2 ; Masih Berharap

2786 Kata
“Mama, kenapa Choco bisa hidup di desa pelangi?” “Mama nggak tahu, Sayang.” Yena menjawab sambil lalu. Sibuk membereskan baju-baju kotor yang berserakan dan membawanya ke mesin cuci. Piring-piring kotor sudah selesai dibereskan. Kamar Ivy juga sudah rapi. Tinggal menunggu baju selesai dicuci dan membereskan mainan Ivy yang berserakan, dari ruang tamu sampai balkon kamar. Putrinya itu memang sangat aktif. Terkadang Yena kewalahan mengurus Ivy sendirian. Tapi gadis kecil itu juga menjadi hiburan tersendiri saat Yena merasa lelah. “Kenapa walikotanya harus Ling Ling, dia 'kan gajah. Kenapa bukan Gina aja atau Putri Kiki?” “Mungkin karena Ling Ling pintar memimpin.” Ivy mengangguk paham. Kembali fokus pada televisi yang sedang menampilkan kartun favoritnya. “Ih Ivy nggak suka Putri Kiki, ngomongnya pelan banget kaya siput. Ivy suka sama Gina yang kuat dan pemberani.” Ivy bangkit dari rebahannya. Mengambil posisi berdiri di atas sofa sembari mengangkat tangannya. Bergaya seperti seseorang yang sedang menunjukkan kekuatannya. Yena hanya tersenyum singkat memperhatikan kelakuan putri kecilnya. “Bukannya Ivy sukanya Thunderbell?” “Iya Ivy juga suka Thunderbell soalnya dia bisa loncat-loncat, begini Mama.” Ivy mulai loncat-loncat di atas sofa. Tertawa karena gadis kecil itu merasa senang dengan kegiatannya. “Sayang stop-stop! Udah berhenti. Nanti Ivy jatuh.” Yena berjalan mendekat, menangkap Ivy yang masih cekikikan, menolak tangan Yena yang beberapa kali akan merengkuh tubuhnya. “Ahaha ... haha ... ini seru Mama.” Yena menggeram. Sedikit kesal karena terkadang Ivy tidak bisa mengontrol perilakunya yang sangat aktif. Kembali mengulurkan tangannya, menghentikan aksi Ivy dan mendudukkan gadis kecil itu di tempatnya. “Duduk manis ya anak Mama yang manis.” Ivy hanya membalasnya dengan sisa kekehannya. “Ivy juga suka Ruby yang bisa berubah jadi apa-apa.” Kembali ke topik bahasan awal. Ivy menghentikan ocehannya. Menatap sang mama yang kembali sibuk mondar-mandir untuk membereskan mainan yang berserakan. “Mama, Ivy mau seperti Ruby,” ucap gadis kecil itu lirih. Yena menghentikan kegiatannya, menatap putrinya dengan alis terangkat. “Kenapa Sayang, nggak jadi Gina?” Ivy menggeleng. “Ruby bisa berubah jadi apa aja. Kalau Ivy jadi seperti Ruby, Ivy mau berubah jadi desainer supaya bisa bantu Mama bikin baju. Supaya Mama nggak harus tidur malam-malam. Tangan Mama pasti sakit, 'kan? Ivy juga mau nemenin Mama ke acara pernikahan tante yang mesen gaun. Nanti Ivy aja yang ngurusin semuanya, supaya Mama bisa istirahat.” Yena tercengang. Entah bagaimana hatinya merasa tersentuh dengan kalimat sederhana Ivy. Yena tersenyum lembut. Meninggalkan beberapa mainan yang masih berserakan. Duduk di samping Ivy dan mengusap rambut sebahunya. “Ivy 'kan masih kecil, Sayang.” “Iya tapi Ruby juga masih kecil. Boleh 'kan, Ma?” Yena mengangguk. “Boleh. Tapi Ivy harus sekolah dulu yang rajin ya, supaya nanti bisa seperti Mama.” “Yeay Ivy mau seperti Mama.” Sorakan dengan nada riang. Senyuman gadis mungil itu melebar menularkannya pada Yena. Sebagai seorang ibu, Yena tentu merasa bangga dengan pemikiran Ivy. Putrinya itu masih berusia empat tahun, tapi terkadang Ivy mengutarakan pernyataan yang tidak seperti anak-anak di usianya. Mungkin karena keadaan, membuat Ivy berpikir jauh ke depan. “Sekarang Ivy tidur, ya?” Ivy mengangguk, merentangkan tangannya meminta gendong. Yena langsung menggendongnya. Membawa Ivy menuju kamarnya. Sebelumnya sempat mengajak Ivy mencuci tangan dan kaki serta menggosok gigi. “Mama tidur sama Ivy ya,” pinta gadis itu dengan wajah memohon. Yena baru saja menarik selimut sebatas d**a. Hendak mengambil buku dongeng yang biasa dibacakan untuk Ivy sebelum tidur. Tapi gadis kecil itu sudah terlebih dahulu memeluk lengan kanannya. Satu kebiasaan Ivy. Gadis kecil itu tidak akan bisa tidur jika tidak memeluk lengan Yena. Jika Ivy tidur di rumah ayahnya pun, Yena harus menemaninya sampai tertidur. Baru setelahnya, Yena akan pulang ke apartemen. “Kenapa, Sayang? Ivy, 'kan sudah besar.” “Ivy mau Mama tidur di sini. Supaya bisa tidur nyenyak sama Ivy. Mama jangan tidur di meja lagi.” Lagi-lagi Yena dibuat bungkam oleh kalimat Ivy. Melihat wajah memohon itu, dengan kedua tangan Ivy yang sudah memeluk lengannya membuat Yena tersentuh. Matanya sudah berkaca-kaca, hampir saja menetes. Tapi Yena langsung menahannya. Jangan sampai menangis di hadapan Ivy. “Iya, Mama tidur sama Ivy.” Yena mencium kening Ivy sebelum ikut masuk ke dalam selimut. Memeluk putri kecilnya dengan sayang. Sebelah tangan masih mengusap lembut kepala Ivy, supaya Ivy cepat memejamkan matanya. “Mama, Ivy kangen Ayah.” Yena menghela napasnya. Lima belas menit hanya saling diam. Yena kira, Ivy sudah tidur karena napas halus putrinya mulai terdengar teratur. Tapi ternyata Ivy malah mendongakkan wajahnya. Menatap mamanya dengan mata sayu. “Ayah ada urusan di luar kota, Sayang. Nanti kalau sudah pulang pasti ke sini, ketemu Ivy," ucap Yena dengan suara lembutnya. Mencoba menyunggingkan senyumannya, walaupun dalam hati sudah mengumpat habis-habisan. Terlintas wajah tampan lelaki itu, membuat Yena lagi-lagi menahan kesalnya. Jika saja lelaki itu ada di sini. Ingin rasanya Yena membenturkan kepalanya ke tembok sampai otaknya bisa bekerja dengan normal. Hah. Kembali menghela napas. Sabar Yena sabar. Orang sabar disayang Tuhan. “Urusan apa? Kok sama pacarnya?” “Urusan pekerjaan.” Yena menjeda kalimatnya hanya untuk menatap wajah Ivy yang terlihat kesal. “Siapa yang ngajarin Ivy bilang begitu?” Ivy menampilkan wajah tidak suka. Tidak menjawab pertanyaan Yena. “Ivy panggil bunda ya. Karena sekarang pacar Ayah itu bunda Ivy.” Ivy menggeleng tegas. Wajahnya terlihat semakin kesal. “Nggak mau! Ivy nggak mau punya bunda yang mirip nenek sihir itu.” “Sayang nggak boleh begitu.” “Nggak mau, Mama! Ivy nggak punya bunda. Ivy cuma punya Mama dan Ayah.” Ivy mulai merengek hampir menangis. Yena buru-buru mengusap punggung putrinya lembut. “Iya, iya, Sayang. Ivy cuma punya Mama dan Ayah.” Yena membawa Ivy masuk ke pelukannya. Gadis kecil itu langsung meringkuk, memeluk Yena erat. “Mama rebut Ayah dari nenek sihir itu ya. Ivy nggak suka. Ayah jadi jarang nemenin Ivy.” Yena diam. Tidak tahu harus merespon seperti apa. Kalimat Ivy sangat sederhana, tapi merealisasikan kalimat itu yang susah. Ini bukan sekadar membawa Ayah Ivy kembali supaya Ivy bisa bermain dengan ayahnya lagi. Tapi masalah orang dewasa yang belum bisa dipahami oleh anak seusia Ivy. “Mama kenapa?” Yena menggeleng. “Nggak, Sayang. Mama nggak apa-apa. Sekarang Ivy tidur ya, besok harus sekolah.” “Mama di sini, 'kan? Ivy nggak mau tidur sendiri.” “Iya, Sayang. Mama tidur sama Ivy. Sekarang tidur!” Ivy menurut. Memeluk mamanya semakin erat. Tangan mungilnya sudah bertengger di lengan Yena. Berjaga-jaga, siapa tahu setelah Ivy tidur, Yena akan memilih kembali ke kamarnya. Yena sesekali mencium kening Ivy lembut. Menggumamkan rasa sayangnya pada putri kecilnya. Tidak lama, dengkuran halus mulai terdengar. Gadis kecil itu sudah tertidur dan mulai berpetualang di alam mimpinya. Yena kembali mencium kening Ivy, sebelum melepaskan pelukannya yang mulai mengendur. Bersandar nyaman di kepala ranjang. Mengecek ponselnya yang sedari pulang kerja tadi belum tersentuh. Hanya ada beberapa pesan masuk dari Vigo dan Ayeesha. Seperti biasa, Vigo yang menanyakan Ivy dan Ayeesha yang membahas hal-hal random. Yena tidak menanggapi lebih. Hanya membalas pesan Vigo dan mengatakan Ivy sudah tidur. Sedangkan Ayeesha biarlah. Gadis itu akan bercerita lebih panjang jika bertemu besok. Perhatian Yena beralih pada sebuah postingan baru. Seorang lelaki dan seorang wanita yang sedang tersenyum lebar ke arah kamera. Sang lelaki merangkul erat bahu sang wanita, dengan background pantai yang berwarna biru cantik. Sangat serasi dan romantis. Tapi Yena hanya mampu tersenyum miris melihat foto itu. Menghela napasnya sekali lagi, melirik Ivy yang tidak terusik sama sekali. Masih jam delapan tiga puluh. Belum terlalu malam. Yena mengetuk ponsel pada dagunya. Berpikir sejenak. Apa sopan menghubungi Ayah Ivy malam-malam begini? Tapi bagaimana jika lelaki itu sedang sibuk dengan istrinya? Tidak-tidak. Bukankah Ivy lebih berhak daripada wanita itu? Baiklah. Ini demi Ivy. Jika lelaki itu marah-marah, akan Yena pastikan dipertemuan mereka selanjutnya, rencana untuk membenturkan kepala lelaki itu akan benar-benar terealisasikan. Ingatkan itu! Yena menunggu dengan sabar saat nada sambung mulai terdengar. Sekali ... dua kali ... tiga kali ... lelaki itu tidak mengangkat panggilannya. Justru suara lembut operator yang menyapa. Yena mendesis kesal. “Benar-benar sialan,” umpatnya sembari melotot tajam pada foto seorang lelaki yang tertera di kontaknya. To: Ayah Ivy Mas, Ivy kangen ayahnya. Kalau Mas ada waktu bisa tolong temui Ivy? Yena meletakkan ponselnya kasar setelah setengah jam lamanya lelaki itu belum juga membaca pesannya. Sudahlah. Biarkan lelaki itu bersenang-senang dengan istrinya. Yena hanya perlu menyiapkan kata-kata umpatannya sebagai bekal pertemuan mereka. *** Trak .... Arjun meletakkan ponselnya kasar. Beberapa panggilan yang sengaja diabaikan dan sebuah pesan yang membuat kepalanya pening. Ingin melupakan segala macam masalah yang membuat kepalanya semakin berat. Meraih gelas bening dan meneguk cairan berwarna merah itu sampai tidak tersisa. Gavin di sampingnya hanya menggeleng. Kembali menuangkan red wine ke gelas Arjun yang sudah kosong. Melirik ponsel Arjun yang menyala lagi. “Lo nggak berniat angkat panggilannya?” Arjun yang sudah menumpu kepalanya di meja hanya menggeleng sebagai respon. Gavin tidak ambil pusing. Sibuk menikmati wine di gelasnya sembari memperhatikan sekeliling. Lampu berwarna-warni, suara musik yang sebenarnya tidak ramah menyapa pendengaran, para pasangan muda yang seenaknya mengumbar kemesraan, dan jangan lupakan beberapa yang sudah mabuk sibuk dengan dunia fantasinya. “Benar-benar pertemuan pertama yang nggak gue duga,” gumam Gavin saat melirik Arjun yang kembali menenggak winenya. “Apa lo nggak punya rekomendasi tempat yang lebih dari ini?” tanyanya. Arjun belum merespon. Menatap gelas bening berukuran kecil yang kosong. “Gue berusaha bantuin lo ketemu jodoh di sini. Kasihan udah setua ini masih sendiri.” Ucapan santai yang terdengar menyebalkan. Gavin mengumpat pelan, menimbulkan suara kekehan ringan. “Gue belum ketemu yang pas.” Arjun mengangguk dengan wajah meremehkan. “Ya alasan lo aja.” “Gue bukan lo yang seenaknya nikahin anak orang, setelah bosen lo hempasin gitu aja. Laki-laki sejati nggak gitu, Jun.” Arjun mendengarkan dengan tak acuh. Mulai terpengaruh oleh minuman beralkohol yang sedari tadi diteguknya. “Sekarang apa lagi? Udah bagus lo di luar negeri. Muncul lagi depan gue,” gerutuan Gavin. Melayangkan tatapan tajam pada Arjun. Entahlah Gavin menganggap Arjun itu seperti apa. Lelaki itu seperti orang yang sangat dibenci karena selalu menyusahkan. Ingin mengatakan Arjun musuhnya, tapi terkadang lelaki itu juga membantunya. “Gue mau kembali.” Arjun menghela napas sejenak. “Sama Yena,” lanjutnya. Gavin melotot tajam. Tangannya sudah gatal, ingin sekali memukul kepala lelaki di sampingnya. “Gila! Yena udah benci banget sama lo, nggak usah berharap lebih.” “Dia nggak pernah benar-benar benci sama gue.” “Cih, setelah lo nyakitin dia, ninggalin dia sendirian. Lo dengan seenaknya muncul lagi depan mukanya. Gue aja enek Jun, apalagi Yena?” Arjun terkekeh pelan. Sudah biasa mendapatkan kalimat-kalimat menyebalkan dari Gavin. “Nasib calon istri lo yang baru, gimana?” Arjun menggeram saat kepalanya pening. Memijat pelipisnya, berusaha menghilangkan rasa tidak menyenangkan yang selalu hadir setelah meminum alkohol. “Gue nggak pernah anggap dia.” “Hah, seenaknya!” Gavin diam. Tidak berniat melanjutkan obrolannya. Arjun juga sepertinya sudah sibuk dengan kepalanya yang pening. Kembali memperhatikan sekeliling. Sudah banyak perempuan-perempuan berpakaian minim sedang menatap keduanya. Gavin berdecih lagi. Tolong ingat! Gavin bukan tipe laki-laki yang akan tergoda dengan perempuan seperti mereka. Lelaki yang memiliki postur tubuh tidak terlalu tinggi ini lebih menyukai gadis cuek yang jual mahal tapi terlihat manis dalam waktu bersamaan. Oh yaa satu lagi, Gavin adalah tipe temperamen jadi ia butuh gadis manis yang sabar supaya bisa mengimbanginya. “Ck, merepotkan!” Gavin hanya bisa menelan umpatannya saat Arjun sudah tidak sadarkan diri. Ingatkan Gavin atas kebenciannya pada lelaki ini. Supaya tidak perlu repot-repot membawa Arjun bersamanya. Tapi jangan lupakan juga para perempuan yang sedang menatap keduanya. Para perempuan yang mungkin hanya membutuhkan uangnya saja. Baiklah-baiklah, anggap saja jiwa malaikat Gavin sedang menguasai tubuhnya saat ini. Membuatnya dengan baik hati membawa Arjun pulang bersamanya. Ingatkan juga untuk meminta tambahan gaji atas pekerjaan tambahannya malam ini. Padahal Gavin bisa menghabiskan banyak waktu dari jam empat sore tadi untuk tidur nyenyak di apartemennya. Tapi semua ritualnya harus berantakan karena satu makhluk memuakkan ini. *** Gavin memasuki mobilnya dengan malas. Sesekali menguap, mencoba menghilangkan kantuk. Jangan lupa semalam Gavin harus pulang dini hari untuk mengantarkan Arjun terlebih dahulu, sebelum sampai di apartemennya. Dan pagi ini makhluk memuakkan itu sudah memberinya tugas tambahan. Benar-benar menyebalkan, bukan? Ini masih pukul tujuh pagi. Gavin terbiasa masuk kantor pukul delapan. Tapi karena bosnya sudah berganti sejak kemarin, semua jadwalnya dirombak habis-habisan oleh bos barunya itu. Gavin menjalankan tugasnya sebagai bentuk tanggung jawab atas pekerjaannya. Bukan karena terlalu menuruti kemauan Arjun. Lagi pula Gavin bisa meminta kenaikan gaji untuk tugas tambahan ini. Mulai menjalankan mobilnya. Masih sesekali menguap karena matanya yang sipit itu benar-benar ingin terpejam. Gavin tidak sempat sarapan. Ya, bahkan tidak sempat meneguk kopinya di pagi hari. Salahkan saja Arjun yang seenaknya memerintah pagi-pagi begini. Ckittt .... Mengerem mendadak. Gavin tidak menyadari jika ada seseorang yang akan menyeberang. Hampir saja. Gavin buru-buru keluar dari mobilnya, untuk mengecek seorang perempuan yang masih berdiri di depan mobilnya. Menutup wajahnya. Mungkin karena terlalu terkejut. “Apa Nona baik-baik saja?” Perempuan itu masih menutup wajahnya dengan bahu bergetar. Gavin mengangkat tangannya, tapi berhenti begitu saja di udara. Ragu. Apa menepuk bahu seseorang di awal pertemuan mereka termasuk tindakan sopan? Sepertinya tidak. Gavin kembali menurunkan tangannya. “Nona saya benar-benar minta maaf.” Perempuan itu mengangkat wajahnya. Ada air di sudut matanya. Rambutnya sedikit berantakan akibat gerakan refleksnya tadi, menghindar dari tabrakan yang tidak jadi. Gavin terdiam. Terpesona dengan pahatan wajah cantik di hadapannya. Mata bulat yang sedang menatap tajam ke arahnya, hidung mancung, pipi yang sedikit berisi, dan bibir mungilnya. Jangan lupakan dahinya yang tertutup poni dengan rambut sebatas bahu. “Manis,” gumamnya pelan. Tapi sepertinya si perempuan menyadari ucapannya. Matanya semakin membulat, membuat Gavin gelagapan. “Maafkan saya. Apa Nona baik-baik saja?” “Baik-baik aja? Heh lo hampir nabrak gue ya, dan lo seenaknya nanya apa gue baik-baik aja. Dasar bapak-bapak nggak waras!" Gavin membulatkan matanya. Apa katanya tadi? Bapak-bapak nggak waras? Apa Gavin terlihat setua itu dari usianya? Sepertinya Gavin menyesal sudah menggumamkan kalimat berisi pujian pada perempuan ini. Coret perempuan ini dari daftar idamanmu Gavin! Ternyata tidak semanis yang dibayangkan. “Hey Nona, sepertinya Anda tidak sopan berbicara seperti itu.” “Lo pikir gue nggak kaget hampir ditabrak sama lo, ha?” “Iya, saya meminta maaf.” Perempuan itu berdecih. Melipat kedua tangannya di depan d**a. Menatap Gavin dengan sebal. Sedikit menilai penampilan Gavin. Setelan kerja yang terlihat mahal, jam tangan yang kalau ditaksir bisa mencapai harga puluhan juta, hm dan jangan lupakan mobil yang hampir menabraknya tadi. Sepertinya lelaki ini berasal dari kalangan atas. Tanpa sadar perempuan itu mengangguk-angguk setelah menilai semua penampilan Gavin. “Nona apa yang Anda lihat?” “Oh nggak!” Gavin tertawa pelan saat melihat si perempuan salah tingkah. Sudah paham betul apa arti tatapannya. Seperti biasa. Bukankah kebanyakan perempuan memang memiliki kemampuan menilai kekayaan seorang laki-laki dari tampilannya? “Boleh saya tahu nama, Anda?” Perempuan itu mengerutkan keningnya. Menatap curiga pada Gavin yang hanya pasrah saat ditatap seperti itu. Bagaimana jika lelaki ini sudah beristri dan berniat menjadikannya selingkuhan? Atau seorang duda yang kesepian? Si perempuan merinding oleh pemikirannya sendiri. “Sepertinya Anda tidak nyaman, maafkan saya.” Gavin menarik kembali uluran tangannya, tapi seketika langsung ditahan oleh si perempuan. “Ayeesha! Nama gue Ayeesha.” “Nama yang cantik, Ayeesha.” Gavin tersenyum lagi. Tapi sepertinya Ayeesha tidak terpesona sama sekali. Justru lagi-lagi berdecih sebal. “Jelas! Lo nggak lihat, muka gue aja secantik ini.” Senyuman Gavin kian melebar. Benar-benar perempuan yang berbeda. “Ya, saya bisa melihatnya Nona.” Ayeesha mengangguk-angguk, melirik jam yang melingkar di tangannya. “Astaga gue udah telat. Mbak Yena bisa ngamuk,” ucapnya dengan suara nyaring. Gavin sampai berjengit kaget dibuatnya. Tapi tunggu dulu. Yena katanya? Apa perempuan di hadapannya ini mengenal Yena yang sama? “Sebaiknya saya antar Nona?” Lagi-lagi Ayeesha melirik curiga. “Lo nggak berniat macem-macem, 'kan?” “Tidak. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin bertanggung jawab atas kesalahan saya tadi.” Ayeesha akhirnya menyetujui ajakan lelaki yang tidak dikenalnya itu. Hm sebenarnya dalam hati Ayeesha bersorak gembira. Kapan lagi bisa mencoba menaiki mobil mewah keluaran terbaru seperti ini. Lengkap dengan memaki-maki si pemilik mobil. Kurang ajar memang, tapi Ayeesha justru tertawa puas dalam hati. Gavin menatap butik di depan sana. Ayeesha sudah keluar, langsung berlari kecil menemui seorang perempuan yang menggandeng gadis kecil. Ada seorang lelaki mengenakan setelan kerja juga. Gavin menajamkan pandangannya. Tidak terlalu jelas wajah orang-orang di depan sana. Apalagi si perempuan yang menggandeng gadis kecil itu. Karena posisinya membelakangi Gavin, seperti sedang berusaha membuka pintu butik. Saat si perempuan berbalik, berjongkok di hadapan gadis kecil itu, senyuman Gavin melebar. “Menarik,” gumamnya pelan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN