Mas Arya menatapku ketika si bungsu ada dalam dekapannya. Sementara mataku nanar menatap ke arah Naya yang kini mulai menunduk.
Aku tahu kamu hancur, Mba. Apalagi kamu mendapati aku di acara keluarga besar suamimu. Sungguh ... Aku tidak tahu bila engkau pun akan datang, tapi mungkin ini jalan Tuhan untuk mempertemukan kita dalam kenyataan yang sesungguhnya.
"Ran ..." ku dengar Mas Arya memanggilku lirih. Ia sepertinya bisa membaca bila aku kini sedang mendapati sebuah kenyataan.
"Aku senang ketemu Ayah di sini." Celoteh bibir kecil itu terdengar riang. Dari kejauhan ku lihat Naya mulai mendekat ke arah kami.
Dia hanya berusaha tegak, padahal raganya tak lagi sanggup.
Aku tahu, Mba! Aku sangat tahu! Itu yang aku rasakan ketika pertama kali mengetahui hal ini. Tapi mungkin sakitmu, jauh lebih dalam dibanding sakitnya aku.
Ia semakin dekat dan kini berdiri tepat di hadapan kami.
"Ran ... senang bertemu di sini!" Terdengar sekali suaranya bergetar, ia pasti ingin menjerit ketika menatapku. Namun, senyum justru mengembang dari bibirnya, walau ku tahu tak sedikitpun senyum itu menutup luka.
Sementara ku lihat Mas Arya terpaku ketika melihat istri pertamanya itu menyapaku. Mungkin tak percaya bila kami ternyata saling mengenal.
"Mba ...." Aku ingin menangis rasanya, tak sanggup lagi melihat wajahnya yang masih bisa mengumbar senyum seperti itu.
"Mari kita jalan bersama, jangan tunjukkan apa pun kecuali senyum, jangan merusak acara Bude Nina."
Ia merangkul tanganku, menegakkan wajahnya, melukis kembali sebuah senyum. Namun, dapat ku rasakan betapa tangannya dingin dan bergetar ketika kami saling bergandengan.
Terbuat dari apa hatimu, Mba? Mengapa Mas Arya begitu tega pada wanita sebaik kamu.
Mas Arya mengiringi langkah kami sambil membawa si bungsu dalam gendongannya. Riuh suasana Bude Nina dihadiri seluruh keluarga besar.
"Assalamualaikum," sapa Naya, tangannya masih merangkul tanganku. Senyum di wajahnya masih sama.
Kudapati raut tak biasa di wajah ibu mertua, adik ipar dan seluruh keluarga besar yang aku kenal, mereka memandang ke arah kami lain. Mungkin seperti sebuah perasaan bersalah atas kebohongan besar ini atau bisa saja hanya terkejut melihat pemandangan ini.
Sungguh ... Permainan kalian bukan karena rapi dan hebat, tapi memang bangkai yang baru saja tercium, atau mungkin aku yang bodoh tak bisa membaca situasi.
Bude Nina terlihat membuang muka, matanya memerah ku perhatikan. Apa ia sedang menangis melihat ketulusan Naya? Seperti aku yang saat ini pun berada di posisi itu. Selama ini aku mengenal Bude Nina, ia yang sangat jarang berbicara denganku. Bahkan cenderung menghindari.
Naya melepaskan genggamanku, ia mendekat pada ibu Mas Arya, lalu mencium tangan tuanya takzim. Sungguh, sedikitpun tak ku temukan marah di sana, hanya kecewa yang sangat dalam mampu ku rasakan. Aku belum tentu bisa melakukan hal itu, bahkan hanya untuk tersenyum hari ini pun tak dapat aku lakukan.
Acara berjalan lancar, tanpa terganggu drama dari kami. Sejak tadi Naya sama sekali tak menjauh dariku, ia menggambarkan seolah kami ini sangat akrab. Aku tahu, ia melakukan ini untuk ditunjukkan ke keluarga besar, karena Tania dan ibu pastinya juga sangat terkejut melihat kami di sini. Wajah mereka tak bisa menyembunyikan itu.
"Keren kamu, bojomu sudah dua!" Mas Teguh menepuk pundak suamiku yang berdiri tak jauh di hadapanku. Mas Arya hanya tersenyum.
Aku lebih memilih pergi dan mendekat pada Naya yang sedang menikmati minuman sendirian di balkon. Aku perhatikan dia lebih banyak menyendiri, tak banyak keluarga Mas Arya yang menegur, padahal setahuku mereka begitu ramah selama ini.
"Mba ...." Aku mengumpulkan sejuta keberanian untuk mendekat padanya.
Dia mendongak, menatapku sambil tersenyum lalu menepuk kursi di sebelahnya agar aku duduk. Dengan ragu, aku pun duduk di sampingnya. Semilir angin terasa dingin menyapu wajah, melambaikan rambutku dan mengayunkan jilbab maroon panjang yang kini dipakai Naya.
"Sudah berapa lama, Ran?" tanyanya dengan suara yang begitu pelan. Aku yakin, bahkan dia pun nyaris tak sanggup untuk menanyakan itu. Aku tahu hari ini dunianya telah hancur berkeping-keping karena keberadaanku.
Pertanyaannya tak langsung ku jawab. Bibir ini rasanya Kelu.
"Aku baik-baik saja kok, Ran," ucapnya seolah paham apa yang sedang aku rasakan.
"Mba ... Aku tahu bagaimana kehancuranmu saat ini. Sama seperti ketika aku melihat foto Mas Arya di ruang tamu rumahmu. Tak perlu menutupinya, kita hanya manusia biasa."
Dia menghela napas panjang, mungkin dadanya terasa begitu sesak.
"Terdengar klise memang, tapi aku lega mendapati suamiku menemukan kenyamanannya. Setiap kali pertemuan kami, aku selalu bertanya-tanya, siapa seseorang di balik hape yang selalu membuat raut wajah suamiku mendamba dan sesekali tersenyum."
"Aku rasa tidak ada satu orang wanita pun yang tidak sakit ketika suaminya menghadirkan wanita lain dalam rumah mereka."
"Lalu aku harus apa? Menjambakmu seperti video di i********:?" Dia tersenyum kecil, bahkan aku sama sekali tak bisa tertawa. Aku tak menjawab lagi dan hanya menatapnya nanar.
"Mba, Ran! Ayo makan!" Terdengar suara Tania memanggil. Ia sama sekali tak memanggil Naya, ia benar-benar seperti orang asing di sini.
Ada apa sebenarnya?
Hanya Bude Nina yang sejak tadi terlihat respek pada Naya. Jujur aku kecewa pada sikap Tania dan juga Ibu, terlebih lagi Mas Arya. Tak seharusnya perlakuan seperti ini ditunjukkan.
"Makan dulu saja, Ran!"
"Ayo ke sana bersama, Mba!
Naya hanya menggeleng pelan. "Kamu saja."
Aku pun memilih untuk tetap di sini meskipun beberapa kali Naya menyuruhku untuk makan. Sesekali ku lihat Mas Arya pun memperhatikan ke arah kami, entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Satu yang pasti ia mungkin sangat terkejut.
Setelahnya aku pamit ke kamar mandi, rupanya Mas Arya mengikuti, ia meraih tanganku kemudian dibawa ke sebuah ruangan dan mengunciku di sana.
Tak ada yang memulai kata di antara kami, ia menatapku lirih dengan mata memerah.
"Apa yang ingin kamu jelaskan saat ini, Mas? Bagaimana rasanya berbohong selama enam tahun? Bahkan seluruh keluargamu, kau seret di dalamnya. Kamu tega! Kamu manusia paling tega yang pernah aku temui!"
Mas Arya mencoba menyentuhku, aku menepis kasar. Rasanya tak ingin lagi bagian tubuh ini disentuh olehnya. Aku benar-benar kecewa begitu dalam.
"Aku tidak ingin menjelaskan apa pun saat ini, karena rasanya semua itu percuma. Aku memiliki alasan kuat atas semua yang aku lakukan."
"Alasan apa? Apa pun alasannya, mendua tetaplah sebuah kesalahan, Mas! Apa kamu pikir aku tidak hancur? Atau Naya tidak hancur. Apa kamu berpikir bagaiman perasaan anak-anakmu saat ini? Kita semua hancur karena kamu!"
Sungguh aku begitu meluap-luap, bagaimana bisa Naya bisa bersikap setenang hari ini.
"Aku mencintaimu! Dengan kamu aku merasa berharga sebagai seorang laki-laki, Ran!"
"Aku tidak peduli cintamu, Mas! Kamu jahat! Kamu tega!"
Aku memilih untuk pergi meninggalkan ruangan ini dan menjauhi Mas Arya, aku ingin menepi sejenak darinya, setidaknya setelah luka ini tidak terlalu menganga. Saat pintu dibuka, kudapati Naya sedang menunduk sambil sedikit terisak, ia mungkin akan pergi ke kamar mandi. Melihatku keluar dari ruangan ini di susul Mas Arya setelahnya tak membuat ia bertanya satu patah kata pun, ia hanya melihat ke arah kami dengan mata memerah, terlihat jelas air matanya menggenang.
"Mba ...," panggilku lirih. Ia tak menjawab sambil berlalu melewati kami. Samar ku lihat bahunya berguncang-guncang, sampai akhirnya ia hilang dibalik kamar mandi. Mas Arya hanya terpaku menatap keadaan ini.
Aku kembali ke ruang keluarga, riuh di sana melakukan sesi pemotretan, aku ditarik oleh Tania untuk ikut, kami berempat beberapa kali dijepret.
Sementara ku lihat di ujung sana, Naya hanya melihat kami sambil memeluk si bungsu.
"Ajak Mba Naya juga," pintaku pada Tania.
"Tidak usah! Tidak perlu!" ucap Adik iparku.
Aku memilih mengakhiri sesi pengambilan foto ini, sementara Naya memilih untuk meninggalkan ruangan. Aku segera mengejarnya, sepertinya ia sudah bersiap untuk pulang.
"Mba mau kemana?"
"Pulang, Ran. Acaranya sudah selesai."
"Kamu belum makan, Mba!"
"Aku bisa makan di rumah."
"Pulanglah dengan kami. Simpan mobil Mba di sini."
"Tidak perlu! Aku sudah terbiasa nyetir sendiri."
"Jangan, Mba. Aku mohon pulanglah dengan kami."
Ia bersikukuh menolak, lalu pamit padaku, juga Mas Arya yang ternyata mengikuti kami.
"Mas jangan diam saja, dong! Ini perjalanan lumayan jauh. Ajak dia pulang bersama kita."
"Kalau dia tidak mau sudahlah!"
"Mas!" Aku sedikit membentak. Ia menghela napas dan membuangnya kasar. Dengan raut wajah kesal Mas Arya menghampiri Naya.
Tak terdengar jelas apa yang sedang mereka bicarakan, Mas Arya mengambil kasar tangan istri pertamanya itu. Sementara Naya terlihat menolak sambil menundukkan wajah dan menangis.
Mereka sedikit bertikai, lebih tepatnya Arya yang sepertinya terus membentak, dari gesture tubuhnya terlihat ia sedikit kasar. Sampai si bungsu mendorong ayahnya. Aku tidak tinggal diam dan segera menghampiri mereka.