Aku bergetar, sejenak rasanya seperti nyawa lepas dari raganya. Enam tahun kebersamaan kami tak pernah sedikitpun aku menyisipkan sebuah perasaan curiga, atau ada satu saja dari tingkah Mas Arya yang terasa janggal, semua normal layaknya pernikahan pada umumnya. Aku mengenal keluarganya dengan baik.
Apa sebenarnya seluruh keluarganya tahu tentang Mas Arya yang mendua? Tapi apa alasan mereka bungkam. Sungguh tega mereka.
"Apa gak rindu Mbak sering ditinggal suaminya?"
Senyum tulus Naya mengembang, dapat ku rasakan betapa ia sangat mencintai suaminya.
"Tujuh tahun ini membuatku terbiasa."
"Lalu bagaimana dengan anak-anak? Apa mereka tak menanyakan dimana ayahnya."
Ku lihat Naya kembali tersenyum. "Mereka pun sudah mengerti bila ayahnya memang kerja jauh dan tidak pulang setiap hari."
Aku pun berusaha tersenyum, menutupi getir sembilu yang terasa begitu sakit menusuk jantung hati. "Terpenting komunikasi intens ya, Mbak."
"Alhamdulillah," jawabnya seraya memberikanku segelas jus jeruk.
Sungguh ... tak pernah sekalipun aku melihat Mas Arya menatap layar ponsel dengan raut mendamba, bahkan ia nyaris tak pernah membuka benda itu ketika berada di rumah.
Bagaimana ia mengabari Naya? Atau memang pria dalam gambar itu hanya mirip saja? Bahkan sampai namanya pun mirip.
Aku masih berusaha tegak, tak mungkin ku luapkan segala rasa. Aku masih membutuhkan banyak informasi, maka dari itu harus menyeimbangkan diri dan perasaan ini.
"Lu gak pernah curiga Nay sama laki lu? Banyak ceritanya kan laki-laki selingkuh karena jauhan sama istrinya." Dea tiba-tiba nyeletuk. Aku diam sejenak sambil penasaran menunggu jawaban darinya.
Naya terbahak. "Mas Arya sayang kami, dia tak pernah mencurigakan selama ini."
Aku menghela napas, itu yang juga aku rasakan saat ini, tak percaya bila sampai Mas Arya membuat kebohongan sebesar ini dengan waktu yang sangat lama.
Tak sanggup lagi, akhirnya ku putuskan untuk meninggalkan rumah ini dan pamit dengan berbagai alasan. Dea dan Naya sempat menahan, namun berulang kali kukatakan bila harus pergi karena urusan sangat penting.
Ponsel berdenting ketika aku mulai menaiki mobil, pesan dari suamiku, Mas Arya.
[Sayang dimana?]
Ku bayangkan ia sedang bertanya dengan lemah lembut, seperti biasanya. Namun hati ini semakin teriris, ku banting ponsel itu sembarang, lalu menangis sesenggukan ketika mobil yang ku kendarai mulai meninggalkan tempat ini.
Enam tahun yang lalu, enam bulan sebelum pernikahan, aku mulai mengenalnya. Sosok laki-laki berbeda yang mengisi kekosongan jiwa di tengah kemarau hati setelah dibungkus duka.
Pagi itu lebih indah dari biasanya, burung berkicau menyanyi riang. Mas Arya menasbihkan diri untuk menjadi bagian dari hidupku, menjadikan ia dan diriku menjadi kita. Ada orang tua kami dan juga saksi, tak hanya itu, alam semesta ikut berpadu merasakan bahagianya dua insan saling mengucap janji. Untuk pertama kalinya bibir yang hangat itu mengecup keningku, lembut dan menenangkan. Lalu setelahnya, aku berjanji untuk mencintainya seumur hidup.
Bahkan ketika pahit ini akhirnya harus terkuak aku masih mencintai sedalam seperti hari itu.
Aku putuskan untuk berbelok ke sebuah kedai, kemudian setelahnya akan kembali ke rumah Naya dalam diam, memastikan bila suami wanita yang baru ke kenal itu bukalah Mas Arya suamiku.
[Sayang kenapa tidak dibalas? Sudah arisannya.]
Pesannya kembali berdenting di ponsel milikku. Rasanya masih enggan untuk sekadar menjawab dengan satu patah kata pun. Aku masih sangat bergejolak.
[Sayang ...]
[Kok, gak dibalas?]
Pesan masih terus ia kirimkan. Aku menghela napas sambil menatap layar ponsel dan mulai mencoba membalasnya.
[Sudah selesai, Mas jadi ke Bandung?]
[Masih, nanti sore. Mau oleh-oleh apa?]
Kali ini aku tak lagi membalasnya, waktu menunjukkan pukul satu siang. Setelah menenangkan diri dengan segelas cokelat, aku akan kembali ke rumah Naya untuk mengamati dari kejauhan.
Satu jam duduk di sini, akhirnya ku putuskan beranjak. Rasanya sudah mulai tenang, walau hati masih terbakar.
Satu ... dua jam menunggu belum ada tanda apa pun, selain Dea dan yang lainnya mulai meninggalkan rumah. Waktu terus merangkak maju, sudah lima jam dan matahari mulai turun ke peraduan, tak ada Mas Arya sama sekali, ini sedikit membuatku lega. Kemungkinan bila pria itu hanya mirip bisa saja terjadi dan Mas Arya saat ini sudah pergi ke Bandung seperti pesannya satu jam yang lalu.
Aku menghidupkan mobil dan memilih untuk pulang, sekali lagi ku yakinkan hati, sepertinya aku memang sedang keliru. Namun, mobil sedan putih keluar dari arah yang berseberangan, ku pastikan sekali lagi pandanganku itu mobil Mas Arya, ia kemudian memarkirkannya di halaman, senyum Naya dan kedua anak kecil itu menyambut bahagia. Dia benar suamiku.
Hari ini adalah hari dimana perasaanku hancur sebagai wanita.