Ranisa 3
Duh ... Gusti. Kali ini aku benar-benar merasa melayang, enam tahun ini terasa begitu sia-sia, aku memujanya setiap waktu, namun kini ku lihat sendiri senyumnya disambut wanita lain juga raganya merengkuyh tubuh selain aku.
Ku nyalakan kembali mesin mobil, seiring dia yang hilang dari pandangan dalam senyum yang tak dapat ku artikan.
[Mas, sudah di Bandung?]
Satu baris pesan ku kirimkan padanya. Menunggu sampai sekitar 30 menit pesan itu baru terbalas.
[Masih di jalan, Sayang. Nanti Mas kabari kalau sampai.]
Ku baca sekilas tanpa dibalas lagi. Hingga saat ini aku tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Mengamuk seperti video yang sering di lihat di i********:?
Atau menangis meronta-ronta meminta dia kembali?
Namun kenyataan memberi tahu, bila aku berdiri di sini hanya sebagai istri kedua. Layakkah peranku ini mengungkapkan rasa, amarah dan kecewa.
Mas ... kenapa kamu begitu tega menipu sedalam ini? Apa alasannya?
Mengapa aku masih di pertahankan, padahal selama enam tahun ini aku tidak pernah memberimu anak, aku yang bermasalah. Namun, kamu membesarkan hati bila kamu pun bermasalah.
Tidak Mas! Tidak! Dua anak itu anakmu, lahir dari rahim wanita yang pertama kali kau nikahi, hasil dari benih yang kau buahi. Kau begitu sehat, lalu apa alasanmu denganku.
Hingga hampir tengah malam ini aku masih terbenam di bawah selimut, mengusap beberapa kali air mata yang tak henti berderai. Hingga dering telpon membuatku tersentak.
"Iya, Mas?"
"Si sayang aku kenapa lemas banget suaranya. Sudah tidur kah?"
"Iya, Mas. Ada apa?"
"Aku rindu, padahal baru sehari berjauhan."
Aku memejamkan mata, bisa-bisanya kamu, Mas. Padahal mungkin saat ini Naya sedang ada di ranjang yang sama denganmu.
"Aku ngantuk!"
"Ucapanku belum dijawab."
Hening tercipta sejenak, kemudian ku matikan teleponnya dan setelahnya ku kirimkan pesan, bila sinyal sedang tidak baik.
****
.
.
Mas Arya tak mengulur waktu, ia datang sore ini, sehari setelah ia menginap di rumah Naya. Namun, aku merasa bagai di neraka, mencoba bersikap tenang nyatanya tidak semudah itu.
Kamu menghampiri dengan senyum dan kecupan di kening aku menerimanya dengan datar, dingin, sakit!
Seperti biasa, ku sodorkan minuman hangat, ku tawarkan makanan yang baru saja ku masak.
"Aku mau mandi dulu, biar segar!" ucapmu sambil mengedipkan mata. Hal biasa yang selalu kamu lakukan setelah kita berjauhan.
Namun kali ini aku kehilangan hasrat, tak ku sambut gerlingan mata itu. Dosakah aku menolak gejolakmu, Mas?"
"Kamu pasti lelah, Mas! Istirahat saja!"
"Kamu tidak pernah membuatku merasa lelah," jawabnya dengan senyum. Ia kemudian membawa tubuh kecilku ke dalam pelukannya. Merengkuh dengan lembut. "Aku mencintaimu, Ran. Terimakasih sudah mau bertahan selama enam tahun, dari saat aku masih susah dulu hingga saat ini aku bisa memberimu kehidupan."
Aku membenamkan wajah, tak sanggup lagi untuk tidak menangis dan sesenggukan di sana. Mas Arya melepaskan pelukannya dan menatap heran ke arahku.
" Sayang kenapa?"
"Kenapa tega padaku, Mas?" Ucapanku terbata. Sakit rasanya.
Wajahmu kini berubah, kamu seperti keheranan.
"Apa yang sedang kamu bicarakan, Ran? Aku gak ngerti."
"Mas, peranku apa di hidupmu ?"
"Tentu istriku!"
"Lalu kenapa?"
"Kenapa apa nya? Sudah ah! Mas mau makan setelah itu kita istirahat."
Dia membawa tanganku dan mengajakku ke meja makan, namun sebelum sempat ia mencicipi, Mas Arya mengaduh dan berlari kecil ke kamar mandi.
Ponselnya tergeletak di meja, dengan tangan bergetar aku mengambilnya, berharap menemukan sesuatu di sana. Kuncinya tak pernah sama sekali diganti, apakah ia tak pernah merasa takut?
[Mas, mengapa memaksa pulang. Bahkan di sulung sedang panas, ia sedang rindu-rindunya padamu. Tak bisakah pulang esok lagi? Betapa setiap hari kami sabar menantimu dan kamu hanya datang dalam sekejap!]
Ini jauh lebih sakit dari pada yang ku bayangkan sebelumnya, aku seperti larut ke dalam dunia Naya, apakah selama tujuh tahun ini ia memendam banyak luka di atas rasa bahagiaku enam tahun bersama Mas Arya.