Cemburu

1400 Kata
Nidya berdiri menatap pintu apartemen yang akan dia tinggali. Sebenarnya, ia ragu untuk masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, setelah Liona mengatakan jika apartemen tersebut berisi barang-barang mewah pun membuatnya penasaran. Nidya pun lalu masuk ke dalam apartemen. "Wah, dia sudah mempersiapkan semuanya dengan matang," ucap Nidya. Ia memperhatikan setiap sudut ruangan yang terlihat biasa saja menurutnya. Perlahan ia membuka kenop pintu, matanya membelalak ketika melihat kamar yang di design begitu mewah sesuai yang ia inginkan. Nidya pun melemparkan tasnya ke ranjang lalu merebahkan tubuhnya di atasnya. Ingatannya kembali saat ia mendengar percakapan Mat dengan istrinya. Ada sedikit rasa cemburu ketika mendengar pria itu menyebut nama wanita lain dengan sebutan sayang. Perlahan ia pun memejamkan matanya dan tertidur. Sementara itu ditempat lain, Mat tengah menikmati minuman yang disajikan oleh bartender. Ia mengabaikan panggilan Sabrina di ponselnya, yang sedari tadi berdering. "Hei, sedang apa kamu disini?" tanya Leo menepuk pundak Mat. "Istrimu terus menanyakan keberadaanmu, aku bilang kamu sedang meeting dengan klien." Mat menghela napasnya lalu meneguk vodka yang ada di gelasnya dengan sekali teguk. "Bagaimana dengan Nidya, apa dia datang ke apartemen yang aku beli?" Leo mengerutkan dahinya, bukannya khawatir dengan istrinya, Mat malah menanyakan mantan tunangannya itu. "Jangan katakan kepadaku kalau kamu sudah terjerat pesona mantan tunanganmu itu." "Iya," ucap Mat dengan lantang. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sudah berusaha melupakannya tapi pikiranku selalu di penuhi oleh Nidya." Sama seperti Mat, Leo meneguk vodka yang baru saja di sajikan oleh bartender. "Sadarlah, aku tidak mau pernikahanmu dengan Sabrina hancur karena wanita lain." "Apa urusanmu?" tanya Mat. Suara Leo tercekat, ia tidak bisa menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut atasannya itu. "A-aku sepupumu. Aku tidak mau rumah tanggamu hancur karena wanita lain. Apa lagi Sabrina dan Nidya itu berbeda level, istrimu memiliki segalanya sedangkan Nidya hanya karyawanmu dan memang aku akui dia cantik." Mat berdecak dan kembali meminum vodka. Ia beranjak dari kursi dan meninggalkan Leo sendiri. Leo yang merasa di abaikan bergegas mengejar atasannya itu. Namun, ia kalah cepat karena Mat sudah mengendarai mobilnya melewatinya begitu saja. *** Nidya membuka lemari pakaian sesaat ia tertegun melihat banyak sekali pakaian yang sudah tersusun di sana. Ia lalu mengambil salah satu setelah pakaian kerja lalu memakainya. "Anda sudah siap Nona?" tanya seorang pria yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu apartemennya. "Maaf, Pak. Saya bawa mobil sendiri," jawab Nidya. Namun, pria itu kembali menghalangi langkah Nidya dan berkata, "Maaf, Pak Matheo berpesan jika saya harus menjemput anda ke kantor. Tak bisa berkutik akhirnya Nidya mengikuti langkah supir tersebut kemudian masuk ke dalam mobil yang sudah dibukakan pintunya. Tak lama mobil mereka sampai di kantor, tak ingin di lihat oleh karyawan lain, Nidya bergegas keluar dari mobil yang membawanya ke kantor. "Terima kasih, Pak." Setelah mengucapkan rasa terima kasihnya, Nidya masuk ke dalam kantor. Seperti biasa, penampilannya selalu menarik perhatian para karyawan di sana, terutama karyawan pria. "Pagi, Nidya," sapa seorang karyawan pria. "Pagi," jawab Nidya. "Nanti siang makan bareng, yuk," ajaknya. "Tenang tidak hanya kita berdua, teman yang lain pun ikut. Oh iya, kita belum kenalan. Namaku, Dion," lanjutnya sembari mengulurkan tangannya. Nidya menjabat tangan pria yang ada di hadapannya sampai tidak sadar seseorang sedang berdiri memperhatikan interaksi keduanya. Sudut mata Nidya menangkap sosok pria yang berjalan ke dalam lift. "Ma-maaf aku harus pergi." Nidya berlari mengikuti langkah Mat. Iya, sosok pria yang Nidya lihat adalah atasannya. "Selamat, pagi Pak." sapa Nidya dengan lembut. Terlihat jelas jika saat ini mood atasannya itu sedang tidak baik. Ia hanya berdiri tak mempedulikan kehadiran Nidya bahkan sapaannya pun diabaikan begitu saja. Nidya masih mengekor di belakang Mat yang berjalan keluar dari lift. Hingga suara dentuman pintu membuat Nidya terkejut. "Dasar pria aneh," gumam Nidya melihat kelakuan atasannya itu. Nidya lalu berjalan ke mejanya dan mulai bekerja. Ada beberapa berkas yang tersimpan di mejanya termasuk berkas rangkaian acara anniversary atasannya itu. Nidya membuka satu persatu lembaran kertas yang ada di sana. "Nidya, apa kamu tuli! Aku menyuruhmu untuk datang ke ruanganku membawa berkas yang harus aku tanda tangani," sarkas Mat lalu melempar pintu ruangannya dengan kencang. Kali ini Nidya benar-benar terkejut di buatnya, ia terlalu fokus membaca hingga tidak sadar jika atasannya itu berbicara kepadanya. Dengan cepat, Nidya membawa berkas lalu mengetuk pintu ruangan Mat. "Masuk," teriaknya. Nidya menghela napasnya, lalu menunjukkan senyum termanisnya. "Ini berkas yang harus anda tanda tangani, Pak." "Kamu itu bisa kerja enggak si. Harusnya atasan datang kamu buatkan kopi, setelah itu berikan berkas yang harus di tanda tangani," oceh Mat panjang lebar membuat Nidya harus menahan emosi karena terus di bentak. "Maaf, Pak. Akan saya buatkan kopi." "Enggak usah!" Nidya benar-benar merasa serba salah, tapi bukan Nadya namanya kalau tidak menentang semua ucapan atasannya itu. Setelah memberikan berkas, Nidya bergegas ke pantry membuatkan kopi untuk Mat. Dengan ragu ia kembali mengetuk pintu ruangannya sembari membawa kopi. "Maaf, Pak. Kopinya." Mat hanya diam, sedangkan Nidya bergegas keluar dari ruangan yang selalu membuatnya sesak itu. "Kamu, ngapain ke ruangan Mat?" tanya Leo yang berdiri di depan ruangan Mat. "Kamu lupa kalau saya sekretarisnya?" Leo memutar bola matanya, karena ucapannya benar-benar absurt. "Ikut aku." "Kemana, aku masih banyak pekerjaan. Tadi aja Pak Mat sudah memaki aku hanya kesalahan kecil." "Benarkah?" Nidya mengangguk, lalu duduk di kursinya. "Istri Mat akan datang." "Lalu?" Leo mendekati Nidya lalu berbisik, "Kamu enggak cemburu?" Nidya tertawa, lalu menutup mulutnya karena tidak ingin Mat mendengar suaranya. "Untuk apa aku cemburu. Aku bisa mendapatkan pria mana pun yang lebih dari atasanmu itu. Leo menyeringai, lalu pergi meninggalkan Nidya sendiri. Sedangkan di ruangan lain, Mat mengepalkan tangannya mendengar ucapan yang terlontar dari wanita yang kini menjadi sekretarisnya. "Apa kamu sedang sibuk?" tanya Leo masuk tanpa permisi ke dalam ruangan Mat. "Sabrina menyuruhku untuk mengajakmu makan siang bersama." "Yang jadi Bosmu itu aku apa Sabrina?" Mat kembali fokus dengan pekerjaannya. Namun, sedetik kemudian ia menatap Leo lalu berkata, "Beri tahu Sabrina untuk makan siang di Restoran Dabi." "Oke." Mat beranjak dari kursinya lalu keluar dari ruangannya di ikuti Leo. "Nidya, ikut denganku." "Baik, Pak." Nidya mengikuti mereka berdua tanpa tahu akan kemana mereka membawanya. Leo menoleh ke arah Nidya yang berdiri di belakangnya, kemudian beralih menatap Mat. "Kamu yakin akan membawanya?" "Iya, mereka harus bertemu," jawabnya. *** Disinilah mereka sekarang, duduk bertiga di meja yang sama menunggu pesanan mereka. Tak lama terdengar suara seorang wanita yang langsung berhamburan memeluk Mat. "Sayang, terima kasih sudah meluangkan waktunya untukku," ucap Sabrina senang. "Iya, sama-sama," ucap Mat. "Oh iya, ini sekretaris baruku. Namanya Nidya, berkenalanlah karena mungkin dia akan sering menemuiku di Singapura." "Hai, aku Sabrina istri Mat." Nidya pun berdiri menjabat tangan wanita yang berdiri di hadapannya. "Namaku Nidya, sekretaris Pak Mat." Entah mengapa hati Nidya terasa sakit melihat wanita yang berhasil merebut calon suaminya di hari pernikahan mereka. Nidya kembali duduk, ia berusaha tetap tersenyum meski hatinya terasa nyeri. Tak lama makanan datang, sesaat Nidya tertegun ketika melihat makanan yang ia pesan sama dengan yang dimakan oleh Sabrina. "Kamu suka katsu juga?" tanya Sabrina antusias. "I-iya, Ibu juga suka?" Sabrina mengangguk mengiyakan ucapan Nidya. "Jangan panggil aku Ibu, sepertinya kita seumuran," ucap Sabrina. "Lebih tua Nidya," sela Mat membuat mereka bertiga seketika menoleh ke arahnya. "Be-benarkah, tapi kamu terlihat lebih muda dariku. Kamu juga cantik," puji Sabrina. "Kamu juga cantik," ucap Mat membuat Sabrina menoleh ke arahnya. Mat lalu mengelus wajah Sabrina dengan lembut. Nidya menyendok makanan ke mulutnya, ia tidak mau melihat kemesraan dua orang yang ada dihadapannya. Tak lama ponselnya berdering, terlihat nama Liona di sana. "Maaf, Pak saya permisi untuk mengangkat telepon dulu." Nidya beranjak dari kursi, ia benar-benar merasa di tolong oleh Liona. "Halo, Li. Ada apa?" "Investor baru kita ingin bertemu denganmu, apa kamu ada waktu?" "Investor?" "Iya, investor tampan Annex Grup. Dia ingin bertemu denganmu, sekarang dia sedang berada di Jakarta." "Atur saja jadwalnya," ucap Nidya ketika melihat Mat berjalan ke arahnya. "Udah dulu, nanti aku hubungi lagi." Langkah Mat terhenti tepat di depan Nidya, sesaat tidak ada yang bersuara sebelum akhirnya Mat berkata, "Apa kamu cemburu?" "Cem-cemburu, kepada siapa?" tanya Nidya meski dia tahu jika Mat saat ini tengah mengintimidasinya. Mat tertawa lalu melangkah lebih dekat dengan Nidya. "Aku tahu kalau kamu cemburu melihat kemesraanku dengan Sabrina." Kini giliran Nidya yang tertawa lalu berucap, "Aku sama sekali tidak cemburu. Apa kamu pikir aku masih mencintaimu, sadarlah aku sudah mengubur perasaanku untukmu." Rahang Mat mengeras, menahan emosi mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Nidya. Ia menarik tengkuk wanita yang ada di hadapannya, mendaratkan kecupan di bibirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN