Bagian 9

787 Kata
Bagian 9 POV Ranisa Enam tahun selama pernikahan kami, tak pernah sekalipun aku mendapati telunjuk Mas Arya ada di wajahku. Sungguh ... aku begitu terkejut melihat sikapnya pada Naya, apalagi ketika melihat ekspresi si bungsu yang ketakutan. Aku melihat sisi lain dari suamiku yang selama ini ku kenal lembut. Ku hela napas panjang, lalu berbalik arah meninggalkan tempat ini. Tak mungkin ku hampiri mereka, lalu menambah kekisruhan, ini rumah sakit. Entah kemana harus ku bawa langkah, sekadar mencari rasa tenang dalam hati, ingin rasanya pulang ke rumah ibu, tapi tak mungkin ku bawa kehancuran hati ini ke sana. Hingga sebuah dering telepon membuyarkan lamunanku. Sebuah panggilan dari Tania. "Hallo, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, Mba. Minggu depan ada acara di rumah bude Nina, ke rumah ya." "Acara apa, Tan?" "Syukuran kelulusan spesialis kedokteran apa gitu, aku lupa." "Siapa memang?" "Mas Teguh, Mba." "Oh, iya. Nanti insyaAllah Mba ke sana." "Oke Mba Sayang." Kami terlibat obrolan kecil, kemudian tak lama setelahnya Tania memutus panggilan telepon. Sejenak terpikir, apakah selama ini Naya tidak pernah diberitahu bila ada sebuah acara di keluarga Mas Arya, aku tak pernah menerima kecurigaan apa pun sama sekali selama ini. Bahkan pada momen penting seperti hari raya, Mas Arya selalu membawaku ke sana, semua normal saja, tak ada yang aneh. Mas Arya begitu rapi menyembunyikan semuanya, begitu juga keluarganya. Aku mulai menyalakan mobil dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Entah kenapa jalanan begitu padat hari ini, sehingga aku menempuh waktu lebih lama untuk sampai. Tubuh ini rasanya semakin ringkih, di tengah segala hal yang terjadi dan begitu menguras pikiran. Sesampainya di rumah ... Aku segera mendaratkan diri di sebuah sofa sambil memijat kening yang terasa begitu sakit. Tak lama setelahnya si Bibi yang membantu di rumah pun membawakan segelas air dingin. "Makasih, Bi." "Iya, Neng." Ia kembali berlalu pergi ke dapur. Setelah meminum seteguk, ku simpan gelas itu di meja. Kembali ku hela napas sekadar mengeluarkan segala perasaan sesak. Ku edarkan pandangan melihat ke setiap sudut rumah ini, menghirup sisa bahagia yang pernah terjadi sebelum akhirnya benteng kokoh ini mulai porak poranda. Tega sekali, Mas! Padahal kekuatan terbesar dalam segala kelemahanku ada padanya. **** . . Aku bersiap untuk menghadiri acara Bude Nina, rasanya tak enak bila tak datang, apalagi sudah lama sekali aku tak bertemu keluarga suamiku. Mas Arya berdiri di sisiku. Ia baru saja mandi, rambutnya sedikit basah. Hari ini ia mengenakan kemeja merah maroon yang ku belikan tahun lalu, ia bilang, suka memakai kemeja pembelianku, membuat kulitnya tambah bening Bau wangi tubuhnya masih saja membuatku bergetar. "Sayang ... Mas pakai kemeja ini saja, ya?" ucapnya sambil membetulkan kerah baju. Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa pun. "Bagus, gak? Kalau gak cocok Mas Ganti." "Tidak perlu. Ini sudah siang, nanti terlambat. Lagi pula kenapa tiba-tiba ikut, bukannya kemarin bilangnya sibuk." "Ini perjalanan lumayan jauh, rasanya gak tega biarin sayangku ini sendirian," jawabnya tersenyum sambil merangkul pundak ku. Sementara aku hanya meresponnya dengan datar, aku hanya bertanya-tanya, mengapa perlakuannya pada Naya berbeda, ada apa di balik itu? Aku rasa Mas Arya tidak memiliki perangai yang keras, sikap itu juga yang ditunjukkan pada ibu dan adiknya. Ia membalikkan tubuhku ke arahnya, kami berhadapan sekarang, kemudian ia selipkan sedikit rambut yang menutupi mataku. "Mas bukan suami yang sempurna, bisa saja mengecewakanmu. Tapi rasa cinta yang Mas rasakan padamu tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Terimakasih sudah membuat Mas merasa berharga sebagai laki-laki dan suami." Apa maksudmu, Mas? Siapa yang membuatmu terasa tidak berharga? Aku tak membalas ucapannya sedikit pun, kemudian ia membawaku ke dalam pelukan. Aku masih merasa hampa dan dingin. Setelah itu kami berangkat ke rumah Bude Nina, membutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk sampai di sana. Sepanjang perjalanan aku hanya diam, melihat ke sisi jendela, memperhatikan setiap apa pun yang aku jumpai di baliknya. Gedung-gedung pencakar langit, pohon-pohon yang seolah bergulir melewatiku, rumah-rumah penduduk, jalanan yang padat, seolah sedang bercerita dengan posisinya masing-masing, di balik semua yang berdiri kokoh itu pasti ada penunjang dan dukungan di sana. Tiga jam perjalanan ini beberapa kali Mas Arya mencoba untuk mengajak bicara, aku hanya menanggapinya dengan dingin. Entah dia merasa atau tidak perubahan dalam diriku beberapa waktu terakhir ini. Hingga akhirnya kami tiba di rumah Bude Nina, suasananya sudah ramai ternyata, banyak mobil terparkir di halaman rumahnya yang luas. Kami berdua turun dari mobil, Mas Arya menggenggam tanganku erat. Ia memasang senyum yang sangat bahagia. Kami mulai berjalan memasuki rumah Bude Nina. "Ayah!" Sebuah suara kecil terlihat memanggil. Kami berdua terhenti dan melihat ke arah sumber suara, riang si bungsu berlarian ke arah Mas Arya. Aku segera melepaskan pegangan tangan suamiku ketika kudapati juga Naya sedang mematung menatap kami. Wajahnya sedikit pucat. Hari ini aku benar-benar menjadi wanita paling jahat di dunia, tatapannya nanar masih menatap kami seolah tak percaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN