan, kebiasaannya yang selalu jarang makan malam hari dikarenakan menjaga pola makannya dan kesehatannya. “Mau makan ini.” “Tadi kamu banyak makan di sana.” “Tapi yang ini belum dimakan.” “Tadi bilang kenyang.” “Kenyang kalau makan itu lagi, kalau makan yang inimah enggak,” ucap Sena menarik tangan Samudra supaya bisa pergi ke tempat yang dia inginkan. Pria itu hanya bisa pasrah, membiarkan tangannya ditarik dan hanya bisa menghela napasnya dalam. Mereka membeli makanan manis cukup banyak untuk dimakan di tempat. “Ini kebanyakan gak sih kita belinya?” Tanya Samudra khawatir akan menyia-nyiakan makanan. Namun hal itu tidak terbukti benar karena nafsu makan Sena begitu bagus, membuat Samudra merasa melihat siaran langsung dari seseorang yang sedang mukbang. Begitu terlihat menikmati hal ini yang membuat Samudra menggeleng gelengkan kepalanya. “Abis ini langsung ke toko buku, Om?” “Iyalah,” ucapnya sedikit sinis, karena keinginan Sena untuk berada di area makanan tidak kujung berheti. Sisanya, Samudra hanya melihat ke sekitar dan menunggu Sena selesai dengan makanannya. “Yuk udah,” ucapnya dengan wajah ceria. Mengantar sang suami ke toko buku. Namun sejauh ini tidak ada hal yang membuat Sena tertarik, jadi dia hanya berjalan mengikuti Samudra dari belakang. Sambil sesekali memberikan komentar berupa, “Ih, Om, itu buku tentang hukum ya? kok tulisannya aneh? Bahasa apa sih?” sambil memeriksa sampul buku yang dipegang Samudra. “Oh, bahasa Belanda.” Yang mana membuat Samudra segera menarik tangannya. “Kamu gak mau nyari buku gitu? Gak usah ngikutin.” “Nggak deh, aku gak tertarik gak ada yang seru. Jadi ngintilin Om aja.” “Sana cari buku buat kuliah.” “Gak perlu, kuliah aku gak memelukan banyak buku. Jurusan aku terbaik emang.” “Jurusan apa?” “Jurusan seni, Om itu gimana sih kan aku udah cerita.” Samudra memalingkan pandangannya. Mana dia tau karena setiap Sena bercerita, dirinya tidak mendengarkan. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. “Kalau Om kan sebagai jaksa, itu ngapain aja?” “Nuntut orang yang bersalah.” “Jaksa penuntut ya? kenapa mau jadi jaksa?” Sebelum Samudra melepaskan kejengkelannya, seseorang lebih dulu berkata, “Eh, Sena ya?” Yang mana membuat Samudra maupun Sena menoleh, di sana ada dua orang perempuan. Salah satunya dikenal oleh Samudra juga, dia sedikit ingat kalau perempuan itu diperkenalkan sebagai kakak dari sang istri. “Hei, Kakak kamu baru aja cerita kalau kamu udah nikah. Selamat ya.” “Makasih, Kak.” “Kenapa gak ngundang?” “Dadakan,” jawab Sena, kemudian memperkenalkan sang suami. “Mas Samudra, ini temannya Kakak aku.” Samudra dan sosok itu saling bersalaman, sementara Tiara tidak mengatakan apa apa. “Kita lagi cari buku dulu nih, ditinggal ya,” ucapnya membawa Tiara yang sedari tadi diam itu pergi. “Kakak kamu sakit gigi?” “Iya, katanya ada gigi yang dicabut,” ucap Sena sambil beralih pergi, Samudra segera menyusulnya. Kenapa dia merasa Sena yang tadinya ceria berubah tiba tiba menjadi unmood? “Tumben gak manggil Om.” “Oh, mau diperkenalkan sama panggilan Om. Oke, semuanya, ini O─hmmphh!” mulutnya dibekap seketika, Samudra menyeret Sena ke tempat dia ingin membeli buku bagian social dan politik. Dan apa yang dilakukan Sena dengan Samudra dilihat oleh Tiara, dia hanya bisa berpaling dan menahan semuanya penyesalan di dadanya, kenapa anak haram itu yang mendapatkan posisi itu? begitu kalimat yang dikatakan oleh otak Sena. *** Akhirnya Samudra bisa menghela napas lega karena dirinya bisa pulang ke apartemen. Dilihatnya jam sudah hampir mencapai angka sebelas, itu artinya tidak ada waktu untuk dirinya membaca, mendalami kasus yang sedang dia pegang. Dalam perjalanan pulang, Samudra merasa heran dengan Sena yang tidak menyalakan dangdutan. Bahkan ketika Samudra menyetel lagu klasik, perempuan itu tidak menggantinya. Yang mana membuat keheranan Samudra semakin naik. Ketika lampu merah, pria itu memeriksa Sena dengan mengguncang bahunya. Tidak adanya reaksi dari sosok itu membuat Samudra sedikit panic. Hingga dia menyingkirkan rambut yang menghalangi, ternyata Sena tertidur dengan ditandai mulut yang terbuka dan air liur yang mengalir. “Pantesan udah tidur,” gumam Samudra kembali melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di basement, Samudra membangunkan istrinya. Sulit jika harus menggendongnya, terlebih lagi mereka membawa banyak barang. Ketika Sena dibangunkan dan menyebabkannya merasa pusing, Sena langsung mendumal, “Om ini gimana sih, gak ada romantis-romantisnya. Harusnya kan aku digendong kayak putri putri gitu, bukan dibangunin.” Samudra hanya memutar bola matanya malas. Namun sepertinya dia menyesali perbuatannya membangunkan Sena karena sekarang perempuan itu begitu aktif kembali. Bahkan mengatakan, “Om, kalau aku tidur lima menit aja, itu udah bikin energy daya aku terisi. Makannya aku bisa langsung vit kayak gini, nyusun makanan di kulkas. Om mau ngemil dulu gak?” “Gak, saya mau tidur,” ucapnya melangkah ke kamar. Mencoba tidur lebih dulu sebelum Sena datang ke sini. Namun seperti sebelum sebelumnya setelah menikah, Samudra kesulitan memejamkan matanya. Dia terpejam, tapi tidak terlelap. Hingga ketika mendengar suara pintu terbuka, Samudra langsung memejamkan matanya pura pura tidur. “Eh, udah cepet aja tidurnya,” ucap Sena yang pergi ke kamar mandi terlebih dahulu. Memakai skincare rutin sebelum tidur. Mulai merasakan pergerakan ranjang, Samudra yakin kini Sena mulai bergabung dengannya. Namun kenapa dia merasa kalau Sena sedang menatapnya? Ada hembusan napas yang menerpa pipinya. “Gila, si Om ganteng banget kalau tidur. Gue apa kabar ya?” Pertanyaan itu terdengar dengan jelas di telinga Samudra. Sampai tubuh pria itu menegang saat Sena memegang ujung hidungnya. “Ganteng banget.” Sedetik setelah mengatakannya, Sena langsung menegakan tubuh. Dia menampar dirinya sendiri dan menggelengkan kepala. “Gak boleh, kamu gak boleh menodai seorang pria, Sena.” Berucap pada dirinya sendiri seperti itu malah membuat Samudra ketakutan. Sampai akhirnya Sena membaringkan tubuhnya di ranjang dan tidur dengan cepat. Samudra masih belum berani membuka matanya, dia tidak berani melakukannya karena takut digoda oleh Sena. Karenanya, dia terus memejamkan mata sampai akhirnya terlelap tidur. Sementara itu, Sena terbangun dari tidurnya ketika pagi menjelang. Diliriknya sang suami yang masih memasang wajah tampan ketika sedang tidur. “Gila sih emang, ganteng banget.” Ketika Sena memeriksa dirinya sendiri di kamar mandi. Wajahnya kusam. “Wah, pantesan si Om gak mau grepe-grepe, harus maskeran nih,” ucapnya memakai masker hitam di seluruh permukaan wajahnya. “Biar glowing.” Kemudian Sena memasak sarapan untuk mereka. hingga dia merasa Samudra sudah tidur melebihi batas waktu biasanya bangun, Sena segera bergegas untuk membangunkannya. “Om, bangun. Om, udah siang ini,” ucapnya mengguncang tubuh Samudra. Saat Samudra membuka matanya, dia kaget seketika melihat wajah hitam yang tepat di depan matanya. “Arrgghh!” dia berteriak dengan tubuh yang bergeser hingga. BRUK! Jatuh ke atas lantai dengan kepala yang terpentuk nakas hinggaa Samudra tidak sadarkan diri. Mata Sena membulat seketika, dia panic. “Om! Om!” teriak Sena. “Om jangan mati dulu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN